Al-Imam Muslim rahimahullah, Ulama Besar dari Kota Naisabur (Khurasan)

Al-Imam Muslim rahimahullah, Ulama Besar dari Kota Naisabur (Khurasan)

Khurasan menurut bahasa Persia berarti negeri matahari timur. Negeri ini memiliki peran penting dalam sejarah peradaban Islam sampai dikatakan oleh Ibnu Qutaibah: “Penduduk Khurasan adalah para pejuang dalam medan dakwah serta terkenal dengan kepahlawanannya (dalam medan jihad).” Negeri ini memiliki beberapa kota besar seperti Naisabur (Iran),  Herat (Afghanistan),  Balkh (Afghanistan) dan lain-lain.
Para pembaca yang berbahagia!
Naisabur merupakan kota yang indah dan banyak menghasilkan buah-buahan. Pada masa khalifah ‘Abbasiyah,  kota ini merupakan kota yang sangat terkenal dengan pendidikan,  kebudayaan,  perdagangan dan arsitektur bangunannya. Kota ini pernah diguncang gempa pada tahun 540 H dan dihancurkan oleh laskar Mongol pada tahun 618 H. Sekitar 1 juta rakyat Naisabur menjadi korban pembantaian laskar Mongol.
Read More
AKIBAT MENINGGALKAN AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR

AKIBAT MENINGGALKAN AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR

KIBAT  MENINGGALKAN  AMAR  MA’RUF  NAHI  MUNGKAR
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari
Di awal pembahasan ini telah dijelaskan tentang kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Tidak sedikit di dalam Al-Qur’an, sanjungan dan pujian kepada yang menunaikannya dengan baik, seperti firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (an-Nisa: 114)
Read More
 Berkunjung Kepada Karib Kerabat Para Hari ‘Idul Fithri

Berkunjung Kepada Karib Kerabat Para Hari ‘Idul Fithri

Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah
Pertanyaan : Apa hukum mengkhususkan berkunjung kepada karib kerabat dan teman-teman pada hari ‘Id (Idul Fithri, pen)?
Jawab :
Ini amalan yang bagus. Karib kerabat adalah orang-orang yang paling berhak untuk kita menyambung silaturrahmi dengan mereka. Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan (dengan kita). Mereka adalah orang yang paling berhak, maka mulailah dari mereka. kemudian baru setelah itu orang-orang yang selain mereka.
Ini merupakan hal yang dituntut, yaitu seseorang memulainya dengan karib kerabat. Karena karib kerabat adalah orang yang paling kuat/besar haknya dibanding selainnya. Maka ketika itu, hendaknya berbuat baik kepada mereka dulu. Kemudian setelah itu, apabila didapati waktu lain, maka bisa mengunjungi saudara-saudaranya (yang lainnya).
Read More
MERAIH LAILATUL QADAR

MERAIH LAILATUL QADAR

Meraih laitul qadar merupakan dambaan setiap insan muslim. Mengapa demikian? Ya, memang begitu seharusnya seorang muslim, selalu mengharap hidayah, maghfirah serta rahmat Allah.
Bukankah pada malam tersebut terdapat keutamaan-keutamaan yang luar biasa sebagaimana yang Allah jelaskan di dalam Al Qur’an maupun Rasul-Nya terangkan di dalam As Sunnah ? Diantara keutamaan-kutamaannya adalah :
1. Diturunkannya Al Quran pada malam tersebut, ibadah di malam tersebut lebih baik daripada ibadah seribu bulan dan para Malaikat turun pada malam tersebut . (Al Qadr: 1-5)
2. Akan diampuni dosa-dosa bagi siapa saja yang shalat pada malam tersebut. Berdasarkan hadits Rasulullah :
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ له مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan shalat pada malam lailatul qadar dalam keadaan iman dan dengan penuh harapan (balasan dari Allah) niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
KAPAN MUNCULNYA LAILATUL QADAR ?
Read More
Mengenal Masyaikh Yang Akan Hadir dalam Daurah “Miratsul Anbiya” ke-10 1435 H/2014 H (revisi)

Mengenal Masyaikh Yang Akan Hadir dalam Daurah “Miratsul Anbiya” ke-10 1435 H/2014 H (revisi)

 Asy-Syaikh DR. Khalid bin Dhahwi azh-Zhafiri hafizhahullah


Nama beliau tidak asing lagi bagi para pemerhati Daurah Nasional Masyikh yang berlangsung di Masjid Manunggal Bantul Yogjakarta setiap tahunnya ini. Terlebih lagi, bagi kalangan Salafiyyin di Nusantara ini, beliau benar-benar akrab bagi mereka. Karena memang beliau senantiasa aktif dan rutin datang ke Indonesia dalam momen Daurah Nasional yang merupakan daurah Ahlus Sunnah terbesar di Indonesia, yang kini diberi nama Daurah “Miratsul Anbiya”, dan telah memasuki tahun ke-10. Sejak tahun 2006 M, asy-Syaikh Khalid azh-Zhafiri hampir tidak pernah ‘absen’.
Beliau adalah salah seorang “orang penting” di situs http://sahab.net , salah satu situs salafiyyin paling bergengsi di dunia. Yang senantiasa menegakkan dan membela manhaj salafy di muka bumi dalam tataran international. Menjawab dan meruntuhkan berbagai syubhat para pengusung kebatilan dan hizbiyyah pada masa ini.
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah mengatakan, bahwa beliau (asy-Syaikh Khalid) termasuk duat ke jalan Allah, dan termasuk orang paling kuat dalam Salafiyyah. Beliau memiliki semangat yang besar dalam memberikan dorongan terhadap Salafiyyin, baik di negeri arab maupun luar arab.
Read More
Wanita di Bulan Ramadhan

Wanita di Bulan Ramadhan

Para pembaca yang mulia, buletin kali ini adalah sajian khusus untuk kaum wanita di bulan Ramadhan. Namun bukan berarti hanya khusus dibaca oleh mereka saja, karena faedahnya bisa diambil oleh selainnya.
Bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, bulan yang dirindukan oleh para pencari kebaikan. Pada bulan inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka pintu-pintu al-Jannah (surga) dan menutup pintu-pintu an-Naar (neraka), serta membelenggu syaithan, setelah itu diserukan:
“…Wahai para pencari kebaikan, sambutlah…” (HR. at-Tirmidzi no. 682 dan yang lainnya)
Sore hari, seorang ibu rumah tangga sibuk menyiapkan hidangan buka puasa untuk keluarganya. Malam harinya menjelang sahur, ia pun bangun lebih awal untuk menyiapkan hidangan makan sahur. Kesibukan semakin bertambah di kala pekan terakhir menjelang Idul Fitri, sang ibu sibuk merancang aneka masakan ataupun kue untuk dihidangkan pada hari yang berbahagia itu. Ia juga memikirkan baju baru untuk anak-anaknya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tambahan hidayah kepada para ibu dan balasan yang baik atas amalan yang mereka lakukan.
Nasehatku untuk para ibu dan kaum wanita, walaupun kalian memikul tugas dan kewajiban yang berat, namun jangan sampai lalai untuk mempelajari ibadah puasa yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, terkhusus yang terkait dengan kalian sendiri. Laksanakanlah ibadah puasa dengan sebenar-benarnya, karena ia sebagai wasilah (perantara) untuk meraih derajat takwa, suatu bekal yang paling baik dan paling berharga untuk bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 Amalan-amalan Mubah
Ada beberapa masalah yang disangka membatalkan puasa ternyata tidak membatalkan. Di antaranya:

1. Dalam hal memasak
Tidak mengapa mencicipi masakan bila diperlukan selama tidak ditelan dengan sengaja. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanad dengan lengkap) bahwa beliau berkata:
“Tidaklah mengapa (bagi orang yang berpuasa) mencicipi masakan atau sesuatu yang lain.”
(Lihat Fathul Bari hadits no. 1930)
Kemudahan yang diberikan oleh agama ini manfaatkanlah dengan tanpa berlebihan. Masalah ini kelihatannya sepele, namun bisa menjadi penting dan berarti, karena jika masakan yang disajikan itu enak rasanya tentu lebih disukai oleh keluarga.
Nasehatku, di saat kalian memasak janganlah berlebihan dalam hidangan berbuka atau sahur dengan berbagai macam masakan dan minuman. Perhatikanlah waktu dengan sebaik-baiknya. Di kala sore hari saat memasak jangan lupa sisakan waktu untuk berdzikir (dzikir petang), karena itu adalah amalan yang besar apalagi di bulan Ramadhan.
Demikian pula di malam hari saat menyiapkan makan sahur sisakan waktu untuk berdoa, karena waktu sahur termasuk di antara waktu-waktu yang mustajab.

2. Berhias atau berdandan
Tidaklah mengapa kalian berdandan di depan suami atau mahram-nya. Memakai inai (pacar kuku), parfum (selama tidak untuk keluar rumah), memotong kuku, mencabut bulu ketiak, atau yang lainnya selama tidak melanggar batasan syariat.

3. Bercumbu dengan Suami
Di siang hari tidak mengapa kalian bercumbu dan bercengkerama dengan suami, asalkan tidak dikhawatirkan terjatuh ke dalam amalan yang diharamkan ketika berpuasa yaitu jimak (bersetubuh). Al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Aisyah, beliau berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium dan mencumbu istrinya dalam keadaan beliau berpuasa, namun beliau adalah orang yang paling mampu mengekang syahwatnya di antara kalian”. (HR. al-Bukhari no. 1826 dan Muslim no. 1106)
Asy-Syaikh bin Baz berkata, “Ciuman, cumbuan dan sentuhan seorang suami terhadap istrinya tanpa hubungan jimak dalam keadaan ia berpuasa semua itu boleh, tidak ada pantangan baginya. Dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium dan mencumbu istrinya dalam keadaan beliau berpuasa. Namun apabila dikhawatirkan menyebabkan terjatuh  ke dalam hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena syahwatnya mudah bangkit, maka hal itu makruh baginya. (Lihat Fatawa Ramadhan no. 379 dan 380)

Wanita Haid atau Nifas
Haid dan nifas, keduanya adalah pembatal puasa, dengan demikian seorang wanita yang mengalami haid atau nifas  haram baginya berpuasa dan diwajibkan mengqadha’ (mengganti puasa yang ditinggalkan) di hari yang lain. Dasarnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau pernah ditanya oleh Mu’adzah, mengapa seorang wanita yang haid diwajibkan mengqadha’ puasa namun tidak mengqadha’ shalat? Aisyah menjawab:
“Dahulu kami di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengalami haid, namun kami (hanya) diperintah mengqadha’ puasa dan tidak diperintah mengqadha’ shalat. (HR. Muslim no. 335)
Hadits di atas berkenaan dengan wanita yang sedang haid, lalu bagaimana dengan wanita yang sedang nifas? Para ulama sepakat bahwa hukum-hukum yang berlaku untuk wanita yang sedang haid berlaku pula untuk wanita yang sedang nifas. Karenanya, wanita yang sedang nifas tidak boleh baginya berpuasa namun menggantinya di hari yang lain, sebagaimana wanita yang mengalami haid.
Permasalahan yang terkait dengan haid dan nifas:

1. Wanita yang datang haidnya menjelang matahari terbenam.
Hendaknya permasalahan ini jangan dianggap ringan atau sepele, karena sangat mungkin terjadi pada kaum wanita. Jawaban masalah ini telah difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da`imah, “Jika seorang wanita itu datang haidnya sebelum matahari terbenam, maka puasanya batal dan wajib atasnya mengganti di hari yang lain.” (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 1034, diketuai oleh Asy-Syaikh Bin Baz)

2. Wanita yang suci dari haid atau nifas pada siang hari Ramadhan.
Wajib baginya untuk segera mandi dan sejak itu diwajibkan melaksanakan shalat. Adapun yang terkait dengan ibadah puasa, maka ada sebagian ulama yang berpendapat wajib baginya untuk menahan dari makan, minum, dan seluruh pembatal puasa dari sisa waktu pada siang hari itu hingga matahari terbenam, namun tetap wajib atasnya mengqadha’ pada hari yang lain. Sebagian yang lain berpendapat tidak ada kewajiban menahan dari semua pembatal puasa, hanya saja diwajibkan mengqadha’ pada hari yang lain. Karena pada awalnya ia adalah seorang wanita yang sedang haid yang tidak boleh baginya berpuasa. Pendapat kedua ini yang dipilih oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin. (Lihat soal pertama dari 60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)

3. Wanita yang suci menjelang terbitnya fajar shadiq awal waktu shalat subuh.
Kalau memang wanita itu suci sebelum terbitnya fajar, maka wajib baginya puasa walaupun ia baru sempat mandi setelah adzan subuh, dan puasanya sah serta tidak ada kewajiban qadha’ baginya.

4.  Wanita yang berhenti (suci) dari nifas kurang dari 40 hari, maka wajib atasnya untuk mandi kemudian berlaku kembali kewajiban shalat dan puasa. (Lihat soal ke-4 dari 60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)

5. Wanita yang mengalami istihadhah (darah yang keluar dari rahim, selain darah haid atau nifas), maka tetap wajib baginya shalat dan puasa sebagaimana hukum wanita yang suci. Hanya saja untuk ibadah shalat wajib baginya untuk berwudhu setiap kali akan mengerjakan shalat.

6. Apa hukum meminum obat pencegah haid yang diperkirakan oleh seorang wanita bahwa haidnya akan datang pada bulan Ramadhan?
Asy-Syaikh Muhammad al-Wushabi dan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berpendapat tidaklah mengapa selama tidak mendatangkan efek samping yang membahayakan bagi kesehatan tubuhnya.
Asy-Syaikh al-’Utsaimin menasehatkan kepada kaum wanita,  “Saya memperingatkan agar menjauh dari perbuatan itu. Dikarenakan obat-obat itu mengandung efek samping yang sangat besar bahayanya, saya mendapatkan keterangan ini dari para dokter. Maka perlu disampaikan kepada kaum wanita bahwa masalah haid ini sudah menjadi takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi kaum wanita dari anak-cucu Adam, maka terimalah ketetapan-Nya dan berpuasalah selama tidak ada yang menghalangimu (haid). Dan jika kamu mendapati haid tersebut maka berbukalah (jangan berpuasa) dengan penuh ridha terhadap takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat soal ke-23 dari 60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)

 Wanita Hamil atau Menyusui
Pada dasarnya, hamil atau menyusui bukanlah penghalang bagi wanita untuk berpuasa. Tetapi agama ini telah memberikan keringanan bagi keduanya untuk tidak berpuasa jika dengan puasa itu dikhawatirkan akan membahayakan dirinya dan janin/ bayinya atau salah satunya. Namun apa konsekuensinya?
Pembahasan masalah ini telah dibahas panjang lebar oleh para ulama. Ringkasnya,  para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang berpendapat bahwa keduanya wajib mengqadha` puasa dan membayar fidyah. Ada  juga yang berpendapat wajib qadha’ saja, dan ada yang berpendapat wajib membayar fidyah saja, baik karena khawatir kondisi dirinya atau khawatir terhadap janin atau bayinya.
Wallahu a’lam, pendapat ketiga (terakhir) ini yang penulis pilih, tentu saja dengan tetap menghormati pendapat yang lain. Dasarnya adalah pernyataan dari shahabat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Diriwayatkan dalam Tafsir ath-Thabari hadits no. 2759 atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau melihat seorang ibu yang mengandung atau menyusui, beliau berkata:
“Kamu seperti keadaan orang yang tidak ada kemampuan berpuasa, maka hanyalah wajib bagimu membayar fidyah dengan memberi makan pada setiap harinya seorang yang miskin dan tidak ada kewajiban qadha’ bagimu.”
Diriwayatkan di dalam Sunan ad-Daruquthni  no. 2413 atsar dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, suatu saat istrinya yang sedang hamil bertanya kepadanya, maka beliau berkata:
“Berbukalah dan berilah makan pada setiap harinya seorang yang miskin.”
Kedua riwayat di atas dishahihkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam al-Irwa’ 4/18.
Nasehatku, ketika kalian tidak menjalankan ibadah puasa karena datangnya haid, nifas, hamil, menyusui, atau sebab yang lain, maka hendaknya kalian menyibukkan dengan ibadah-ibadah yang lain, seperti menjaga dzikir di waktu pagi dan petang yang dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak lupa juga memperbanyak amalan shadaqah, dan meramaikan rumah kalian dengan berbagai amalan kebaikan yang lainnya.
Demikian juga di saat kalian tidak berpuasa hendaknya tetap menjaga lisan dari berbuat ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), mencela, berkata-kata kotor atau berbuat dengan perbuatan-perbuatan orang bodoh.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’alamenerima amalan kita dan menggolongkan kita termasuk hamba-Nya yang bertakwa.
Wallahu a’lamu bish shawab…
Penulis: Ustadz Arif Abdurrahman
Sumber http://buletin-alilmu.net/2011/08/14/wanita-di-bulan-ramadhan/
Read More
SILSILAH: Agamaku Mengajarkanku… (Seri ke 4-6) – Dalam Kitab: Silsilah ‘Allamani Dieniy
Bersama: DR. Muhammad bin Umar Bazemul حفظه الله تعالى
| | |
Bagian ke 4:
Agamaku Mengajarkanku: bahwa umur manusia tidaklah diukur dengan hari dan bulan maupun tahun, akan tetapi diukur dengan amalan sholeh, demikian pula dengan harta tidaklah dihitung dengan apa yang telah dia tinggalkan untuk (orang-orang) sepeninggalnya, akan tetapi yang akan terwarisi darinya adalah apa yang telah dia infaqkan di jalan ketaatan kepada Alloh dan mendekatkan diri kepada-Nya سبحانه.
✸ ✸ ✸
Bagian ke 5:
Agamaku mengajarkanku: bahwa berbakti kepada kedua orangtua dan berlaku adil dalam bermu’amalah bagian dari sebab-sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan bahwasanya durhaka kepada orangtua dan perbuatan kezhaliman termasuk dari dosa-dosa yang akibat (balasan) dari kedua perbuatan itu akan disegerakan di dunia; (disebutkan) dari Abu Bakroh dari nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
«مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ الله لِصَاحِبِهِ العُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يُدَخِّرُ لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ قَطِيْعَةِ الرَّحِمِ وَالبَغْيِ»
“Tidak ada dari satu dosa pun yang lebih pantas untuk Alloh segerakan balasannya di dunia bersama dengan apa yang akan dia dapatkan di akhirat dari pemutus tali persaudaraan dan kezhaliman.” [1]
Dan yang pertama dari tali persaudaraan setiap muslim yang diperintahkan untuk menyambungnya ialah kepada kedua orangtua.
✸ ✸ ✸
Bagian ke 6:
Agamaku Mengajarkanku: sesungguhnya kita mana kala beranjak dewasa maka semakin banyak keinginan kita, dan keinginan kita yang terbesar akan terpusat pada satu bentuk, itulah keinginan kita yang terbesar, sehingga ada diantara orang yang semakin beranjak dewasa semakin banyak keinginannya terhadap dunia, terhadap perniagaan, pada segala bidang yang dia lihat dari urusan-urusan dunia, dan diantara orang ada yang semakin beranjak dewasa semakin besar pula keinginannya di dalam mempersiapkan diri untuk akhiratnya, dan beramal untuknya, maka (kelompok) pertama tujuan ilmunya adalah dunia, dan keinginan terbesarnya adalah dunia, sedangkan (kelompok) kedua tujuan ilmunya adalah akhirat, dan keinginan terbesarnya adalah akhirat dan memperbekali diri untuk akhirat. Maka demikianlah seharusnya kita.
Dikeluarkan oleh Tirmidzi dan dihasankan oleh Albani dari Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhu beliau berkata: “Jarang sekali Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berdiri meninggalkan majelis hingga beliau berdoa dengan doa-doa tersebut untuk para sahabatnya:
اللَّهم اقْسِم لنا من خشيتِك ما يحُول بيننا وبين معاصيك، ومن طاعتِك ما تُبلِّغنا به جنّتَك، ومن اليقينِ ما تُهوِّن به علينا مصائبَ الدنيا، اللَّهم أَمتِعْنا بأسماعِنا، وأبصارِنا، وقوّتِنا ما أحييتَنا، واجعلْه الوارثَ منا، واجعلْ ثأرَنا على مَن ظلمنا، وانصرْنا على مَن عادانا، ولا تجعَلْ مصيبتَنا في دينِنا، ولا تجعَلِ الدنيا أكبرَ همّنا، ولا مبلغَ علمنا، ولا تسلّط علينا مَن لا يرحمنا
“Ya Alloh, jadikanlah rasa takut kepada-Mu sebagai penghalang antara kami dengan kemaksiatan, dan jadikan ketaatan kepada-Mu bahagian yang dapat menghantarkan kami kepada surga-Mu, dan jadikan keyakinan kami bahagian yang meringankan musibah dunia yang menimpa kami, dan jadikanlah kami senang dengan pendengaran kami dan penglihatan kami serta kekuatan kami sepanjang hidup kami, dab jadikanlah ia terjaga untuk kami sepanjang hidup kami, dan jadikanlah ia terjaga untuk kami (dan orang-orang setelah kami, pent), dan jadikanlah tuntutan balasan kami hanya bagi orang-orang yang menzhalimi kami saja, dana tolonglah kami atas orang-orang yang memusuhi kami, dan jangan Engkau jadikan musibah yang menimpa kami (mengurangi) keagamaan kami, dan jangan Engkau jadikan dunia sebagai keinginan terbesar kami, dan tujuan dari ilmu kami, dan jangan Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak mengasihi kami”.
—————–
[1] Diriwayatkan oleh ashabus sunan kecuali Nasaai, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim serta Albani di dalam as-Shohihah (91).
✸ ✸ ✸
Palembang, 23/5/1435H.
Alih Bahasa: Abu Abduh Muhammad Sholehuddin Alu as-Sayuthi.
Sumber : forumsalafy.net

Read More
AGAMAKU MENGAJARKANKU
DR. Muhammad Umar Bazemul -حفظه الله-
| | |
Bagian ke 1:
Bahwa anak termasuk dari usaha kedua orangtuanya, sehingga betapa pun anak beramal amalan sholeh maka pahalanya akan sampai kepada kedua orangtuanya, dan betapa pun anak berbuat amalan kejelekan maka dosanya tidak akan sampai kepada kedua orangtuanya akan tetapi hanya akan mengenai dirinya sendiri.
Alloh Ta’ala berfirman:
(وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ) [سورة النجم : 39]
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. ” (Qs. An-Najm: 39)
Dan Alloh Ta’ala berfirman:
(قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۖ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ) [سورة هود : 46]
“Alloh berfirman: Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan. ” (Qs.  Huud: 46)
Dan Alloh berfirman:
(وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۚ وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَىٰ حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۗ إِنَّمَا تُنْذِرُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ ۚ وَمَنْ تَزَكَّىٰ فَإِنَّمَا يَتَزَكَّىٰ لِنَفْسِهِ ۚ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ) [سورة فاطر : 18]
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Robbnya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Alloh-lah kembali (mu). “Qs. Faathir: 18)

Bagian ke 2:
Agamaku Mengajarkanku: bahwa keadaan setiap manusia di dunia dalam keadaan suka mengeluh, dan kebahagiaannya ialah bersama Alloh, untuk Alloh dan karena Alloh.
Bagian ke 3:
Agamaku Mengajarkanku: bahwa membangun ummat bergantung pada pembangunan personal, maka hendaklah setiap orang memulai dari dirinya sendiri kemudian yang di bawahnya dan di bawahnya, dan apabila personalnya telah baik maka baik pula keluarganya, dan apabila suatu keluarga telah baik maka baik pula masyarakatnya, dan apabila masyarakatnya telah baik maka baik pula negerinya, dan apabila negerinya telah baik maka baik pula ummatnya, dan apabila ummat telah menjadi baik maka baik pula dunianya, karena Alloh tidak akan merubah suatu kaum hingga kaum tersebut mau merubah diri mereka sendiri.

Alih Bahasa: Ustadz Abu Abduh Muhammad Shalehudin Hafizhahullah
Palembang 21 Rajab

Read More
INFORMASI KAJIAN PETANAHAN 1435 H

INFORMASI KAJIAN PETANAHAN 1435 H




BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

DENGAN MENGHARAP RIDHA ALLAH TA'ALA

HADIRILAH

KAJIAN ISLAM ILMIAH

PROPLEMATIKA Muda-mudi di Era GLOBALISASI

Bersama Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifa'i
(Pengasuh Ma'had Darussalaf Al-Islamy Solo)

Tempat : Masjid Darussalam Komplek Ma'had Anarussunnah 
Gg. Bentaran Rt.02 / 04 Karangduwur Petanahan Kebumen

AHAD, 25 Rajab 1435 H / 25 Mei 2014 M

Pukul : 09.30 s/d selesai


Insya Allah LIVE Radio Anwarussunnah Petanahan 107.2 Mhz
http://anwarussunnahpth.blogspot.com
http://anwarussunnah.onlivestreaming.net:9090

atau : 
Radio Rasyid
http://radiorasyid.com
http://radiorasyid.onlivestreaming.net:8899

Radio Miratsul Anbiya'
http://miratsul-anbiya.net


Contact Person : 0821 3419 6758 / 0852 9209 4481

Barakallahu Fiikum

Read More
Silsilah "Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyah" 3

Silsilah "Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyah" 3

Silsilah

“Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah”

oleh asy-Syaikh DR. Ahmad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah.

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Adanya anggapan bahwa setiap orang yang menampakkan Salafiyyah, maka dia dianggap sebagai Salafi yang terpercaya ilmu dan agamanya.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Menyambut (mengundang) sebagian penuntut ilmu, sebelum bertanya kepada para ‘ulama tentang kondisi mereka.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Mengambil ilmu dari orang yang sifat fujur lebih dekat padanya dibandingkan sifat taqwa.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Tidak tahu bahwa seseorang yang diambil ilmu darinya, haruslah seorang yang disamping dia itu berilmu, harus ada pula padanya : taqwa kepada Allah.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Penilaian terhadap perselisihan antara kebenaran dan kebatilan sebagai perselisihan pribadi!! Berapa banyak yang bergembira dengan penilaian tersebut, baik dari kalangan para mumayyi’, mukhaddzil (penggembos), bahkan para haddadi!!!”

 sumber:miratsul-anbiya.net
Read More
Silsilah "Diantara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyah 2"

Silsilah "Diantara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyah 2"

Silsilah

“Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah”

oleh asy-Syaikh DR. Ahmad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah.

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Adanya penuntut ilmu yang telah tampil (berdakwah dan mengajar) namun tidak mau berhubungan dan merujuk kepada para ‘ulama. Bahkan merasa tidak butuh kepada para ‘ulama. Ini adalah penyimpangan yang sangat berbahaya!”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Sebagian penuntut ilmu berani membuat kaidah-kaidah yang tidak ada salaf (pendahulu)nya. Hal itu dia lakukan semata-mata karena ujub terhadap diri sendiri, dan merasa diri berilmu.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Sebagian penuntut ilmu berusaha mengarahkan para syabab (para pemuda) untuk mengikut pendapat dan hawa nafsunya, dan menjadikannya sebagai patokan al-Haq. Adapun pendapat yang menyelisihinya, maka dianggap sebagai sikap keras atau sikap gegabah.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Menyikapi penuntut ilmu seperti menyikapi ‘ulama. Bahkan lebih mengedepankan mereka dibandingkan ‘ulama. Padahal bisa jadi dia itu tidak pantas disebut sebagai penuntut ilmu.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Sebagian orang-orang yang tampil (mengajar dan berdakwah) merasa diri sebagai orang ‘alim (berilmu) dan menggambarkan dirinya sebagai seorang yang adil dan sportif. Padahal hakekatnya dia tidak lebih dari seorang yang diam (tidak mengingkari) terhadap kebatilan, atau seorang mukhaddzil (orang yang menggembosi/menelantarkan manhaj yang haq).”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Adanya sebagian penuntut ilmu yang bertarbiyah (mendidik) salafiyyin untuk berta’ash-shub (fanatik) terhadap dia dan selalu tunduk terhadap pendapat-pendapatnya.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Menyifati seorang salafy yang berjalan di atas manhaj (yang haq) sebagai seorang yang ghuluw (ekstrim) dalam men-jarh, atau terburu-buru, atau gegabah.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Adanya sebagian penuntut ilmu yang menyebarkan pendapat-pendapat madzhab yang bertentangan dengan dalil, demi membuktikan bahwa di sana ada pendapat lain.”

Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah, “Tidak adanya kecintaan, hubungan, dan saling menasehati antara salafiyyin, sehingga barisan salafiyyin dengan mudah terpecah. Terutama di kalangan orang-orang yang menisbahkan diri kepada salafy hanya sebatas nama, namun dia menyelisihinya secara manhaj dan prinsip.”

 bersambung, insya Allah
sumber:miratsul-anbiya.net
Read More
Silsilah "Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah" 1

Silsilah "Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah" 1

Silsilah

“Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah”

oleh asy-Syaikh DR. Ahmad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah.
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Orang yang mengumpulkan harta atas nama Dakwah Salafiyyah, atau karena dia seorang salafy, tapi kemudian dia menggunakannya tidak pada tempatnya.”
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Adanya orang-orang yang tidak belajar ilmu syar’i secara bertahap dan belum beradab dengan adab-adab ilmu, namun tampil untuk mengajar dan berdakwah.”
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Adanya orang-orang yang menyukseskan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan pribadinya dengan mengatasnamakan Dakwah Salafiyyah, namun tampil untuk mengajar dan berdakwah.”
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Masuknya sebagai orang-orang mutalawwin dalam barisan salafy. Sehingga dia pun berhasil mengadu domba dan mengobarkan fitnah, dalam tampilan dia sebagai juru nasehat.”
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Sebagian Salafiyyn masuk ke permasalahan-permasalahan khilaf, dan dia berani memutuskan sendiri, bahkan berani menghukumi terhadap orang yang lebih berilmu darinya. Ini termasuk adab yang jelek.”
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Sebagian penuntut ilmu berupaya mengadu domba dan mengacaukan terhadap Salafiyyin yang jujur, yang sedang berhadapan para penyelisih/penentang kebenaran.”
Di antara perkara yang Merusak Dakwah Salafiyyah : “Menampakkan dan menyebarkan pendapat-pendapat yang syadz dan tertolak, yang tidak selaras dengan dalil dan prinsip yang salaf ada di atasnya. Ini di antara sikap yang dicela oleh para ‘Ulama Sunnah.”
bersambung, insya Allah
Sumber:  http://miratsul-anbiya.net
Read More
Tanda-tanda Bertambah dan Berkurangnya Iman

Tanda-tanda Bertambah dan Berkurangnya Iman

Tanda-Tanda Bertambah dan Berkurangnya Iman

[ asy-Syaikh al-'Allamah Zaid bin Muhammad bin Hadi al-Madkhali rahimahullah ]

Iman, yang maknanya adalah ucapan dengan lisan, keyakinan di dalam hati, dan amalan dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan. Iman akan bertambah dengan amal-amal shalih, dan akan berkurang dengan amal-amal jelek. Setiap kali seorang muslim menambah ketaatannya, maka bertambahlah keimanannya, dan akan semakin besar (iman tersebut) di dalam hatinya. Sebaliknya, setiap kali dia kurang dalam ketaatan, atau terjatuh dalam kemaksiatan, maka berkuranglah imannya. Dan iman bisa terus berkurang hingga tidak tersisa darinya dalam hati kecuali lebih kecil dari seberat biji sawi keimanan.
Jadi, bertambahnya iman itu dengan ketaatan, meninggalkan kemaksiatan dan menjauhinya. Bertambahnya iman dengan melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.
Berkurangnya iman karena kurang dalam ketaatan, dan terjatuh dalam kemaksiatan.
Maka amalan memiliki kedudukan dalam timbangan syari’at. Memperbanyak amal shalih akan menambah iman seorang hamba. Meninggalkan kemaksiatan akan menambah iman seorang hamba. Jika sebaliknya, maka hasilnya juga sebaliknya. Kurang dalam ketaatan dan terjatuh pada hal-hal yang haram menyebabkan berkurangnya iman, sesuai dengan kadar kurangnya ketaatan tersebut, dan kadar kemaksiatan yang ia lakukan.
(faidah dari dars al-Lu’lu’ wal al-Marjan 5)
Read More
Demi Sebuah Kursi Kedudukan

Demi Sebuah Kursi Kedudukan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar)
عَنِ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ :قَالَ رَسُولُ الله ِ: مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
Dari Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah sekawanan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2482) melalui jalan Suwaid bin Nashr, dari Abdullah bin Al-Mubarak, dari Zakariya bin Abi Zaidah, dari Muhammad bin Abdirrahman, dari Ibn Ka’b bin Malik, dari ayahnya, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ”Hadits ini diriwayatkan melalui jalan lain dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya dari hadits Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Usamah bin Zaid, Abu Sa’id, dan ‘Ashim bin ‘Adi Al-Anshariradhiallahu ‘anhum.”
 Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah (3/456).
 Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam Ash-Shahihul Musnad (2/178) dan Asy-Syaikh Al-Albani di dalamShahihul Jami’ (no. 5620).
 Al-Qadhi rahimahullah menerangkan, hadits ini shahih dan sangat masyhur. Kami memperoleh hadits ini lebih dari satu jalur periwayatan. Secara umum, pada lafadz hadits terdapat perbedaan kata namun bermakna sama.
Makna Hadits
Makna hadits ini, kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala lapar yang dibiarkan bebas di antara sekawanan kambing masih belum seberapa apabila dibandingkan kerusakan yang muncul karena ambisi seseorang untuk mendapatkan kekayaan dan kedudukan. Karena, ambisi untuk mendapatkan harta dan kedudukan akan mendorong seseorang untuk mengorbankan agamanya. Adapun harta, dikatakan merusak karena ia memiliki potensi untuk mendorongnya terjatuh dalam syahwat serta mendorongnya untuk berlebihan dalam bersenang-senang dengan hal-hal mubah. Sehingga akan menjadi kebiasaannya. Terkadang ia terikat dengan harta lalu tidak dapat mencari dengan cara yang halal, akhirnya ia terjatuh dalam perkara syubhat. Ditambah lagi, harta akan melalaikan seseorang dari zikrullah. Hal-hal seperti ini tidak akan terlepas dari siapapun.
Adapun kedudukan, cukuplah sebagai bukti kerusakannya bahwa harta dikorbankan untuk meraih kedudukan. Sementara kedudukan tidak mungkin dikorbankan hanya untuk mendapatkan harta. Inilah yang dimaksud dengan syirik khafi (syirik yang tersamar). Dia tenggelam di dalam sikap oportunis, merelakan prinsipnya hilang, kenifakan, dan seluruh akhlak tercela. Maka, ambisi terhadap kedudukan lebih merusak dan lebih merusak. (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi)
Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (di dalam hadits ini) mengabarkan bahwa ambisi untuk memperoleh kedudukan dapat merusak agama seseorang. Kerusakannya tidak kurang dari kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala terhadap sekawanan kambing. Agama seorang hamba tidak akan selamat bila ia memiliki ambisi untuk memperoleh harta dan kedudukan, hanya sedikit yang dapat selamat. Perumpamaan yang teramat agung ini memberikan pesan untuk benar-benar waspada dari keburukan ambisi untuk memperoleh harta dan kedudukan di dunia.”
Beliau rahimahullah juga berkata, “Ambisi seseorang terhadap kedudukan tentu lebih berbahaya dibandingkan ambisinya terhadap harta. Karena usaha untuk mendapatkan kedudukan duniawi, derajat tinggi, kekuasaan atas orang lain, dan kepemimpinan di atas muka bumi, lebih besar mudaratnya dibandingkan usaha mencari harta. Sungguh besar mudaratnya. Bersikap zuhud dalam hal ini begitu sulit.” (Syarh Ibnu Rajab)
Menjaga Agama Adalah Cita-cita Mulia
Di dalam hadits ini terdapat faedah yang mengingatkan kita bahwa perkara yang terpenting bagi seorang hamba adalah menjaga agamanya. Serta merasa rugi apabila muncul kekurangan di dalam menjalankan agama. Cinta seorang hamba terhadap harta dan kedudukan, upaya yang ia tempuh untuk mendapatkannya, ambisi untuk meraih harta dan kedudukan, serta kerelaan bersusah-payah untuk mengalahkan, hanya akan menyebabkan kehancuran agama dan runtuhnya sendi-sendi agamanya. Simbol-simbol agama akan terhapus. Bangunan-bangunan agamanya pun akan roboh. Ditambah lagi bahaya yang akan ia hadapi karena menempuh sebab-sebab kebinasaan.
Apakah Hanya Karena Sebuah Kedudukan Kita Menjatuhkan Diri Dalam Jurang Kehancuran?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umat Islam untuk meniru akhlak tercela kalangan Yahudi. Karena meniru akhlak tercela mereka akan berakhir dengan kehancuran dan celaka. Di antara sekian banyak tingkah laku Yahudi yang harus dijauhi adalah ambisi untuk mendapatkan kedudukan. Apakah pantas seorang muslim mengaku memperjuangkan Islam, sementara cara yang digunakan adalah cara-cara Yahudi? Dengan berebut kursi, meraih suara terbanyak, ingin tampil ke depan, hendak memimpin, menduduki kursi-kursi kedudukan, dan menjadi seorang penguasa? Allah Subhanahu wa ta’alaberfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
 Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullah ketika menjelaskan ayat di atas menyatakan, “Telah dibuat indah untuk manusia sifat tertariknya mereka terhadap wanita dan anak keturunan serta segala hal yang disebutkan. Allah Subhanahu wa ta’alamenyebutkan hal ini hanyalah untuk menjelaskan sifat buruk orang-orang Yahudi. Mereka lebih mengutamakan dunia dan ambisi terhadap kekuasaan dibandingkan harus mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal mereka telah mengetahui kebenarannya.” (Tafsir Ath-Thabari)
Ambisi Untuk Berkuasa Pasti Disertai Sikap Menjelekkan Orang Lain
Adapun orang-orang yang berambisi untuk meraih tampuk kekuasaan, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, mereka mengejar kekuasaan untuk melampiaskan seluruh keinginan. Yaitu berkuasa di muka bumi, agar seluruh hati mengarah dan cenderung kepada mereka, serta membantu mereka di dalam mewujudkan keinginan. Dalam keadaan merekalah yang menguasai dan mengatur. Sehingga ambisi untuk meraih kekuasaan hanya akan melahirkan kerusakan-kerusakan yang tidak mungkin diketahui secara pasti jumlahnya kecuali oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan muncul dosa, hasad, perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, dengki, kezaliman, fitnah, fanatik pribadi, tanpa memedulikan lagi hak Allah Subhanahu wa ta’ala. Orang yang terhina di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala akan dimuliakan sementara orang yang dimuliakan AllahSubhanahu wa ta’ala pasti dihina. Kekuasaan duniawi tidak mungkin sempurna kecuali dengan cara-cara kotor seperti tersebut di atas. Kekuasaan duniawi tidak akan tercapai kecuali dengan menempuh langkah-langkah yang penuh dengan mafsadah, bahkan berkali-kali lipat. Sementara orang-orang yang telah meraih kekuasaan amatlah buta dengan hal-hal ini. (Ar-Ruh, Ibnul Qayyim rahimahullah)
 Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Tidak ada seorang pun yang memiliki ambisi untuk mendapatkan kekuasaan melainkan ia pasti senang menyebutkan kekurangan dan cela orang lain, sehingga dialah yang dikenal sebagai orang sempurna. Dia pun tidak senang apabila ada yang menyebutkan kebaikan orang lain. Barangsiapa gila kekuasaan maka ucapkan ‘selamat berpisah’ dari kebaikan-kebaikannya.”
Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Ilmu
Al-Ahnaf bin Qais rahimahullah menjelaskan bahwa penyakit yang akan merusak alim ulama adalah ambisi untuk meraih kekuasaan. (‘Aja’ib Al-Atsar)
Al-Imam Ahmad rahimahullah pernah berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah, “Cinta kekuasaan lebih disenangi orang dibandingkan emas dan perak. Barangsiapa berambisi memperoleh kekuasaan ia akan mencari-cari aib orang lain.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih)
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Kekuasaan lebih disenangi oleh ahli qira’ah dibandingkan emas merah.” (Al-Wara’, Al-Imam Ahmad hal. 91)
Ibnu ‘Abdus rahimahullah berkata, “Setiap kali bertambah kemuliaan seorang alim dan bertambah tinggi derajatnya, maka semakin cepat dia merasa ujub. Kecuali orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan taufiq-Nya dan membuang ambisi terhadap kekuasaan dari dirinya.” (Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih 1/142, Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah)
“Ilmu hadits adalah disiplin ilmu yang mulia. Yang sesuai untuk ilmu ini hanyalah akhlak mulia dan perilaku yang terpuji. Ilmu ini akan menghilangkan akhlak buruk dan perilaku tercela. Ilmu hadits adalah ilmu akhirat, bukan ilmu dunia. Barangsiapa yang ingin mendengarkan periwayatan hadits atau ingin menyampaikan ilmu hadits, hendaknya ia berupaya meluruskan dan mengikhlaskan niat. Dia pun harus membersihkan hatinya dari tujuan-tujuan duniawi dan segenap noda-nodanya. Dia pun harus berhati-hati dari penyakit dan kotoran dari ambisi terhadap kekuasaan.” (Muqaddimah Ibnu Shalah)
Salah satu hal yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat, ulama dunia senantiasa memerhatikan kekuasaan. Senang akan pujian dan massa. Sementara ulama akhirat menjauhi hal tersebut. Mereka benar-benar menjaga diri dari hal itu dan menyayangkan orang-orang yang terkena penyakit tersebut.
Namun dikarenakan telah terbiasa dan memiliki ambisi mendapatkan kedudukan, telah menguasai pemikiran mereka. Tinggallah ilmu hanya terucap melalui lisan sebagai sebuah adat, bukan untuk diamalkan. (Shaidul Khathir, Ibnul Jauzirahimahullah)
Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Realisasi Cinta Kepada Allah Subhanahu wa ta’ala
Seringkali syahwat khafiyyah (tersembunyi) yang masuk pada diri seseorang dapat merusak realisasi cinta seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Merusak pula penghambaan dan keikhlasan di dalam beragama. Sebagaimana pernyataan Syaddad bin Aus rahimahullah, ”Wahai sekalian sisa-sisa orang Arab. Sesungguhnya yang paling aku cemaskan bila menimpa kalian adalah riya’ dan syahwat khafiyyah.”
Ketika ditanya tentang makna syahwat khafiyyah, Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani rahimahullah menjawab, “Syahwat khafiyyah adalah ambisi terhadap kekuasaan.”
Hadits ini menjelaskan bahwa keyakinan yang benar tentu tidak akan membawa dirinya untuk berambisi semacam ini. Karena bila hati telah merasakan manisnya beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, merasakan manisnya mahabbah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, tentu tidak ada lagi yang lebih ia cintai selain itu sampai ia menemui-Nya. Dengan sebab inilah, keburukan dan kekejian akan dijauhkan dari orang yang benar-benar ikhlas kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. AllahSubhanahu wa ta’ala berfirman:
كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)
[Al-'Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah]
Termasuk Golongan Manakah Kita?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ambisi seorang hamba untuk memperoleh harta dan kekuasaan akan merusak agamanya. Seperti halnya atau bahkan lebih parah dibandingkan dua ekor serigala yang dibiarkan bebas di tengah-tengah kawanan kambing. Sungguh, Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan keadaan orang yang mendapatkan catatan amal dengan tangan kirinya. Dia Subhanahu wa ta’ala menyatakan:
مَآ أَغْنَىٰ عَنِّى مَالِيَهْ. هَلَكَ عَنِّى سُلْطَٰنِيَهْ
“Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku.” (Al-Haqqah: 28-29)
Akhir kehidupan seseorang yang haus akan kekuasaan hanyalah seperti Fir’aun. Adapun para penumpuk harta, akhir kehidupannya hanyalah seperti Qarun. Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberitakan keadaan Fir’aun dan Qarun di dalam kitab-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
أَوَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ كَانُوا۟ مِن قَبْلِهِمْ ۚ كَانُوا۟ هُمْ أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةًۭ وَءَاثَارًۭا فِى ٱلْأَرْضِ فَأَخَذَهُمُ ٱللَّهُ بِذُنُوبِهِمْ وَمَا كَانَ لَهُم مِّنَ ٱللَّهِ مِن وَاقٍۢ
 “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memerhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah.” (Ghafir: 21)
Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)
Sesungguhnya manusia ada empat macam.
Pertama, orang-orang yang menginginkan kekuasaan dan kerusakan di atas muka bumi, yaitu dengan durhaka kepada AllahSubhanahu wa ta’ala. Mereka adalah para raja dan penguasa yang selalu berbuat kejahatan seperti Fir’aun dan pengikutnya. Mereka adalah makhluk yang paling buruk. Allah Azza wa jalla berfirman:
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 4)
Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk Al-Jannah seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat semut kecil. Dan tidak akan masuk neraka seseorang yang di dalam hatinya keimanan seberat semut kecil.” Kemudian ada orang bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku merasa senang bila pakaian dan sandalku bagus. Apakah hal ini termasuk dari kesombongan?” Rasulullah menjawab, “Tidak, sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Indah, Dia senang dengan keindahan. Sombong ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”
Sikap menolak kebenaran dan merendahkan orang lain adalah sikap orang yang menginginkan kekuasaan dan kerusakan.
Kedua, orang-orang yang menghendaki kerusakan tanpa disertai keinginan untuk berkuasa. Seperti para pencuri dan penjahat dari kalangan orang-orang rendahan.
Ketiga, orang-orang yang menginginkan kekuasaan tanpa disertai kerusakan. Sebagaimana halnya orang yang memiliki agama namun ingin menguasai yang lain.
Keempat, para penduduk Al-Jannah. Yaitu orang-orang yang tidak menginginkan kekuasaan dan kerusakan di atas muka bumi. Padahal mereka lebih mulia kedudukannya dibanding yang lain.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139)
فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah-(pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu.” (Muhammad: 35)
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8)
Alangkah banyak orang yang mengharapkan kekuasaan padahal justru membuat dirinya semakin terhina. Betapa banyak orang yang diangkat kedudukannya padahal dirinya tidak berharap kekuasaan dan kerusakan. (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah)
Ulama Islam dan Kedudukan
Kepada mereka yang mengaku sedang memperjuangkan Islam. Kepada mereka yang merasa sedang mengibarkan bendera Islam. Apakah mereka lebih baik dari Salaf, generasi pertama umat Islam? Apakah mereka tidak membaca biografi para ulama? Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu dalam riwayat Muslim rahimahullah:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ، لاَ تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena sesungguhnya bila engkau memperoleh kepemimpinan karena permintaanmu maka engkau akan dibiarkan. Dan jika engkau memperolehnya tanpa dasar permintaan engkau akan dibantu.” (Silakan merujuk majalah Asy Syariah Vol I/No. 06/Maret 2004/Muharram 1425 untuk keterangan lebih lengkap tentang hadits ini, dengan tema Hukum Meminta Jabatan)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah di dalam Siyar A’lam An-Nubala’ menyebutkan banyak kisah menakjubkan dari sisi-sisi kehidupan para ulama. Mereka adalah manusia-manusia pilihan yang berusaha menjauhkan diri dari kedudukan dan kekuasaan. Berikut ini beberapa contoh yang dapat diambil ibrahnya.
- Manshur bin Al-Mu’tamir As-Sulami rahimahullah menolak untuk diangkat sebagai seorang qadhi. Maka dikirimlah serombongan pasukan untuk memaksanya. Kepada Yusuf bin ‘Umar, komandan pasukan tersebut, dikatakan, ”Walaupun engkau koyak kulit tubuhnya, dia tidak akan mau untuk menerima tawaran tersebut.” Maka, Manshur pun ditinggalkan.
- Abu Qilabah Al-Jarmi rahimahullah, salah seorang tabi’in, lari meninggalkan negerinya dari Bashrah hingga daerah Yamamah dan meninggal di sana. Beliau lari untuk menghindari tawaran menjadi seorang qadhi. Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah pernah menemuinya dan bertanya tentang alasan beliau untuk lari menghindar. Maka Abu Qilabah menjawab, “Aku tidak melihat sebuah perumpamaan yang tepat untuk seorang qadhi kecuali seseorang yang tercebur di dalam lautan yang luas, hingga kapan dia akan mampu berenang? Pasti dia akan tenggelam.”
- Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyi rahimahullah ketika menolak untuk diangkat menjadi seorang qadhi, beliau berkata kepada seseorang yang menanyakan sebab penolakannya, “Apakah engkau tidak mengerti bahwa para ulama akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama para nabi? Sementara para qadhi akan dikumpulkan bersama para penguasa?”
- Al-Mughirah bin Abdillah Al-Yasykuri rahimahullah menolak permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menjadi seorang qadhi. Beliau beralasan, Sungguh demi Allah, wahai Amirul Mukminin, aku lebih memilih dicekik oleh setan daripada harus memegang kedudukan qadha’. Ar-Rasyid lalu berkata, “Tidak ada lagi keinginan selain itu.” Kemudian Harun Ar-Rasyid pun mengabulkan permintaannya.
- Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata, “Amirul Mukminin memaksa Sufyan Ats-Tsauri untuk memegang kedudukan al-qadha’ (yakni menjadi qadhi). Maka, Sufyan pun berpura-pura menjadi orang bodoh agar terbebas. Setelah Amirul Mukminin mengetahui hal tersebut, maka Sufyan pun dibebaskan lalu ia melarikan diri.”
Marilah kita membaca biografi para ulama yang lain, seperti Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Abu ‘Amr Abdurrahman bin ‘Amr Al-Auza’i, Muhammad bin Wasi’ bin Jabir Al-Akhnas, Abu Sufyan Waki’ ibn Al-Jarrah Al-Kufi, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, Abu Ya’la Mu’alla bin Manshur Ar-Razi, Abdullah bin Idris bin Yazid Al-Kufi, dan yang lain. Mereka berusaha menjauhi kursi kedudukan. Benar-benar mengagumkan.
Apabila demikian sikap para ulama Islam, maka apakah mereka yang berebut kursi dan mencari suara terbanyak dapat dikatakan sedang memperjuangkan Islam? Dusta dan sungguh dusta lisan mereka. Mungkin terbersit dalam benak, jika kita tidak menduduki kursi-kursi penting maka Islam akan diinjak-injak? Maka, jawabnya ada pada pendirian seorang Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Disebutkan dalam Mihnatul Imam Ahmad (hal. 70-72) beliau berkata, ”Sungguh, sekali-kali tidak mungkin hal itu akan terjadi! Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala pasti akan membela agama-Nya. Sesungguhnya ajaran Islam ini memilki Rabb yang akan menolongnya. Dan sesungguhnya dienul Islam ini sangat kuat dan kokoh.”
Wallahu a’lam.
Sumber : asysyariah.com
Read More