tag:blogger.com,1999:blog-41609978263777563802024-02-20T01:15:49.472+07:00Anwarussunnah PetanahanAnwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.comBlogger67125tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-70189805664388645182020-07-20T18:52:00.001+07:002020-07-20T18:52:10.595+07:00Kurban: Keutamaan dan Hukumnya<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7QMWrz3H2S6pJkgaJ9Jc6pFgqhD4yrJaHwl41k-v2l5rVhyphenhyphenvJHPvaEXgFkTPfdrTJWNNxHesz3kmpfKLvRXzRCwz2XCC9oKInOJ_nPkJGmPbXNe32SAbcfqOtIW8jevdEGSkoo7bkThjM/s1600/Kurban-Keutamaan-dan-Hukumnya.jpg.webp" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="427" data-original-width="750" height="182" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7QMWrz3H2S6pJkgaJ9Jc6pFgqhD4yrJaHwl41k-v2l5rVhyphenhyphenvJHPvaEXgFkTPfdrTJWNNxHesz3kmpfKLvRXzRCwz2XCC9oKInOJ_nPkJGmPbXNe32SAbcfqOtIW8jevdEGSkoo7bkThjM/s320/Kurban-Keutamaan-dan-Hukumnya.jpg.webp" width="320" /></a></div>
<h3>
<strong>Definisi Kurban</strong></h3>
Imam al-Jauhari <em>rahimahullah</em> menukil dari al-Ashmu’i bahwa ada empat cara membaca kata اضحية:<br />
1. Dengan men-<em>dhammah</em> hamzah: أُضْحِيَّةٌ (<em>udh-hiyyah</em>)<br />
2. Dengan meng-<em>kasrah</em> hamzah: إِضْحِيَّةٌ (<em>idh-hiyyah</em>)<br />
Bentuk jamak untuk kedua kata di atas adalah أَضَاحِي, boleh dengan men-<em>tasydid</em> ya (<em>adhaahiy</em>) atau tanpa men-<em>tasydid</em>-nya (<em>adhaahii</em>).<br />
3. ضَحِيَّةٌ (<em>dhahiyyah</em>)dengan mem-<em>fathah</em> huruf <em>dhad</em>, bentuk jamaknya adalah ضَحَايَا (<em>dhahaayaa</em>)<br />
4. أَضْحَاةٌ (<em>adh-haatun</em>) dan bentuk jamaknya adalah أَضْحَى (<em>adh-haa</em>). Dari asal kata inilah penamaan hari raya Idul Adha diambil.<br />
<blockquote>
<h4>
<strong><em>Baca juga:</em></strong></h4>
<strong><em><a href="https://asysyariah.com/meneladani-nabi-dalam-beridul-fitri/">Meneladani Nabi dalam Beridul Fitri</a></em></strong></blockquote>
Dikatakan secara bahasa,<br />
<div dir="rtl" style="text-align: justify;">
<span style="color: blue; font-family: Traditional Arabic; font-size: 20pt;"><strong>ضَحَّى – يُضَحِّي – تَضْحِيَةً – فَهُوَ مُضَحٍّ</strong></span></div>
Al-Qadhi <em>rahimahullah</em>
menjelaskan, “Disebut demikian karena pelaksanaan (penyembelihan)
adalah pada waktu ضُحًى (dhuha), yaitu saat hari mulai siang.”<br />
<a name='more'></a><br />
<blockquote>
<h4>
<strong><em>Baca juga:</em></strong></h4>
<strong><em><a href="https://asysyariah.com/waktu-penyembelihan-hewan-qurban/">Waktu Penyembelihan Hewan Kurban</a></em></strong></blockquote>
Adapun definisi kurban secara syariat, dijelaskan oleh Allamah Abu Thayyib Muhammad Syamsulhaq al-Azhim Abadi dalam kitabnya <em>‘Aunul Ma’bud</em> (7/379), “Hewan yang disembelih pada hari <em>nahr</em> (Idul Adha) dalam rangka <em>taqarrub</em> (mendekatkan diri) kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>.” (Lihat <em>al-Majmu’ </em>8/215, <em>Syarah Muslim</em> 13/93, <em>Fathul Bari</em> 11/115, <em>Subulus Salam</em> 4/166, <em>Nailul Authar</em> 5/196, <em>‘Aunul Ma’bud</em> 7/379, dan <em>Adhwa’ul Bayan</em> 3/470)<br />
<h3>
<strong>Syariat Kurban dan Keutamaannya </strong></h3>
Dalil yang menunjukkan disyariatkannya menyembelih hewan kurban adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama.<br />
<h4>
1. Dalil dari Al-Qur’an</h4>
Firman Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>,<br />
<div dir="rtl" style="text-align: justify;">
<span style="color: #339966; font-family: Arabic11 BT; font-size: 20pt;"><strong>فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ</strong></span></div>
<em>“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan kurban.” </em><strong>(al-Kautsar: 2)</strong><br />
Menurut
sebagian ahli tafsir, seperti Ikrimah, Mujahid, Qatadah, dan Atha, kata
النَّحْرُ dalam ayat di atas maknanya adalah menyembelih hewan kurban.<br />
<blockquote>
<h4>
<strong><em>Baca juga:</em></strong></h4>
<strong><em><a href="https://asysyariah.com/tata-cara-menyembelih-hewan-qurban/">Tata Cara Menyembelih Hewan Kurban</a></em></strong></blockquote>
Asy-Syinqithi <em>rahimahullah</em> dalam <em>Adhwa’ul Bayan</em> (3/470) menegaskan, “Tidak samar lagi bahwa …. menyembelih hewan kurban masuk dalam keumuman ayat وَانْحَرْ.”<br />
Demikian pula keumuman firman Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>,<br />
<div dir="rtl" style="text-align: justify;">
<span style="color: #339966; font-family: Arabic11 BT; font-size: 20pt;"><strong>وَٱلۡبُدۡنَ
جَعَلۡنَٰهَا لَكُم مِّن شَعَٰٓئِرِ ٱللَّهِ لَكُمۡ فِيهَا خَيۡرٌۖ
فَٱذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَيۡهَا صَوَآفَّۖ فَإِذَا وَجَبَتۡ
جُنُوبُهَا فَكُلُواْ مِنۡهَا وَأَطۡعِمُواْ ٱلۡقَانِعَ وَٱلۡمُعۡتَرَّۚ</strong></span></div>
<em>“Dan
telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syiar Allah,
kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama
Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah
terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), makanlah sebagiannya dan
beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak
meminta-minta) dan orang yang meminta.”</em> <strong>(al-Hajj: 36)</strong><br />
<blockquote>
<h4>
<strong><em>Baca juga:</em></strong></h4>
<strong><em><a href="https://asysyariah.com/hukum-adab-terkait-dengan-orang-yang-berkurban/">Hukum & Adab Terkait dengan Orang yang Berkurban</a></em></strong></blockquote>
Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi dalam kitab <em>Fathur Rabbil Wadud</em>
(1/370) berhujah dengan keumuman ayat di atas untuk menunjukkan syariat
menyembelih hewan kurban. Beliau menjelaskan, “Kata الْبُدْنَ mencakup
semua hewan sembelihan, baik itu unta, sapi, maupun kambing.”<br />
<h4>
2. Dalil dari As-Sunnah</h4>
Dalil dari As-Sunnah ditunjukkan oleh sabda Rasulullah <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> dan perbuatannya.<br />
Di antara sabda beliau adalah hadits al-Bara bin Azib <em>radhiallahu anhu</em>,<br />
<div dir="rtl" style="text-align: justify;">
<span style="color: blue; font-family: Traditional Arabic; font-size: 20pt;"><strong>إِنَّ
أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ
نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، مَنْ فَعَلَهُ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ
ذَبَحَ قَبْلُ فَإِنَّمَا هُوَ لَـحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ
النُّسُكِ فِي شَيْءٍ</strong></span></div>
<em>“Sesungguhnya, yang
pertama kali kita mulai pada hari ini adalah shalat. Kemudian kita
pulang lalu menyembelih hewan kurban. Barang siapa berbuat demikian, dia
telah sesuai dengan <a href="https://asysyariah.com/mengagungkan-sunnah-buah-nyata-akidah-yang-benar/">sunnah kami</a>.
Barang siapa telah menyembelih sebelumnya, itu hanyalah daging yang dia
persembahkan untuk keluarganya, tidak termasuk ibadah kurban sedikit
pun.” </em>(<strong>HR. al-Bukhari </strong>no. 5545 dan<strong> Muslim </strong>no. 1961/7)<br />
<blockquote>
<h4>
<strong><em>Baca juga:</em></strong></h4>
<strong><em><a href="https://asysyariah.com/hukum-hukum-seputar-hewan-kurban/">Hukum-Hukum Seputar Hewan Kurban</a></em></strong></blockquote>
Di antara perbuatan beliau adalah hadits Anas bin Malik <em>radhiallahu anhu</em>,<br />
<div dir="rtl" style="text-align: justify;">
<span style="color: blue; font-family: Traditional Arabic; font-size: 20pt;"><strong>ضَحَّى
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ
أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَـحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَـمَّى وَكَبَّرَ
وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا</strong></span></div>
<em>“Rasulullah
berkurban dengan dua ekor kambing putih kehitaman yang bertanduk.
Beliau sembelih sendiri dengan tangannya. Beliau membaca basmalah,
bertakbir, dan meletakkan kakinya di sisi leher kambing tersebut.” </em>(<strong>HR. al-Bukhari </strong>no. 5554 dan<strong> Muslim </strong>no. 1966, dan lafaz hadits ini milik beliau)<br />
<h4>
3. Ijmak (kesepakatan) ulama</h4>
Dinukilkan kesepakatan ulama oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi <em>rahimahullah</em> dalam <em>asy-Syarhul Kabir</em> (5/157) <em>al-Mughni</em>, asy-Syaukani <em>rahimahullah</em> dalam <em>Nailul Authar</em> (5/196), asy-Syinqithi <em>rahimahullah</em> dalam <em>Adhwa’ul Bayan </em>(3/470), dan Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi dalam <em>Fathur Rabbil Wadud</em> (1/370).<br />
Para ulama hanya berbeda pendapat tentang wajib atau sunnahnya.<br />
<h3>
<strong>Keutamaan Kurban</strong></h3>
Keutamaan berkurban dapat diuraikan sebagai berkut:<br />
<h4>
1. Berkurban merupakan syiar-syiar Allah</h4>
Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam firman Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> pada surah al-Hajj ayat 36.<br />
<h4>
2. Berkurban merupakan bagian dari Sunnah Rasulullah <em>shallallahu alaihi wa sallam</em></h4>
Sebab, beliau <em>shallallahu alaihi wa sallam</em>
telah menganjurkan dan melaksanakannya. Maka dari itu, setiap muslim
yang berkurban seyogianya mencontoh beliau dalam pelaksanaan ibadah yang
mulia ini.<br />
<h4>
3. Berkurban termasuk ibadah yang paling utama.</h4>
Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> berfirman,<br />
<div dir="rtl" style="text-align: justify;">
<span style="color: #339966; font-family: Arabic11 BT; font-size: 20pt;"><strong>قُلۡ
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢ لَا شَرِيكَ لَهُۥۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۠
أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ١٦٣</strong></span></div>
<em>Katakanlah,
“Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk
Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah).” </em><strong>(al-An’am: 162—163)</strong><br />
Demikian pula firman-Nya,<br />
<div dir="rtl" style="text-align: justify;">
<span style="color: #339966; font-family: Arabic11 BT; font-size: 20pt;"><strong>فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ</strong></span></div>
<em>“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan kurban.”</em> <strong>(al-Kautsar: 2)</strong><br />
Sisi keutamaannya adalah bahwa dalam dua ayat di atas, Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> menggandengkan ibadah berkurban dengan ibadah shalat yang merupakan rukun Islam kedua.<br />
<blockquote>
<h4>
<strong><em>Baca juga:</em></strong></h4>
<strong><em><a href="https://asysyariah.com/memilih-hewan-kurban/">Memilih Hewan Kurban</a></em></strong></blockquote>
Syaikhul Islam <a href="https://asysyariah.com/sejarah-hidup-syaikhul-islam-ibnu-taimiyah/">Ibnu Taimiyah</a> <em>rahimahullah</em> sebagaimana dalam <em>Majmu’ Fatawa</em> (16/531—532) ketika menafsirkan ayat kedua surah al-Kautsar menguraikan,<br />
“Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> memerintah beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini, yaitu shalat dan menyembelih kurban yang menunjukkan sikap <em>taqarrub</em>, tawadhu, merasa butuh kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>, janji, perintah, serta keutamaan-Nya….”<br />
Beliau mengatakan lagi, “Oleh sebab itulah, Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> menggandengkan keduanya dalam firman-Nya,<br />
<div dir="rtl" style="text-align: justify;">
<span style="color: #339966; font-family: Arabic11 BT; font-size: 20pt;"><strong>قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ</strong></span></div>
<em>Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” </em><strong>(al-An’am: 162)</strong><br />
Walhasil, shalat dan menyembelih kurban adalah ibadah paling utama yang dapat mendekatkan diri kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>….”<br />
Beliau
juga menegaskan, “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah
menyembelih kurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah
shalat….”<br />
<h3>
<strong>Hukum Menyembelih Kurban</strong></h3>
Pendapat
yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah bahwa menyembelih kurban
hukumnya sunnah muakkadah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.<br />
Dalilnya adalah hadits Ummu Salamah <em>radhiallahu anha</em>, Rasulullah <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<div dir="rtl" style="text-align: justify;">
<span style="color: blue; font-family: Traditional Arabic; font-size: 20pt;"><strong>إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا</strong></span></div>
<em>“Apabila
masuk sepuluh hari Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak
menyembelih kurban, janganlah dia mengambil (memotong) rambut dan
kulitnya sedikit pun.” </em>(<strong>HR. Muslim </strong>1977/39)<br />
Sisi pendalilannya, Rasulullah <em>shallallahu alaihi wa sallam</em>
menyerahkan ibadah kurban kepada kehendak yang menunaikannya. Sementara
itu, perkara wajib tidak akan dikaitkan dengan kehendak siapa pun.<br />
<blockquote>
<h4>
<strong><em>Baca juga:</em></strong></h4>
<strong><em><a href="https://asysyariah.com/sunnah-yang-terabaikan-bagi-orang-yang-mau-berkurban/">Sunnah yang Terabaikan Bagi Orang yang Mau Berkurban</a></em></strong></blockquote>
Menyembelih hewan kurban berubah hukumnya menjadi wajib karena nazar. Hal ini berdasarkan sabda beliau <em>shallallahu alaihi wa sallam</em>,<br />
<div dir="rtl" style="text-align: justify;">
<span style="color: blue; font-family: Traditional Arabic; font-size: 20pt;"><strong>مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ</strong></span></div>
<em>“Barang siapa bernazar untuk menaati Allah, hendaklah dia menaati-Nya.” </em>(<strong>HR. al-Bukhari </strong>no. 6696, 6700 dari Aisyah <em>radhiallahu anha</em>)<br />
<h3>
<strong>Atas Nama Siapakah Berkurban Itu Disunnahkan?</strong></h3>
Syaikh Ibnu Utsaimin <em>rahimahullah</em> menjawab,<br />
“Disunnahkan dari orang yang masih hidup, bukan dari orang yang telah mati.<br />
Oleh sebab itulah, Nabi <em>shallallahu alaihi wa sallam</em> tidak pernah berkurban atas nama seorang pun yang telah mati. Tidak pula untuk istrinya, Khadijah <em>radhiallahu anha</em>, yang paling beliau cintai. Tidak juga untuk Hamzah <em>radhiallahu anhu</em>,
paman yang beliau cintai. Tidak pula untuk putra-putri beliau yang
telah wafat semasa hidup beliau, padahal mereka adalah bagian dari
beliau. Beliau hanya berkurban atas nama diri dan keluarganya.<br />
Barang
siapa memasukkan orang yang telah meninggal pada keumuman (keluarga),
pendapatnya masih ditoleransi. Namun, berkurban atas nama orang yang
telah mati di sini statusnya hanya mengikut, bukan berdiri sendiri.<br />
Oleh karena itu, tidak disyariatkan berkurban atas nama orang yang mati secara tersendiri, karena tidak <em>warid</em> (datang) riwayat dari Nabi <em>shallallahu alaihi wa sallam</em>.” (<em>asy-Syarhul Mumti’</em>, 3/423—424, cet. Darul Atsar, lihat pula hlm. 389—390)<br />
<h4>
Berkurban atas nama orang yang telah mati hanya diperbolehkan pada keadaan berikut:</h4>
<ol>
<li>Apabila orang yang telah mati tersebut pernah <a href="https://asysyariah.com/hukum-nadzar/">bernazar</a> sebelum wafatnya. Nazar tersebut dipenuhi karena termasuk nazar ketaatan.</li>
<li>Apabila
orang yang telah mati tersebut berwasiat sebelum wafatnya. Wasiat
tersebut dapat terlaksana dengan ketentuan tidak melebihi 1/3 harta sang
mayit. (Lihat <em>Syarh Bulughil Maram</em>, 6/87—88, karya Syaikh Ibnu Utsaimin <em>rahimahullah</em>)</li>
</ol>
Hadits yang menunjukkan kebolehan berkurban atas nama orang mati adalah <em>dha’if</em>.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2790) dan at-Tirmidzi (no. 1500) dari
jalan Syarik, dari Abul Hasna, dari al-Hakam, dari Hanasy, dari Ali bin
Abi Thalib <em>radhiallahu anhu</em>.<br />
Hadits ini <em>dha’if</em> karena beberapa sebab:<br />
a. Syarik adalah Ibnu Abdillah an-Nakha’i al-Qadhi. Dia <em>dha’if</em> karena hafalannya jelek setelah menjabat sebagai <em>qadhi</em> (hakim).<br />
b. Abul Hasna <em>majhul</em> (tidak dikenal).<br />
c. Hanasy adalah Ibnul Mu’tamir ash-Shan’ani<br />
Pada haditsnya ada kelemahan walau dirinya dinilai <em>shaduq lahu auham</em> (jujur tetapi punya beberapa kekeliruan) oleh al-Hafizh dalam <em>Taqrib</em>-nya.<br />
Hadits ini dimasukkan oleh Ibnu Adi dalam <em>al-Kamil</em> (2/844) sebagai salah satu kelemahan Hanasy.<br />
<h4>
Adapun apabila ada yang berkurban atas nama orang yang telah mati, amalan tersebut dinilai sebagai sedekah atas namanya.</h4>
Amalan ini termasuk keumuman hadits,<br />
<div dir="rtl" style="text-align: justify;">
<span style="color: blue; font-family: Traditional Arabic; font-size: 20pt;"><strong>إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ …</strong></span></div>
<em>“Apabila seseorang telah mati, terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ….” </em>(<strong>HR. Muslim</strong> no. 1631 dari Abu Hurairah <em>radhiallahu anhu</em>)<br />
<em>Wallahul Muwaffiq.</em><br />
<h4>
Ditulis oleh Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin</h4>
<h4>
sumber : https://asysyariah.com/qurban-keutamaan-dan-hukumnya</h4>
Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-53189658618841516962019-12-27T07:01:00.003+07:002019-12-27T07:01:50.292+07:00Bacaan-Bacaan Tasyahud<div style="text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsw23A9vfJW-zRP6Z6016eCd0d16U2CvcgPVmo7dh3n65udEQhr5KF3irhqg1qzivtSCg9faHgZeHblO9GXmbpClpjEeHq9STV6-HTeSyZnypXbSfYqjg6oDXpsWDDg0mFyS_rsVBXBWhg/s1600/masjid-gresik-303-350x250.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="251" data-original-width="350" height="228" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsw23A9vfJW-zRP6Z6016eCd0d16U2CvcgPVmo7dh3n65udEQhr5KF3irhqg1qzivtSCg9faHgZeHblO9GXmbpClpjEeHq9STV6-HTeSyZnypXbSfYqjg6oDXpsWDDg0mFyS_rsVBXBWhg/s320/masjid-gresik-303-350x250.jpg" width="320" /></a>Dahulu sebelum diajari tasyahud, dalam shalat para sahabat mengucapkan,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
السَّلاَمُ عَلَى اللهِ، السَّلاَمُ عَلىَ جِبْرِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ، السَّلاَمُ عَلَى فُلاَنٍ وَفُلاَنٍ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Keselamatan
atas Allah. Keselamatan atas Jibril dan Mikail. Keselamatan atas Fulan
dan Fulan (yang mereka maksudkan adalah para malaikat).”</i></div>
<div style="text-align: justify;">
Suatu hari Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> menghadap mereka seraya berkata,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
لاَ تَقُوْلُوا: السَّلاَمُ عَلَى اللهِ، فَإِنَّ اللهَ هُوَ السَّلاَمُ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Janganlah kalian mengatakan, “Keselamatan atas Allah; karena Allah adalah as-Salam.” </i></div>
<div style="text-align: justify;">
Lalu beliau <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> mengajari mereka bacaan tasyahud. (HR. al-Bukhari no. 831 dan Muslim no. 895)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Membaca Tasyahud Disunnahkan dengan <i>Sirr</i></strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Abdullah ibnu Mas ’udz mengatakan, “Merupakan sunnah Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i>, tasyahud dibaca secara <i>sirr</i>.” (HR. Abu Dawud no. 986, at-Tirmidzi no. 291, dinyatakan sahih dalam <i>Shahih Abi Dawud </i>dan <i>Shahih at-Tirmidzi</i>)</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Imam Tirmidzi <i>rahimahumallah</i> berkata, “Inilah yang diamalkan oleh para ulama.” (<i>Sunan at-Tirmidzi</i>, 1/179)</div>
<div style="text-align: justify;">
An-Nawawi <i>rahimahumallah</i> berkata, “Ulama sepakat di<i>sirr</i>kannya bacaan tasyahud dan dibenci membacanya dengan <i>jahr</i>. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Mas’ud.” (<i>al-Majmu’</i>, 3/444)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Bacaan Tasyahud</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Bacaan tasyahud yang diajarkan Rasulullah <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> bermacam-macam sehingga memberikan kelapangan kepada umat beliau untuk memilih di antara bacaanbacaan tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>1. Tasyahud Ibnu Mas’ud <i><i>radhiyallahu ‘anhu </i></i></strong>Ini adalah bacaan tasyahud yang paling sahih di antara bacaan-bacaan yang ada menurut para ulama.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ibnu Mas’ud <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i>
berkata, “Rasulullah n mengajariku tasyahud, dalam keadaan telapak
tanganku berada di antara dua telapak tangan beliau, sebagaimana beliau
mengajariku surat al-Qur’an” (HR. al-Bukhari no. 6265 dan Muslim no.
899).</div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun bacaannya adalah sebagai berikut,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
التَّحِيَّاتُ
وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ
اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Semua salam/keselamatan milik Allah, demikian pula shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah </i><i><i>Subhanahu wata’ala</i></i><i>) dan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah </i><i><i><i>Subhanahu wata’ala</i></i>). Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah </i><i><i>Subhanahu wata’ala</i></i> <i>dan
keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah
yang saleh1. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak
disembah selain Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba
dan rasul-Nya.” </i>(HR. al-Bukhari no. 831 dan Muslim no. 895)</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagian sahabat Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> meriwayatkan dengan,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
السَّلاَمُ عَلَي النَّبِيّ</div>
<div style="text-align: justify;">
menggantikan,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ</div>
<div style="text-align: justify;">
Di antara yang meriwayatkan demikian adalah Abdullah ibnu Mas’ud <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i> dalam <i>Shahih al-Bukhari </i>(no. 6265) dan selainnya, dengan jalur selain jalur riwayat di atas. Beliau berkata, “Kami mengatakan saat Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> masih hidup,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
السَّلاَمُ عَلَيْكَ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Keselamatan atasmu….”</i></div>
<div style="text-align: justify;">
Tatkala Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> telah wafat, kami mengatakan,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
السَّلاَمُ عَلَي النَّبِيّ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Keselamatan atas Nabi….”</i></div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Menurut tambahan riwayat ini, zahirnya para sahabat mengucapkan,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ</div>
<div style="text-align: justify;">
dengan huruf <i>kaf </i>yang menunjukkan kata ganti orang kedua (yang diajak bicara) ketika Nabi n masih hidup. Tatkala Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> sudah meninggal, mereka menyebutkan dengan lafadz <i>ghaib </i>(kata ganti orang ketiga yang tidak hadir). Mereka mengatakan,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
السَّلاَمُ عَلَي النَّبِيُّ</div>
<div style="text-align: justify;">
(lihat <i>Fathul Bari, </i>11/48)
Al-Imam al-Albani t mengatakan, “Dalam hal ini masalahnya lapang.
Sebab, lafadz mana pun yang diucapkan oleh seorang yang shalat, asalkan
itu <i>tsabit</i>/ pasti dari Rasulullah <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i>, dia telah menepati sunnah.<i>” </i>(<i>al-Ashl</i>, 3/891)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Pendapat Ibnu Utsaimin dalam Masalah Ini</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Kata Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin <i>rahimahumallah</i>, “Menurut saya, ini adalah ijtihad Ibnu Mas’ud <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i>. Akan tetapi, ijtihad ini tidak benar dari tiga sisi:</div>
<div style="text-align: justify;">
1. Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> mengajari Ibnu Mas’ud <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i> hadits ini dan tidak mengaitkannya dengan menyatakan, <i>“Selama aku masih</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>hidup (ucapkan begini…).” </i>Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> justru memerintahkan Ibnu Mas’ud <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i> untuk mengajari manusia lafadz seperti ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
2. Orang yang mengucapkan salam kepada Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i>
di dalam shalat tidaklah sama dengan orang yang mengucapkan salam dalam
keadaan berhadapan/ bertemu, yang saling bertemu ini tidak terjadi lagi
setelah wafat beliau (karena itu lafadznya perlu diganti).</div>
<div style="text-align: justify;">
Akan
tetapi, orang yang mengucapkan salam kepada beliau di dalam shalat
hanyalah sebagai bentuk doa, bukan salam karena mengajak bicara.</div>
<div style="text-align: justify;">
3. Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i> mengajari tasyahud kepada manusia dalam posisi beliau sebagai khalifah di atas mimbar Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> dengan lafadz,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ</div>
<div style="text-align: justify;">
Hal ini disaksikan oleh para sahabat dan dalam keadaan Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> telah wafat. Namun, tidak ada seorang pun yang mengingkari lafadz yang diajarkan oleh Umar <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i>. Di samping itu, tidak diragukan bahwa Umar <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i> lebih berilmu dan lebih faqih daripada Ibnu Mas’ud <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i>, sampai-sampai Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> bersabda,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
إِنْ يَكُنْ فِيْكُمْ مُحَدَّثُوْنَ فَعُمَرُ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Jika di antara kalian ada muhaddatsun2, dia adalah Umar.” </i>(<i>Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarh Bulughil Maram</i>, 3/394)</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam fatwa <i>al-Lajnah ad-Daimah </i>dinyatakan, “Yang benar, seorang yang shalat mengucapkan dalam tasyahudnya,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebab, inilah yang <i>tsabit </i>dalam hadits-hadits. Adapun riwayat dari Ibnu Mas’ud <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i>
dalam masalah tasyahud, jika memang haditsnya sahih, hal itu merupakan
ijthad dari pelakunya yang tidak bisa dipertentangkan dengan
hadits-hadits yang <i>tsabit</i>. Seandainya hukumnya berbeda antara
semasa hidup Rasulullah dan sepeninggal beliau, niscaya beliau akan
menerangkannya kepada mereka.” (<i>Fatawa al-Lajnah ad-Daimah</i>, 7/10—11)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Hukum Tambahan Lafadz “Wa Maghfiratuh”</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Rabi’ bin Haitsam pernah datang kepada Alqamah, meminta pendapat Alqamah untuk menambah setelah ‘<i>warahmatullahi’ </i>dengan lafadz ‘<i>wa maghfiratuh’. </i>Alqamah berkata, “Kita hanyalah mencukupkan dengan apa yang telah diajarkan kepada kita (dari Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i>).” <i>(Mushannaf Abdirrazzaq ash-Shan’ani</i>, no. 3062)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>2. Tasyahud Ibnu Abbas <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i></strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut al-Imam asy-Syafi’i <i>rahimahumallah</i>,
tasyahud ini paling beliau senangi karena paling sempurna. Meski
demikian, beliau,tidak mempermasalahkan orang lain yang mengamalkan
tasyahud selain ini selama haditsnya sahih. (<i>al-Umm, </i>Bab “at-Tasyahud wash Shalah ‘alan Nabi”)</div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun bacaannya,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
التَّحِيَّاتُ
الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ،ِلهلِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ
أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا
وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ
اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Semua salam/keselamatan, keberkahan-keberkahan, demikian pula shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah </i><i><i><i>Subhanahu wata’ala</i></i>) dan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah </i>l<i>)
adalah milik Allah. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah
dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba
Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang
berhak disembah kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad
adalah hamba dan rasul-Nya.” </i>(HR. Muslim no. 900)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>3. Tasyahud Abu Musa al-Asy’ari <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i></strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Lafadznya,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
التَّحِيَّاتُ
الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ ،ِلهلِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى
عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Semua salam/keselamatan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah </i><i><i>Subhanahu wata’ala</i></i><i>), demikian pula shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah </i><i><i><i>Subhanahu wata’ala</i></i>)
adalah milik Allah. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah
dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba
Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang
berhak disembah kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad
adalah hamba dan rasul-Nya.” </i>(HR. Muslim no. 902)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>4. Tasyahud Ibnu Umar <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i></strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Lafadznya,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
التَّحِيَّاتُ
الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ
اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Semua salam/keselamatan milik Allah, demikian pula shalawat (doadoa= pengagungan kepada Allah </i><i><i>Subhanahu wata’ala</i></i><i>) dan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah </i><i><i>Subhanahu wata’ala</i></i><i>).
Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya.
Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang saleh. Aku
bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali
Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya
Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” </i>(HR. Abu Daud no. 971, dinyatakan sahih dalam <i>Shahih Abi Daud</i>)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>5. Tasyahud Umar ibnul Khaththab <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i></strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Umar mengajarkannya kepada manusia dalam keadaan beliau berada di atas mimbar. Lafadznya,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
التَّحِيَّاتُ
،ِلهلِ الزَّاكِيَاتُ ،ِلهلِ الطَّيِّبَاتُ، الصَّلَوَاتُ لهلِ السَّلاَمُ
عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ ،
السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Semua
salam/keselamatan milik Allah, amal-amal saleh yang menumbuhkan pahala
untuk pelakunya di akhirat adalah untuk Allah, demikian pula
ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah </i><i><i>Subhanahu wata’ala</i></i><i>) dan shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah </i><i><i><i>Subhanahu wata’ala</i></i>)
adalah milik Allah. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah
dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba
Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang
berhak disembah kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad
adalah hamba dan rasul-Nya.” </i>(HR. Malik dalam <i>al-Muwaththa’</i>, no. 207)</div>
<div style="text-align: justify;">
Walaupun riwayat ini <i>mauquf </i>sampai Umar, namun hukumnya <i>marfu’ </i>sebagaimana kata Ibnu Abdil Barr <i>rahimahumallah</i>, “Dimaklumi, dalam urusan seperti ini tidaklah mungkin (seorang sahabat) mengatakan dengan <i>ra’yu</i>/akal-akalan/ pendapat pribadi.” (<i>al-Istidzkar</i>, 4/274)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>6. Tasyahud Aisyah <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i></strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Lafadznya,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
التَّحِيَّاتُ،
الطَّيِّبَاتُ، الصَّلَوَاتُ، الزَّكِيَاتُ ،ِلهلِ أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى
عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Semua salam/keselamatan, ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah </i><i><i><i>Subhanahu wata’ala</i></i>), shalawat(doa-doa pengagungan kepada Allah </i><i><i><i>Subhanahu wata’ala</i></i>),
demikian pula amal-amal saleh yang menumbuhkan pahala untuk pelakunya
di akhirat adalah untuk Allah. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah saja tidak ada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan
rasul-Nya. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan
keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hamba-hamba Allah
yang saleh. Salam kesejahteraan atas kalian.” </i>(HR. Malik no. 209)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Bacaan Tasyahud Manakah yang Paling Utama?</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang mana saja dari bacaan di atas diamalkan oleh orang yang shalat, semuanya sahih dan mencukupinya. Kata an-Nawawi <i>rahimahumallah</i>,
“Ulama sepakat bolehnya membaca semua tasyahud yang ada, namun mereka
berselisih tentang mana yang paling utama dibaca. Mazhab asy-Syafi’i <i>rahimahumallah</i> dan sebagian pengikut al-Imam Malik <i>rahimahumallah</i> berpandangan tasyahud Ibnu Abbas <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i> lebih utama karena ada tambahan lafadz <i>al-mubarakat </i>di dalamnya dan sesuai dengan firman Allah <i><i>Subhanahu wata’ala</i></i>,</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Tahiyyat dari sisi Allah yang mubarakah thayyibah.” </i>(an-Nur: 61)</div>
<div style="text-align: justify;">
Selain itu, Ibnu Abbas <i><i>radhiyallahu ‘anhu </i></i>menegaskan tasyahud yang diperolehnya dengan pernyataan, “Rasulullah <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> mengajari kami tasyahud sebagaimana beliau mengajari kami surat dari al- Qur’an.” Abu Hanifah dan Ahmad<i>rahimahumallah</i> serta jumhur fuqaha dan ahlul hadits berpendapat, tasyahud Ibnu Mas’ud <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i> lebih utama karena haditsnya paling sahih menurut ahli hadits, walaupun seluruh bacaan tasyahud di atas haditsnya yang sahih.</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Imam Malik <i>rahimahumallah</i> berkata, “Tasyahud Umar ibnul Khaththab <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i> yang <i>mauquf</i>3
lebih utama karena Umar mengajarkamnya kepada manusia dalam keadaan
beliau di atas mimbar dan tidak ada seorang pun (yang hadir)
menentangnya (menyalahkan bacaannya). Ini menunjukkan keutamaan bacaan
tersebut.” (<i>al-Minhaj, </i>4/336)</div>
<div style="text-align: justify;">
Kata al-Imam at-Tirmidzi <i>rahimahumallah</i>, hadits Ibnu Mas’ud <i><i>radhiyallahu ‘anhu</i></i>
diriwayatkan lebih dari satu jalur dan merupakan hadits yang paling
sahih dari Nabi n dalam masalah tasyahud. Inilah yang diamalkan oleh
mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> dan kalangan tabi’in setelah mereka. Ini adalah pendapat Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq. (<i>Sunan at-Tirmidzi</i>, 1/177—178)</div>
<div style="text-align: justify;">
Kata al-Bazzar <i>rahimahumallah</i>, sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani <i>rahimahumallah</i> dalam <i>Fathul Bari </i>(2/408),
“Aku tidak mengetahui dalam hal tasyahud ada hadits yang lebih kokoh,
lebih sahih sanadnya, dan lebih masyhur para rawinya daripada hadits
ini.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Memulai Tasyahud dengan Zikir Selain Tahiyat</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Abul Aliyah berkata, “Ibnu Abbas mendengar seseorang ketika duduk dalam shalat berkata, ‘<i>Alhamdulillah</i>’,
sebelum membaca tasyahud. Ibnu Abbas menghardiknya seraya mengatakan,
‘Mulailah dengan tasyahud ’.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq no. 3058)</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam riwayat al-Baihaqi (2/143) disebutkan, Ibnu Abbas mendengar ada seseorang berkata dalam tasyahhudnya, ‘<i>Bismillah, at-tahiyyatu lillah</i>’, maka Ibnu Abbas menghardiknya. Ada riwayat dari Ibnu Abbas juga, dia mendengar seseorang ketika duduk dalam shalat berkata, ‘<i>Alhamdulillah</i>’, sebelum membaca tasyahud. Ibnu Abbas lalu menghardiknya dan berkata, “Mulailah dengan tasyahud.”</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBWl1rSTfxZb1zFwMZJGlaSSfk3aB7tfK22qXOmwZQl4B0yallMMuSQx23dfdN_4nxHNw8GgD54ZhrKFPwc8pfoRc8lCJWFeTeOxRbPmO9r5Bekj0eLN_NcnDZ1D5hFSdXgoBdqb0_uU7e/s1600/masjid-gresik-303-350x250.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="251" data-original-width="350" height="228" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBWl1rSTfxZb1zFwMZJGlaSSfk3aB7tfK22qXOmwZQl4B0yallMMuSQx23dfdN_4nxHNw8GgD54ZhrKFPwc8pfoRc8lCJWFeTeOxRbPmO9r5Bekj0eLN_NcnDZ1D5hFSdXgoBdqb0_uU7e/s320/masjid-gresik-303-350x250.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Imam Ibnul Mundzir <i>rahimahumallah </i>mengatakan tentang mengawali bacaan tasyahud dengan zikir yang lain, “Tidak ada satu pun berita yang sahih dari Rasulullah <i>Shallallahu ‘alaihi wasallam</i> yang menyebutkan adanya bacaan tasmiyah (mengucapkan <i>bismillah</i>)
sebelum bertasyahud. Aku tidak mengetahui penyebutan yang demikian
selain hadits Aiman, dari Abu az-Zubair, dari Jabir. Namun, dikatakan
bahwa Aiman keliru dalam masalah ini dan tidak ada yang meyepakatinya.
Jadi, dia tidak kokoh dari sisi penukilan. Semua ulama yang kami jumpai
memandang bahwa (bacaan tasyahud) dimulai dengan tasyahud (tanpa ucapan
lain sebelumnya) berdasar kabar yang <i>tsabit </i>dari Rasulullah n.
Dalam hadits Abu Musa ada dalil yang menunjukkan benarnya ucapan ini.
Aku pun telah menyebutkannya dalam kitab ini. Ini adalah pendapat ulama
penduduk Madinah, ulama penduduk Kufah, dan asy-Syafi’i serta
pengikutnya. Seandainya seseorang ingin bertasyahud dengan menyebut nama
Allah <i><i>Subhanahu wata’ala</i></i> sebelumnya, tidak ada dosa baginya.” (<i>al-Ausath min as-Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf</i>, 2/382—383)</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong> https://asysyariah.com/bacaan-bacaan-tasyahud/</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-34458955574066530712019-07-22T05:38:00.000+07:002019-07-22T05:39:10.103+07:00Mengutamakan Akhirat di Atas Dunia<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXI3dYDumgtHiTC206VPOcnnFJzSKop3KIsZTVrLRFSAU54Z9Li5JePWkhk5sDbLBRwq4OdL2_uH7uy-PMgrBnSn6JJOO-Iy8I2fivqfuOVpBRUwFBAY-_XutSTQVR_67rO51-E6tVagoX/s1600/masjid-gresik-303-350x250.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="251" data-original-width="350" height="228" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXI3dYDumgtHiTC206VPOcnnFJzSKop3KIsZTVrLRFSAU54Z9Li5JePWkhk5sDbLBRwq4OdL2_uH7uy-PMgrBnSn6JJOO-Iy8I2fivqfuOVpBRUwFBAY-_XutSTQVR_67rO51-E6tVagoX/s320/masjid-gresik-303-350x250.jpg" width="320" /></a></div>
Seandainya kalbu:<br />
1) merenungi kefanaan kehidupan dunia dan
tidak langgengnya kesenangan-kesenangan yang ada padanya, dan akan
berakhirnya berbagai kenikmatan yang ada di dalamnya, sambil
menghadirkan kesempurnaan kenikmatan dan kelezatan akhirat, keabadian
kehidupan padanya;<br />
2) merenungi pula kelebihan dan keutamaan
kenikmatan akhirat atas kenikmatan dunia; dan meyakini dengan pasti
tentang benarnya kedua pengetahuan ini, maka renungannya akan
menghasilkan pengetahuan yang ketiga:<br />
Akhirat
dengan kenikmatannya yang sempurna dan kekal abadi tentu lebih pantas
diutamakan oleh setiap orang yang berakal daripada kehidupan dunia yang
fana dan menipu.<br />
Dalam hal pengetahuan tentang akhirat, ada dua keadaan manusia:<br />
<ol>
<li><i>
Dia mendengar pengetahuan itu dari orang lain dalam keadaan kalbunya
tidak benar-benar yakin terhadap akhirat dan tidak mau
bersungguh-sungguh memahami hakikatnya.</i></li>
</ol>
Ini adalah
keadaan kebanyakan manusia. Ada tarik-menarik antara dua kutub di dalam
dirinya. Daya tarik yang pertama memikatnya untuk lebih mengutamakan
dunia, dan inilah yang terkuat dalam dirinya. Sebab, dunia bisa
disaksikan dan dirasakan langsung oleh pancaindra.<br />
<a name='more'></a><br />
Adapun daya
tarik yang kedua, yakni akhirat, lemah karena pengetahuan tentangnya
hanya dari pendengaran saja (belum bisa dirasakan oleh pancaindra).
Hatinya belum benar-benar meyakininya, dia pun tidak bersungguh-sungguh
merenunginya.<br />
Apabila ia mengutamakan akhirat dengan mengorbankan
dunianya, jiwanya berbisik bahwa dirinya telah meninggalkan sesuatu
yang pasti dan nyata, menuju sesuatu yang abstrak dan hanya berdasarkan
prasangka. Seolah-olah jiwanya menyeru, “Tentu aku tidak boleh
melepaskan sebiji jagung yang jelas terlihat di depan mata, demi
mendapatkan sebuah berlian yang baru sekedar janji.”<br />
Penyakit
inilah yang menghalangi jiwa-jiwa manusia untuk mempersiapkan dirinya
menghadapi akhirat, beramal dan berusaha bersungguh-sungguh untuk
menyongsongnya. Ini terjadi karena lemahnya ilmu dan keyakinan tentang
negeri akhirat.<br />
Seandainya jiwanya meyakini kehidupan akhirat
seyakin-yakinnya, tanpa ada celah keraguan di kalbunya, tentu dia tidak
akan meremehkannya. Pasti dia akan bersungguh-sungguh mempersiapkan
bekal menuju akhirat.<br />
Oleh karena itu, jika dihidangkan makanan
yang paling lezat lagi nikmat kepada seseorang dan dia sedang kelaparan,
lalu ada yang memberitahu bahwa makanan itu beracun, tentu ia tidak
akan menyantapnya. Sebab, dia tahu bahwa bahaya makanan tersebut
melampaui kelezatan menyantapnya.<br />
(Jika dalam hal makanan saja
demikian) mengapa keimanan seseorang terhadap akhirat tidak tertanam
seperti itu dalam hatinya? Ini tidak lain karena lemah dan tidak
terhunjamnya pohon ilmu dan iman terhadap kehidupan akhirat dalam
hatinya.<br />
Begitu pula saat ia akan melewati suatu jalan. Dia lalu
diberitahu bahwa di ujung jalan ada perampok dan begal yang membunuhi
orang yang melintas lalu merampas barang-barangnya. Orang itu tidak akan
melewati jalan tersebut, kecuali apabila dirinya:<br />
1) tidak percaya kepada yang memberitahunya, atau<br />
2) percaya diri akan kesanggupannya untuk melawan dan mengalahkan mereka.<br />
Kalau
saja dia memercayai berita itu sepenuhnya dan merasa tidak sanggup
melawan para perampok tersebut, pasti dia tidak akan menempuh jalan itu.<br />
Sekiranya
kedua pengetahuan ini telah ada pada diri seseorang, tentu dia tidak
akan mengutamakan dunia dan syahwatnya daripada akhirat.<br />
Jadi,
dapat dipahami bahwa mengutamakan urusan dunia dan tidak mempersiapkan
diri untuk negeri akhirat, tidak akan terjadi pada orang yang imannya
benar-benar jujur.<br />
<br />
<ol start="2">
<li><i> Dia
benar-benar yakin tanpa ragu sedikit pun bahwa akan ada kehidupan yang
pasti dia menetap di dalamnya setelah kehidupan di dunia ini.</i></li>
</ol>
Dia
yakin ada tempat kembali yang telah dipersiapkan untuknya, dan dunia
ini hanyalah jalan yang akan mengantarkannya ke tempat kembalinya
tersebut. Dunia ini hanya sekadar tempat persinggahan. Bersamaan dengan
itu dia yakin bahwa negeri akhirat tersebut kekal. Nikmat dan azabnya
juga tidak akan sirna.<br />
Seandainya bisa dibandingkan antara
kenikmatan dan azab di dunia dengan yang ada di akhirat, hanyalah
seperti mencelupkan jari ke laut, lalu jari itu diangkat lagi: Air yang
membasahi jari itulah permisalan dunia, sedangkan air laut itulah
akhirat.<br />
Pengetahuan ini tentu mendorong seseorang untuk
mengutamakan, mencari, dan bersungguh-sungguh mempersiapkan diri
menghadapi kehidupan akhirat.<br />
<br />
Bacalah perlahan dan renungilah firman Allah <i>subhanahu wa ta’ala</i>,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><b>ٱعۡلَمُوٓاْ
أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞ وَزِينَةٞ وَتَفَاخُرُۢ
بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٞ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِۖ كَمَثَلِ غَيۡثٍ
أَعۡجَبَ ٱلۡكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصۡفَرّٗا
ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمٗاۖ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٞ شَدِيدٞ وَمَغۡفِرَةٞ
مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٞۚ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ
ٱلۡغُرُورِ</b></span> ٢٠</div>
<div style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><b>سَابِقُوٓاْ
إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا كَعَرۡضِ
ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أُعِدَّتۡ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ
وَرُسُلِهِۦۚ ذَٰلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ
ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ</b> </span>٢١</div>
<i>“Ketahuilah,
sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah di antara kalian serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani. Kemudian tanaman itu menjadi
kering dan kamu lihat warnanya kuning lalu menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras, begitu pula ampunan dari Allah
serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu. </i><br />
<i>Berlomba-lombalah kamu kepada
ampunan dari Rabb-mu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
(Surga yang) disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya. Itulah karunia yang Allah berikan kepada siapa saja
yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” </i><b>(al-Hadid: 20—21)</b><br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><b>يَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ أَيَّانَ مُرۡسَىٰهَا</b> ٤٢ <b>فِيمَ أَنتَ مِن ذِكۡرَىٰهَآ</b></span> ٤٣ <span style="color: green;"><b> إِلَىٰ رَبِّكَ مُنتَهَىٰهَآ</b> </span>٤٤ <span style="color: green;"><b>إِنَّمَآ أَنتَ مُنذِرُ مَن يَخۡشَىٰهَا</b> </span>٤٥ <b>كَأَ<span style="color: green;">نَّهُمۡ يَوۡمَ يَرَوۡنَهَا لَمۡ يَلۡبَثُوٓاْ إِلَّا عَشِيَّةً أَوۡ ضُحَىٰهَا</span></b> ٤٦</div>
<i> </i><i>“(Orang-orang
kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan. Kapankah
terjadinya? Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)?
Kepada Rabb-mulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). Kamu
hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari
berbangkit). Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa
seakan-akan tidak tinggal (di dunia) kecuali hanya (sebentar saja) di
waktu sore atau pagi hari.” </i><b>(an-Nazi’at: 42—46)</b><br />
<br />
Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><b>مَا</b> <b>أَنَا</b> <b>فِي</b> <b>الدُّنْيَا</b> <b>إِلاَّ</b> <b>كَرَاكِبٍ</b> <b>اسْتَظَلَّ</b> <b>تَحْتَ</b> <b>شَجَرَةٍ</b> <b>ثُمَّ</b> <b>رَاحَ</b> <b>وَتَرَكَهَا</b></span></div>
<i>“Tidaklah
aku hidup di dunia ini melainkan seperti seorang pengembara yang sedang
istirahat berteduh di bawah naungan pohon. Kemudian pengembara tersebut
pergi meninggalkannya.” </i>(<b>HR.</b> <b>at-Tirmidzi</b>, <b>Ibnu Majah</b>, dan dihukumi sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)<br />
<br />
Semoga Allah <i>subhanahu wa ta’ala</i> menggolongkan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang jujur keimanannya dan senantiasa mengutamakan akhirat di atas dunia. Amin.<br />
(<i>Miftah Daris Sa’adah </i>1/542, dengan beberapa penambahan)<br />
<br />
Ditulis oleh <b>al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar</b><br />
<br />
<b> https://asysyariah.com</b>Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-48711582795017052952019-07-10T05:53:00.001+07:002019-07-10T05:53:20.711+07:00Meniti Jalan Sahabat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjSCBRQo1TnM2jYiddkP66JenRQgGEYfi60ppSCr47A3Cazlix2zjhZtSwPl6-dyIk40iCtdSN6JVS_3Gttq-WFZ7XNOlTS8fykbpNritWyflE0_dN7tvzCYk-m6NZ5uWWjVxYG0tnwotx/s1600/road_sunset_marking_grass_102104_1600x1200-150x150.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="150" data-original-width="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjSCBRQo1TnM2jYiddkP66JenRQgGEYfi60ppSCr47A3Cazlix2zjhZtSwPl6-dyIk40iCtdSN6JVS_3Gttq-WFZ7XNOlTS8fykbpNritWyflE0_dN7tvzCYk-m6NZ5uWWjVxYG0tnwotx/s1600/road_sunset_marking_grass_102104_1600x1200-150x150.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<em>“Tidaklah mendatangi kalian suatu masa kecuali masa yang setelahnya lebih jelek dari masa tersebut.”</em> <strong>[H.R. Al-Bukhari, dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu]</strong>. </div>
<div style="text-align: justify;">
Merupakan sunnatullah bahwasanya setiap datang suatu zaman, pasti zaman tersebut lebih jelek dari sebelumnya.<br />
Mari bercermin pada zaman pertama, zaman Nabi Adam ‘alaihi sallam. Pada
zaman itu seluruh manusia menyembah Allah, tidak mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun. Lalu, saat sepuluh generasi berlalu, muncullah umat
Nabi Nuh yang mempersekutukan Allah dengan menyembah orang shalih. Saat
turun azab Allah kepada penduduk bumi hingga hanya tersisa Nabi Nuh
beserta orang-orang yang bertauhid, bumi pun menjadi tenang. Kemudian
muncullah kembali penyembah selain Allah yang lebih buruk daripada
generasi yang terdahulu. Demikianlah seterusnya, hingga Allah pun
mengutus kepada kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi
terakhir, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di utus kepada sekalian alam . Beliau membawa cahaya penerang
kepada masyarakat yang telah rusak moralitas dan agamanya dalam segala
aspek. Beliau membawa cahaya yang telah disempurnakan oleh Dzat Yang
berada di atas langit ketujuh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
</div>
<a name='more'></a>Namun, layaknya kaum-kaum Nabi yang terdahulu, kaum beliau pun akan
mengalami degradasi dan kemunduran beragama. Mereka semakin jauh dari
koridor yang telah digariskan oleh Rasul mereka. Setiap bertambah zaman,
semakin jauh dari syariat. Hingga berakhir pada rusaknya moral dan
keagamaan seluruh bangsa mendekati hari kiamat kelak.<br />
Pantaslah jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,<em>
“Islam dimulai dalam keterasingan dan akan kembali terasing, maka
beruntunglah orang yang terasing (karena berpegang teguh dengan sunah
Nabi).”</em> <strong>[H.R. Muslim dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu]</strong>.<br />
Jadi, umat terbaik di Islam ini adalah umat yang pertamanya. Mereka
adalah para shahabat, lalu murid mereka, para tabi’in, kemudian disusul
murid tabi’in, para tabi’ut tabi’in. Mereka adalah orang-orang yang
telah disebutkan keutamaannya dalam lisan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang artinya, <em>“Manusia yang terbaik adalah generasiku, lalu yang setelahnya, lalu yang setelahnya.”</em> <strong>[H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah, dan Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhum]</strong>.<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Para Penghulu Umat</strong><br />
Para shahabat adalah para mahasiswa yang menimba ilmu dalam madrasah
kerasulan. Mereka tentu mendapat bagian yang besar dari ilmu syariat.
Mereka mengambil langsung dari mata air yang jernih, bebas dari
pikiran-pikiran tercemar yang datang setelah mereka. Mereka pun
merasakan segarnya mata air wahyu yang paling utama, paling banyak, dan
berkualitas.<br />
Para shahabat adalah orang-orang yang paling mengerti tentang agama ini
dibanding dengan yang setelah mereka. Mereka melihat bagaimana, kapan,
dan di mana wahyu diturunkan. Mereka langsung bertanya kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala merasakan kesulitan dalam memahami
wahyu. Tak hanya itu, mereka pun ditegur ketika salah memahami teks
wahyu. Contoh konkretnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhari dari shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, saat turun
firman Allah (yang artinya), <em>“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuri iman mereka dengan kezaliman, bagi mereka rasa aman dan
mereka orang yang diberi petunjuk.”</em><strong> [Q.S. Al-An’am:82]</strong>. </div>
<div style="text-align: justify;">
Para shahabat memahaminya bahwa setiap keumuman orang yang menzalimi
-termasuk yang menzalimi dirinya sendiri maupun menzalimi orang lain-
tidak akan mendapatkan keutamaan ini. Mereka pun mengatakan, <em>“Wahai
Rasulullah, siapakah di antara kami yang tidak menzalimi dirinya
sendiri?” Rasulullah menegur mereka yang maknanya, “Maksudnya bukan
seperti yang kalian sangka. Tidakkah kalian perhatikan ucapan Luqman
(yang artinya), ‘Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang besar.’</em> <strong>[Q.S. Luqman:13]</strong>?” <strong>[H.R. Al-Bukhari dan Muslim]</strong>. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikianlah, mereka senantiasa berada di dalam bimbingan yang benar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br />
Oleh sebab itu, shahabat adalah para penjaga umat ini. Rasulullah ` pun telah menegaskan hal itu dalam sabda beliau:</div>
<div style="text-align: justify;">
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى
السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لأَصْحَابِى فَإِذَا ذَهَبْتُ
أَتَى أَصْحَابِى مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِى أَمَنَةٌ لأُمَّتِى فَإِذَا
ذَهَبَ أَصْحَابِى أَتَى أُمَّتِى مَا يُوعَدُونَ<br />
<em>“Bintang-bintang adalah penjaga langit, jika bintang telah lenyap,
niscaya datang apa yang dijanjikan kepadanya (yakni terpecahnya langit
di hari kiamat). Aku adalah penjaga para shahabat, jika aku telah
meninggal, niscaya akan datang apa yang telah dijanjikan kepada mereka
(berupa gejolak peperangan, kemurtadan, dan lainnya), dan para
shahabatku adalah penjaga umatku, jika telah wafat para shahabatku,
niscaya datang apa yang telah dijanjikan kepada umatku (berupa pemikiran
yang menyimpang dan akidah-akidah yang menyeleweng).”</em> <strong>[H.R. Muslim]</strong>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Mereka adalah orang-orang pilihan. Allah memilih mereka dari semua
makhluk untuk menemani Nabi-Nya. Mereka berperang di atas agama-Nya,
menyampaikan ilmu yang mereka dapat dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, membelanya, dan menjaga kemurniannya. Salah seorang ulama
shahabat, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, <em>“Sesungguhnya
Allah melihat qalbu-qalbu hamba, maka Dia pun melihat qalbu Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai qalbu terbaik hamba, maka Dia pun
memilihnya untuk diri-Nya lalu mengutusnya membawa risalah-Nya. Lalu Dia
melihat hamba-hamba setelah qalbu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu Dia dapati qalbu-qalbu shahabatnya sebagai qalbu terbaik
hamba-hamba, Dia pun menjadikannya pendukung Nabi-Nya. Mereka pun
berperang atas nama agama-Nya. Maka, apa yang mereka anggap baik (secara
sepakat, red.), hal itu pun baik di sisi Allah dan apa yang mereka
anggap jelek, hal itu pun jelek di sisi Allah.”</em> <strong>[Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad]</strong>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Dari apa yang telah kami paparkan, jelaslah bahwa mengikuti pemahaman
mereka adalah jalan keselamatan. Jalan mereka adalah jalan terbaik dari
segala sisi. Cukuplah bagi kita wasiat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu
berikut ini, <em>“Barangsiapa ingin mengikuti, hendaknya dia mengikuti
yang telah mati karena yang masih hidup tidak aman untuk terjatuh ke
dalam godaan (kesesatan, red.). Mereka (yang pantas diikuti itu, red.)
adalah para shahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka
adalah yang terbaik dari umat ini. Mereka yang paling baik hatinya,
paling dalam ilmunya, dan paling sedikit memberta-beratkan diri dari
umat ini. Mereka adalah kaum yang telah Allah pilih untuk menemani
Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan agama-Nya. Maka
tirulah akhlak dan jalan mereka. Mereka, para shahabat Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berada di atas petunjuk yang lurus.”</em>
[Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya dari Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘anhu,, diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’
Bayan Al-‘Ilm wa Fadhlih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu].</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Lantas, bagaimana cara mengikuti mereka? Tentu kita tidak bisa langsung
berguru kepada mereka karena mereka semua telah meninggal. Namun,
pendapat, wasiat, fatwa, serta ucapan mereka telah termaktub dalam
buku-buku, telah tergores dalam karya-karya monumental, dan telah
dijelaskan oleh para ulama. Tinggal kita mengikuti jalan mereka dari
para ulama yang mengikuti mereka.<br />
Semoga Allah memudahkan kita untuk mengikuti Al-Quran dan sunnah dengan
pemahaman para shahabat. Amin. Allahu a’lam bish shawab. <strong>(Ustadz Abdurrahman)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong> http://tashfiyah.com/meniti-jalan-shahabat/</strong></div>
Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-36891859732002234912019-07-10T05:38:00.001+07:002019-07-10T05:38:17.578+07:00Mengharap Syafaat Pada Hari Kiamat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiW0OXkrtnd8DA_dmHlyGeibO8JalcptaEZXuZuyvrDvMZjGu35qJQ9GP2iZVU56GpA7uWFwDUrYyj76NFkCWHYi_gheSLFAwcgbgWIUKIqPJvHr5njuoX6XjdDZTtG8dch8fVCh3wwrek8/s1600/tetes-embun-di-ujung-daun-768x358.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="358" data-original-width="768" height="149" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiW0OXkrtnd8DA_dmHlyGeibO8JalcptaEZXuZuyvrDvMZjGu35qJQ9GP2iZVU56GpA7uWFwDUrYyj76NFkCWHYi_gheSLFAwcgbgWIUKIqPJvHr5njuoX6XjdDZTtG8dch8fVCh3wwrek8/s320/tetes-embun-di-ujung-daun-768x358.jpg" width="320" /></a></div>
Setiap muslim pasti mengharapkan syafaat di akhirat nanti. Dia
berharap agar pada hari tersebut syafaat bermanfaat baginya. Sungguh,
alangkah sengsaranya seorang yang pada hari tersebut terhalang untuk
mendapatkan syafaat.<br />
Memang tidak semua orang pantas mendapatkan syafaat. Hanya orang yang
memenuhi syarat yang bisa mendapatkan syafaat di akhirat. Allah <i>‘azza wa jalla</i> mengabarkan keadaan mereka ini dalam firman-Nya,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><b>فَمَا تَنفَعُهُمۡ شَفَٰعَةُ ٱلشَّٰفِعِينَ</b></span> ٤٨</div>
<i> “Tidaklah bermanfaat bagi mereka syafaat para pemberi syafaat.”</i><b>(al-Muddatstsir: 48)</b><br />
<br />
<b>Apa Itu Syafaat?</b><br />
Syafaat adalah menjadi perantara bagi yang lain untuk mendapatkan
manfaat atau menolak mudarat. Contohnya, syafaat untuk mendatangkan
kebaikan, syafaat Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bagi penduduk surga agar mereka memasukinya.<br />
<br />
<a name='more'></a>Contoh syafaat agar terhindar atau selamat dari kejelekan adalah syafaat Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bagi mereka yang pantas dimasukkan neraka sehingga tidak masuk neraka. (<i>al-Qaulul Mufid</i>, 1/203)<br />
<br />
<b>Hakikat Syafaat</b><br />
Allah <i>‘azza wa jalla</i> memberikan karunia kepada seorang yang
ikhlas, mengampuninya melalui perantaraan doa orang yang diberi izin
memberi syafaat, dalam rangka memuliakannya dan agar meraih <i>maqaman mahmuda</i>. (<i>Kitab at-Tauhid</i>)<br />
Jadi, syafaat adalah karunia dan keutamaan yang Allah <i>‘azza wa jalla</i> berikan bagi yang diberi syafaat.<br />
Adapun yang memberi syafaat, Allah <i>‘azza wa jalla</i> ingin memuliakannya dan menampakkan keutamaannya di hadapan hamba Allah <i>‘azza wa jalla</i> yang lain.<br />
<br />
<b>Siapakah yang Akan Memberikan Syafaat?</b><br />
Dalam <i>Shahih Muslim </i>disebutkan bahwa para malaikat, para nabi, dan orang-orang beriman akan memberikan syafaat. Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<b> </b><span style="color: blue;"><b>شَفَعَتِ</b> <b>الْمَلاَئِكَةُ</b> <b>وَشَفَعَ</b> <b>النَّبِيُّونَ</b> <b>وَشَفَعَ</b> <b>الْمُؤْمِنُونَ</b> <b>وَلَمْ</b> <b>يَبْقَ</b> <b>إِلاَّ</b> <b>أَرْحَمُ</b> <b>الرَّاحِمِينَ</b></span></div>
<i>“Malaikat memberikan syafaat, para nabi dan kaum mukminin memberi syafaat, tidak ada lagi kecuali Dzat Yang Paling Penyayang….” </i>(<i>Shahih Muslim, </i>hadits no. 302)<br />
Seorang yang syahid, meninggal di medan jihad, memiliki kesempatan
memberikan syafaat bagi tujuh puluh orang kerabatnya. Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<b> </b><span style="color: blue;"><b>لِلشَّهِيدِ</b> <b>عِنْدَ</b> <b>اللهِ</b> <b>سِتُّ</b> <b>خِصَالٍ</b><b>: </b><b>يُغْفَرُ</b> <b>لَهُ</b> <b>فِي</b> <b>أَوَّلِ</b> <b>دَفْعَةٍ</b> <b>وَيَرَى</b> <b>مَقْعَدَهُ</b> <b>مِن</b> <b>الْجَنَّةِ</b> <b>وَيُجَارُ</b> <b>مِنْ</b> <b>عَذَابِ</b> <b>الْقَبْرِ</b> <b>وَيَأْمَنُ</b> <b>مِنْ</b> <b>الْفَزَعِ</b> <b>الْأَكْبَرِ</b> <b>وَيُوضَعُ</b> <b>عَلَى</b> <b>رَأْسِهِ</b> <b>تَاجُ</b> <b>الْوَقَارِ</b> <b>الْيَاقُوتَةُ</b> <b>مِنْهَا</b> <b>خَيْرٌ</b> <b>مِنْ</b> <b>الدُّنْيَا</b> <b>وَمَا</b> <b>فِيهَا</b> <b>وَيُزَوَّجُ</b> <b>اثْنَتَيْنِ</b> <b>وَسَبْعِينَ</b> <b>زَوْجَةً</b> <b>مِنْ</b> <b>الْحُورِ</b> <b>الْعِينِ</b> <b>وَيُشَفَّعُ</b> <b>فِي</b> <b>سَبْعِينَ</b> <b>مِنْ</b> <b>أَقَارِبِهِ</b></span></div>
<i>“Seorang mati syahid mendapatkan enam keutamaan di sisi Allah:</i><br />
<i>(1) mendapatkan ampunan sejak pertama kali meninggal dan melihat tempatnya di surga,</i><br />
<i>(2) dijaga dari azab kubur,</i><br />
<i>(3) diberi keamanan dari rasa takut yang besar,</i><br />
<i>(4) akan diletakkan di kepalanya mahkota kemuliaan dari yaqut (batu permata) yang nilainya lebih baik daripada dunia dan isinya,</i><br />
<i>(5) akan dinikahkan dengan tujuh puluh dua bidadari, dan </i><br />
<i>(6) akan diterima (permintaan) syafaatnya bagi tujuh puluh orang kerabatnya.” </i>(<b>HR . Ibnu Majah </b>dan <b>at-Tirmidzi</b>, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam <i>Shahih Targhib wa Tarhib</i>)<br />
<br />
<b>Macam-Macam Syafaat</b><br />
Ahlus Sunnah meyakini bahwa syafaat yang ada sangatlah banyak. Ada syafaat yang khusus dilakukan oleh Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>, ada juga yang dilakukan oleh selain beliau <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>.<br />
<br />
<ol>
<li><i>Asy-Syafaatul ‘Uzhma </i>(syafaat teragung)</li>
</ol>
Syafaat ini khusus dilakukan oleh Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>. Syafaat ini disepakati keberadaannya. Ketika manusia merasakan dahsyatnya Padang Mahsyar, mereka mendatangi Nabi Adam <i>‘alaihissalam</i>, Nabi Nuh <i>‘alaihissalam</i>, Nabi Ibrahim <i>‘alaihissalam</i>, Nabi Musa <i>‘alaihissalam</i>, dan Nabi Isa <i>‘alaihissalam</i>. Namun, mereka semua tidak bersedia. Akhirnya manusia datang kepada Nabi Muhammad <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>.<br />
<ol start="2">
<li>Syafaat bagi penduduk surga untuk masuk surga</li>
<li>Syafaat bagi penduduk surga untuk ditinggikan derajatnya di surga</li>
<li>Syafaat bagi ahli tauhid yang berada di neraka agar keluar darinya</li>
<li>Syafaat bagi satu kaum yang pantas masuk neraka agar tidak masuk neraka</li>
<li>Syafaat khusus Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> untuk Abu Thalib <i>radhiallahu ‘anhu</i>, hingga dia diringankan azabnya. (<i>I’anatul Mustafid, </i>1/239—240)</li>
</ol>
<br />
<b>Siapakah yang Berhak Mendapatkan Syafaat?</b><br />
Ibnu Taimiyah <i>rahimahullah</i> menerangkan bahwa syafaat hanyalah didapatkan oleh orang yang ikhlas dan dengan izin Allah <i>‘azza wa jalla</i>. Syafaat tidak akan didapat oleh orang-orang yang menyekutukan Allah <i>‘azza wa jalla</i>.<br />
Syafaat di akhirat hanya akan didapat dengan dua syarat:<br />
<ol>
<li>Izin dari Allah <i>‘azza wa jalla</i> bagi <i>syafi’ </i>(orang yang memintakan syafaat)</li>
<li>Adanya ridha Allah <i>‘azza wa jalla</i> bagi orang yang dimintakan syafaat untuknya</li>
</ol>
<br />
Allah <i>‘azza wa jalla</i> berfirman,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><b>مَن ذَا ٱلَّذِي يَشۡفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذۡنِهِۦۚ</b></span></div>
<i> “Tidak ada yang memberikan syafaat disisi Allah kecuali dengan izin-Nya.” </i><b>(al-Baqarah: 255)</b><br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<b> </b><b><span style="color: green;">وَلَا يَشۡفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ٱرۡتَضَىٰ</span> </b></div>
<i> “Mereka tidak akan memberi syafaat kecuali bagi orang yang diridhai-Nya.”</i><b>(al-Anbiya’: 28)</b><br />
<br />
<b>Khawarij Mengingkari Syafaat</b><br />
Ada dua kelompok tersesat dalam masalah syafaat.<br />
<ol>
<li>Kelompok yang <i>ghuluw </i>(berlebihan) menetapkannya, hingga menjerumuskan mereka ke dalam kesyirikan dengan alasan mengharapkan syafaat.</li>
<li>Kelompok yang mengingkari syafaat selain <i>syafaat ‘uzhma</i>.</li>
</ol>
Mereka mengingkari syafaat yang lain, terkhusus syafaat bagi muslim
pelaku dosa besar yang telah masuk neraka. Merekalah kelompok <i>wai’diyah</i> dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, dan lainnya.<br />
Keyakinan bid’ah tersebut menjemuskan mereka kepada kesesatan yang
berikutnya, yakni mengingkari syafaat bagi mukmin yang melakukan dosa
besar dan syafaat bagi mukmin yang telah masuk neraka.<br />
Khawarij menyatakan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar
telah kafir dan kekal di neraka. Mereka pun menolak sekian banyak hadits
yang menerangkan adanya orang muslim yang masuk neraka lalu dikeluarkan
darinya dan dimasukkan ke dalam surga.<br />
Al-Imam Muslim <i>rahimahullah</i> membawakan satu kisah tentang masalah ini dari seseorang yang bernama Yazid al-Faqir.<br />
<i>Dahulu aku terpengaruh syubhat pemikiran Khawarij. Kami berangkat
melakukan ibadah haji, kemudian keluar (mendakwahkan paham Khawarij)
kepada manusia.</i><br />
<i>Ketika itu kami melewati kota Madinah. Kami dapati di sana ada
seorang yang bersandar di tiang masjid sedang menyampaikan hadits dari
Rasulullah </i><i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i><i>. Ternyata
beliau menceritakan tentang jahanamiyin (penduduk neraka jahannam). Aku
pun berkata, “Wahai sahabat Rasulullah, apa yang engkau sampaikan ini?
Bukankah Allah </i><i>‘azza wa jalla</i><i> berfirman,</i><br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><b>رَبَّنَآ إِنَّكَ مَن تُدۡخِلِ ٱلنَّارَ فَقَدۡ أَخۡزَيۡتَهُۥ</b></span></div>
<i>‘Wahai Rabb kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka berarti telah Engkau hinakan ….’ </i><b>(Ali Imran: 192)</b><br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<b> </b><span style="color: green;"><b>كُلَّمَآ أَرَادُوٓاْ أَن يَخۡرُجُواْ مِنۡهَآ أُعِيدُواْ فِيهَا</b></span></div>
<i>‘Ketika mereka ingin keluar darinya, mereka dikembalikan ke dalamnya….’ </i><b>(as-Sajdah: 20)</b><br />
<br />
<i>Apa yang engkau sampaikan ini?” Sahabat tersebut berkata, “Apakah engkau bisa membaca al-Quran?”</i><br />
<i>Aku (Yazid) berkata, “Ya.”</i><br />
<i>Sahabat tersebut berkata, “Tidakkah engkau membaca maqam (kedudukan) yang Allah </i><i>‘azza wa jalla</i> <i>akan berikan kepada Nabi kita?”</i><br />
<i>Aku (Yazid) berkata, “Ya.”</i><br />
<i>Sahabat tersebut berkata, “Itulah kedudukan Rasulullah </i><i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> <i>yang terpuji. Dengan sebabnya, Allah </i><i>‘azza wa jalla</i> <i>mengeluarkan orang dari neraka.”</i><br />
<i>Kemudian beliau menyebut sifat dipancangkannya shirath dan melintasnya manusia di atas shirath tersebut….”</i><br />
Sampai ucapan Yazid al-Faqir, <i>“Demi Allah, ketika kami kembali, tidak</i> <i>ada lagi di antara kami yang berpemikiran</i> <i>Khawarij kecuali satu orang saja.” </i>(<i>Shahih</i> <i>Muslim </i>no. 320)<br />
<br />
Hadits di atas mengandung beberapa pelajaran.<br />
<ol>
<li>Khawarij mengingkari syafaat bagi seorang muslim yang masuk neraka.
Sebab, mereka meyakini bahwa seorang pelaku dosa besar adalah kafir dan
akan masuk neraka lantas kekal di dalamnya.</li>
<li>Keutamaan bermajelis dengan ulama.</li>
</ol>
Kita lihat Yazid al-Faqir selamat dari kebid’ahan Khawarij dengan sebab bertemu dan mendengar ilmu dari seorang yang berilmu.<br />
<ol start="3">
<li>Ahlul batil bersemangat menyebarkan akidah sesat mereka,
memanfaatkan setiap kesempatan. Karena itu, seharusnya Ahlus Sunnah
bersemangat berdakwah menyampaikan al-haq kepada umat.</li>
<li>Dalam kisah ini ada bukti bahwa satu kesesatan akan menyeret pada kesesatan lainnya.</li>
</ol>
Ketika mereka menyatakan bahwa pelaku dosa besar kekal di neraka,
mereka pun mengingkari syafaat-syafaat yang disebutkan oleh dalil-dalil.<br />
<br />
<b>Memperkuat Akidah untuk Meraih Syafaat</b><br />
Syafaat semuanya milik Allah <i>‘azza wa jalla</i>. Allah <i>‘azza wa jalla</i> berfirman,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><b>قُل لِّلَّهِ ٱلشَّفَٰعَةُ جَمِيعٗاۖ</b></span></div>
<i> “Katakanlah semua syafaat hanyalah milik Allah.” </i><b>(az-Zumar: 44)</b><br />
Hendaknya seorang mencari syafaat dengan jalan yang Allah <i>‘azza wa jalla</i> syariatkan. Allah <i>‘azza wa jalla</i> menerangkan, syafaat didapat seseorang jika Allah <i>‘azza wa jalla</i> meridhainya dan memberi izin kepada yang <i>syafi’ </i>(yang memintakan syafaat untuknya).<br />
Allah <i>‘azza wa jalla</i> berfirman,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><b>وَكَم
مِّن مَّلَكٖ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ لَا تُغۡنِي شَفَٰعَتُهُمۡ شَيًۡٔا
إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ أَن يَأۡذَنَ ٱللَّهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرۡضَىٰٓ</b></span> ٢٦</div>
<i> “Betapa banyak malaikat di langit, tidaklah syafaat
mereka bermanfaat kecuali setelah Allah memberi izin untuk orang yang
Allah kehendaki dan Allah ridhai.” </i><b>(an-Najm: 26)</b><br />
Orang yang diridhai untuk diberi syafaat adalah <i>muwahid </i>(seorang yang bagus tauhidnya), sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayim <i>rahimahullah</i>.<br />
Oleh karena itu, kita harus meningkatkan kualitas ibadah kita dan
menguatkan tauhid kita. Itulah sebab kebahagiaan seseorang sehingga bisa
meraih syafaat Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i>.<br />
Abu Hurairah <i>radhiallahu ‘anhu</i> bertanya kepada Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> tentang orang yang paling bahagia dengan syafaat beliau. Beliau <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> pun menjawab,<br />
<div style="text-align: right;">
<b> </b><span style="color: blue;"><b>أَسْعَدُ</b> <b>النَّاسِ</b> <b>بِشَفَاعَتِى</b> <b>يَوْمَ</b> <b>الْقِيَامَةِ</b> <b>مَنْ</b> <b>قَالَ</b> <b>لاَ</b> <b>إِلَهَ</b> <b>إِلاَّ</b> <b>اللهُ،</b> <b>خَالِصًا</b> <b>مِنْ</b> <b>قَلْبِهِ</b> <b>أَوْ</b> <b>نَفْسِهِ</b></span></div>
<i>“Orang yang paling bahagia dengan syafaatku di hari kiamat adalah orang yang mengucapkan </i>‘la ilaha illallah’<i> secara ikhlas dari kalbunya.” </i>(<b>HR . al-Bukhari</b>. 99)<br />
Adapun syafaat yang diharapkan oleh para penyembah kubur adalah
syafaat yang batil. Tidak mungkin mereka mendapatkan syafaat dalam
keadaan terus melakukan kesyirikan kepada Allah <i>‘azza wa jalla</i>.<br />
Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<b> </b><span style="color: blue;"><b>لِكُلِّ</b> <b>نَبِيٍّ</b> <b>دَعْوَةٌ</b> <b>مُسْتَجَابَةٌ</b> <b>فَتَعَجَّلَ</b> <b>كُلُّ</b> <b>نَبِيٍّ</b> <b>دَعْوَتَهُ</b> <b>وَإِنِّي</b> <b>اخْتَبَأْتُ</b> <b>دَعْوَتِي</b> <b>شَفَاعَةً</b> <b>لِأُمَّتِي</b> <b>يَوْمَ</b> <b>الْقِيَامَةِ</b> <b>فَهِيَ</b> <b>نَائِلَةٌ</b> <b>إِنْ</b> <b>شَاءَ</b> <b>اللهُ</b> <b>مَن</b> <b>مَاتَ</b> <b>مِنْ</b> <b>أُمَّتِي</b> <b>يُشْرِكُ</b> <b>بِاللهِ</b> <b>شَيْئًا</b></span></div>
<i>“Semua nabi memiliki doa yang mustajab. Semua nabi menyegerakan
doa mustajab mereka. Adapun aku menyimpannya untuk umatku sebagai
syafaat bagi mereka, dan itu akan didapat oleh umatku yang meninggal
dalam keadaan tidak menyekutukan Allah </i><i>‘azza wa jalla</i><i> dengan sesuatu pun.” </i>(<b>HR . Muslim</b> no. 338)<br />
<br />
<b>Sebab-Sebab Mendapat Syafaat</b><br />
Marilah kita bersemangat untuk melakukan sebab mendapatkan syafaat. Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> telah menerangkan kepada kita amalan-amalan yang bisa menjadi sebab mendapatkan syafaat.<br />
Di antara yang beliau <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> sebutkan:<br />
<ol>
<li><i> Perhatian dengan al-Qur’an</i></li>
</ol>
Beliau <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<b> </b><span style="color: blue;"><b>اقْرَءُوا</b> <b>الْقُرْآنَ</b> <b>فَإِنَّهُ</b> <b>يَأْتِى</b> <b>يَوْمَ</b> <b>الْقِيَامَةِ</b> <b>شَفِيعًا</b> <b>لِأَصْحَابِه</b></span></div>
<i>“Bacalah al-Qur’an, karena al-Qur’an akan menjadi pemberi syafaat bagi yang membaca dan mengamalkannya pada hari kiamat nanti.” </i>(<b>HR . Muslim</b>)<br />
<br />
<ol start="2">
<li><i> Berdoa setelah mendengar azan</i></li>
</ol>
Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda, <i>“Barang siapa mendengar azan</i> <i>kemudian membaca,</i><br />
<div style="text-align: right;">
<b> </b><span style="color: blue;"><b>اللَّهُمَّ</b> <b>رَبَّ</b> <b>هَذِهِ</b> <b>الدَّعْوَةِ</b> <b>التَّامَّةِ</b> <b>وَالصَّلاَةِ</b> <b>الْقَائِمَةِ</b> <b>آتِ</b> <b>مُحَمَّدًا</b> <b>الْوَسِيلَةَ</b> <b>وَالْفَضِيلَةَ</b> <b>وَابْعَثْهُ</b> <b>مَقَامًا</b> <b>مَحْمُودًا</b> <b>الَّذِى</b> <b>وَعَدْتَهُ</b></span></div>
<i>maka telah tetap syafaatku untuk dia di hari kiamat.” </i>(<b>HR . al-Bukhari</b> no. 614)<br />
<br />
<ol start="3">
<li><i> Tinggal di Madinah dengan sabar hingga meninggal</i></li>
</ol>
Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><b>لاَ</b> <b>يَصْبِرُ</b> <b>أَحَدٌ</b> <b>عَلَى</b> <b>لَأْوَائِهَا</b> <b>فَيَمُوتَ</b> <b>إِلاَّ</b> <b>كُنْتُ</b> <b>لَهُ</b> <b>شَفِيعًا</b> <b>أَوْ</b> <b>شَهِيدًا</b> <b>يَوْمَ</b> <b>الْقِيَامَةِ</b> <b>إِذَا</b> <b>كَانَ</b> <b>مُسْلِمًا</b></span></div>
<i>“Tidaklah seorang bersabar dari kesulitan dan kelaparan di
Madinah sampai meninggal, kecuali aku akan menjadi pemberi syafaat atau
saksi baginya pada hari kiamat, jika dia seorang muslim.” </i>(<b>HR . Muslim </b>no. 3405)<br />
<br />
<ol start="4">
<li><i> Dishalati oleh ahli tauhid</i></li>
</ol>
Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><b>مَا</b> <b>مِنْ</b> <b>رَجُلٍ</b> <b>مُسْلِمٍ</b> <b>يَمُوتُ</b> <b>فَيَقُومُ</b> <b>عَلَى</b> <b>جَنَازَتِهِ</b> <b>أَرْبَعُونَ</b> <b>رَجُلاً</b> <b>لاَ</b> <b>يُشْرِكُونَ</b> <b>بِا</b> <b>شَيْئًا</b> <b>إِلاَّ</b> <b>شَفَّعَهُمُ</b> <b>ا</b> <b>فِيهِ</b></span></div>
<i>“Tidaklah seorang muslim meninggal kemudian jenazahnya dishalati oleh empat puluh orang yang tidak menyekutukan Allah </i><i>‘azza wa jalla</i> <i>dengan sesuatupun, niscaya Allah </i><i>‘azza wa jalla</i> <i>menerima syafaat mereka pada orang tersebut.” </i>(<b>HR . Muslim</b> no. 2242)<br />
Semoga Allah <i>‘azza wa jalla</i> memberi kemudahan kepada kita untuk mendapatkan syafaat di hari kiamat nanti.<br />
<br />
Ditulis oleh <b>al-Ustadz Abdur Rahman Mubarak</b><br />
<br />
<b> https://asysyariah.com/</b>Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-38181664655685731612019-06-18T22:44:00.000+07:002019-06-18T22:44:33.709+07:00💥⚠⛔🔥 SIKAP KERAS DAN AKHLAK BURUK AKAN MEMALINGKAN MANUSIA DARI KEBENARAN!!<br />
<br />
✍🏼 Asy-Syaikh Rabi’ bin Hady al-Madkhaly hafizhahullah berkata:<br />
<br />
بعض الناس قد يكون صارفا للناس صادا لهم بأخلاقه السيئة وتعاملاته الرديئة، فإيكم ثم إياكم والشدة في تعامل بعضكم بعضا، وفي التعامل مع الناس، وفي تبليغ دعوة الله تبارك وتعالى.<br />
<br />
"Sebagian orang terkadang memalingkan manusia dari kebenaran dan menghalangi mereka darinya dengan sebab akhlaknya yang buruk dan perilakunya yang jelek. Maka jangan sekali-kali kalian bersikap keras dalam pergaulan diantara kalian, dalam berhubungan dengan orang lain, dan ketika menyampaikan dakwah agama Allah Tabaraka wa Ta'ala."<br />
<br />
📚 Al-Lubab Min Majmu’ Nashaih asy-Syaikh Rabi’ lisy Syabab, hlm. 289<br />
<br />
⚪ WhatsApp Salafy Indonesia<br />
⏩ Channel Telegram || http://telegram.me/forumsalafy<br />
<br />
💎💎💎💎💎💎💎💎💎Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-32681208341697588792018-12-03T05:22:00.000+07:002019-06-18T19:29:26.155+07:00Yang Muda Yang Bertakwa<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi63f9EG6XObzEhd500yZgzft12_IdR_UMxEDgmZEimHAh77EWs-IGQJkR64uxmkO65-BVeqX6uSYk4WCxyjztCs1V1tXw2AYHXMMHl6kCdNuYh9WsE_ARJOkYccLeZRR6o3_uKE4EI0Ana/s1600/dawn-dusk-grass-86697-150x150.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="150" data-original-width="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi63f9EG6XObzEhd500yZgzft12_IdR_UMxEDgmZEimHAh77EWs-IGQJkR64uxmkO65-BVeqX6uSYk4WCxyjztCs1V1tXw2AYHXMMHl6kCdNuYh9WsE_ARJOkYccLeZRR6o3_uKE4EI0Ana/s1600/dawn-dusk-grass-86697-150x150.jpg" /></a></div>
Siapa bilang waktu muda cuma untuk hura-hura? Waktu muda adalah waktu
yang prospektif untuk investasi masa datang. Jangan tunggu masa tua
kalau bisa dikerjakan di hari ini.<br />
Siapa sih yang tidak mau masuk surga? Tapi, perlu kita ketahui bahwa
masuk ke dalam surga itu bukan perkara yang mudah kecuali orang yang
dimudahkan oleh Allah. Karena, surga itu dikelilingi dengan sesuatu yang
kita benci, sedangkan neraka itu dikelilingi dengan sesuatu yang kita
inginkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda yang
artinya, “Saat Allah menciptakan surga dan neraka, Allah mengutus
Malaikat Jibril ke surga. Allah berfirman kepada Jibril, ‘Pergilah,
lihat surga dan apa yang Aku persiapkan bagi penghuninya.’ Jibril pun
mendatanginya dan melihatnya serta apa yang dipersiapkan bagi
penghuninya. Lalu Jibril pun kembali dan mengatakan, ‘Demi <br />
<a name='more'></a>Kemuliaan-Mu,
tidak ada seseorang yang mendengarnya kecuali ingin memasukinya. Allah
pun meliputi surga dengan sesuatu yang dibenci lalu berfirman kepada
Jibril, ‘Pergilah, lihat kepadanya dan apa yang Aku persiapkan bagi
penghuninya. Jibril pun kembali melihatnya. Ternyata, surga dipenuhi
dengan perkara yang dibenci manusia. Jibril pun kembali dan mengatakan,
‘Demi Kemuliaan-Mu, aku takut tidak ada yang memasukinya satu orang
pun.’” <strong>[H.R. At-Tirmidzi dan An-Nasa`i, Syaikh Al-Albani Rahimahullah mengatakan, “hasan shahih”]</strong>.<br />
<br />
<span style="font-family: "comic sans ms" , sans-serif;"><strong>Ajal Yang Hampir Datang</strong></span><br />
Masihkah berpikir untuk berfoya-foya dan tidak mempersiapkan
kehidupan akhirat? Masihkah kita berpikir untuk menunda bertaubat dan
memperbaiki diri? Padahal, kita sering mendengar kabar tetangga sebelah
mati mendadak tanpa mengidap penyakit. Atau, kita mendengar kabar
saudara kita yang kemarin tertawa sekarang berbalut kafan.<br />
Siapa yang tahu kapan datangnya kematian kita. Mungkin dua tahun lagi,
mungkin satu tahun, satu bulan, satu minggu, besok, atau mungkin
beberapa jam lagi. Siapa yang tahu selain Dzat Yang berada di atas
‘Arsy? Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman yang artinya,<br />
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ
وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ
غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ<br />
<em>“Sesungguhnya di sisi-Nya ilmu hari kiamat dan tentang turunnya
hujan, dan Allah mengetahui yang di dalam rahim. Dan tidak ada satu jiwa
pun yang mengetahui apa yang akan dia perbuat, dan tidak ada satu jiwa
pun yang mengetahui di bumi mana ia meninggal. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui dan Maha Meliputi ilmu-Nya.”</em> <strong>[Q.S. Luqman:34]</strong>.<br />
Tidakkah kita merasa rugi bila ruh kita dicabut sedangkan kita belum
sempat beramal shalih? Padahal, amalan shalih adalah bekal kita
satu-satunya di akhirat kelak. Bukan harta, bukan pangkat, bukan pula
keluarga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,<br />
<em>“Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan
amalannya. Dua darinya akan kembali pulang dan tinggal satu saja (yang
menemaninya). Keluarga dan hartanya akan kembali, tinggallah amalannya
(yang akan menemaninya).”</em> <strong>[H.R. Al-Bukhari dan Muslim]</strong>.<br />
Dunia hanyalah kesenangan semu yang menipu. Kesenangan di dunia ini
bagaikan fatamorgana yang segera pupus. Hendaknya kita berbekal untuk
kehidupan sejati kelak. Sungguh, kita di dunia ini hakikatnya hanyalah
seperti yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam misalkan dalam
sabda beliau,<br />
<em>“Apa hubungannya antara aku dengan dunia? Aku di dunia ini
hanyalah seperti penunggang yang bernaung di bawah pohon lalu
meninggalkannya</em>.”<strong> [H.R. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah]</strong>.<br />
Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman:<br />
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ
وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ
مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ
وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ<br />
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah
permainan, suatu yang melalaikan, perhiasan, bermegah-megah antara
kalian serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman
itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari
Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.” [Q.S. Al-Hadid:20].<br />
<br />
<strong><span style="font-family: "comic sans ms" , sans-serif;">Berpayung Naungan Allah Subhanahu wa ta’ala</span></strong><br />
Pada hari kiamat, matahari hanya berjarak satu mil dari atas kepala
kita. Saat itu, manusia berkeringat sesuai dengan dosa-dosanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,<br />
<em> “Matahari mendekat kepada makhluk pada hari kiamat hingga
berjarak satu mil. Maka, manusia pun tercelup ke dalam keringatnya
sesuai dengan amalannya. Di antara mereka ada yang tercelup hingga kedua
mata kakinya, di antara mereka ada yang tercelup hingga pinggangnya dan
di antara mereka ada yang tercelup hingga mulutnya.”</em> <strong>[H.R. Muslim]</strong>.<br />
Saat itu, beberapa golongan orang akan dipayungi oleh Allah Subhanahu wa
ta’ala. Golongan-golongan itu adalah orang yang disebutkan dalam hadits
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,<br />
<em>“Tujuh golongan yang Allah naungi dengan naungan-Nya, pada hari
tiada naungan selain naungan-Nya: seorang imam yang adil; pemuda yang
tumbuh dalam peribadahan kepada Allah; laki-laki yang qalbunya
senantiasa terkait dengan masjid; dua orang yang saling mencintai,
berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya; seorang laki-laki digoda
oleh perempuan yang memiliki kedudukan dan kecantikan, namun dia justru
mengatakan, ‘<strong>Aku takut kepada Allah’</strong>; seseorang yang
bersedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak
mengetahui yang diberikan oleh tangan kanannya; dan seseorang yang
mengingat Allah sendirian, lalu bercucurlah air matanya.”</em> [<strong>H.R. Al-Bukhari dan Muslim]</strong>. Engkau bisa menjadi salah satunya. Engkau bisa menjadi seorang pemuda yang senantiasa dalam peribadahan kepada Allah.<br />
<br />
<span style="font-family: "comic sans ms" , sans-serif;"><strong>Lebih Cepat Lebih Baik</strong></span><br />
Lantas, apa yang engkau tunggu? Apakah engkau menunggu hilangnya nikmat
mudamu ini? Apakah engkau menunggu penyesalan di hari tua kelak?
Ingatlah, masa mudamu ini tak akan kembali. Maka, pergunakanlah
waktu-waktumu di masa muda sebelum masa tuamu menghampiri, merenggut
kekuatan dan kemampuanmu. Rasulullah ` pernah mewasiatkan:<br />
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ
قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ،
وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ<br />
<em>“Manfaatkanlah sebaik-baiknya lima perkara sebelum lima perkara:
masa mudamu sebelum pikunmu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum
miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan hidupmu sebelum
matimu.”</em> <strong>[H.R. Al-Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al-AlbaniRahimahullah]</strong>.
Lima nikmat ini adalah nikmat yang baru terasa nilainya ketika
kehilangan salah satu darinya. Maka dari itu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mensyukurinya dengan
mempergunakan nikmat-nikmat tersebut untuk beramal.<br />
Nah, demikianlah Islam mewasiatkan kepada kita tentang nikmat yang besar
ini. Sebagai akhir dari tulisan ini, marilah kita ingat wasiat dari
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, <em>“Jika engkau berada pada sore hari maka jangan menunggu paginya dan jika berada pada pagi hari maka jangan menunggu sorenya.”</em> <strong>[diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab Shahih beliau]</strong>. Allahu a’lam bish shawab. <strong>(Ustadz Abdurrahman)</strong><br />
<strong> http://tashfiyah.com/yang-muda-yang-bertakwa/#</strong>Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-22453906839162829932018-12-03T05:18:00.002+07:002018-12-03T05:19:53.773+07:00Ilmu Berbuah Bahagia<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigHjCjXbxAj_rHyVzwWkKc7p1rLoummKBZiU1Ak9W0fnCtQVUx1kJ38WfWR2NNNCtnp3vWv9CK1tFIOxPCGm8y35g5mFrorVKL4CWIgqzqq6sNsLkd5L1NsELwC3hw7pI_ET_SO05vkzRA/s1600/art-materials-blank-business-351961-150x150.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="150" data-original-width="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigHjCjXbxAj_rHyVzwWkKc7p1rLoummKBZiU1Ak9W0fnCtQVUx1kJ38WfWR2NNNCtnp3vWv9CK1tFIOxPCGm8y35g5mFrorVKL4CWIgqzqq6sNsLkd5L1NsELwC3hw7pI_ET_SO05vkzRA/s1600/art-materials-blank-business-351961-150x150.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Ilmu ibarat pisau bermata dua. Barakahnya melimpah dunia akhirat
ketika disyukuri, sebaliknya akan menjadi petaka yang tidak berakhir
ketika dikufuri. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mewanti-wanti, “Al Quran adalah hujah yang membelamu atau justru
akan menuntutmu.” [H.R. Muslim dari shahabat Abu Malik Al
Asy’ariRadhiyallahu ‘anhu]. Al Quran justru akan menuntut seseorang
apabila ilmu Al Quran yang ia miliki sekedar wawasan tidak diamalkan.
Allah pun mencela mereka yang tidak mengamalkan ilmunya, celaan yang
dibaca sepanjang zaman. Allah Ta’ala berfirman:</div>
<div style="text-align: justify;">
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Apakah kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang
kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al kitab
(Taurat)? Maka tidaklah kalian berpikir?”</i> <b>[Q.S. Al Baqarah:44]</b>.
Syaikh As Sa’di menafsirkan bahwa walaupun ayat ini turun khusus pada
Bani Israil, </div>
<a name='more'></a>tetapi hukumnya umum untuk siapa saja yang tidak
mengamalkan ilmunya. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam
surat Ash Shaff,<br />
<div style="text-align: justify;">
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ *
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“ Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?</i><br />
<i> Amat besar kemurkaan Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.”</i> <b>[Q.S. Ash Shaff:2,3]</b>. [Taisir kariimirrahman].<br />
Al Quran pula akan menyebabkan kesengsaraan apabila justru
disalahgunakan untuk mengejar status sosial, reputasi, popularitas, dan
seluruh tujuan duniawi yang lainnya. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah `
dalam hadits Abu Hurairah z, beliau bersabda, “Siapa menuntut ilmu yang
seharusnya ilmu tersebut untuk mengharap wajah Allah (ilmu syar’i), ia
tidaklah mempelajarinya kecuali sekedar untuk mendapatkan bagian duniawi
saja, maka ia tidak akan mendapatkan wanginya bau surga pada hari
kiamat.” [H.R. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam
Shahih Sunan Ibnu Majah].<br />
Ilmu adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, <i>“Tidak
akan bergeser kaki anak adam dari Rabbnya pada hari kiamat, hingga
ditanya tentang lima perkara: untuk apa umurnya dihabiskan, untuk apa
masa mudanya dilewatkan, hartanya dari mana didapat dan kemana
disalurkan, serta apa yang telah diamalkan dari ilmunya?”</i><b> [H.R. At Tirmidzi, dari sahabat Abdullah bin Masud Rhadiyallahu ‘anhu dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah]</b>.<br />
Dari beberapa dalil ini tegas menunjukkan bahwa ilmu harus diamalkan
lahir dan batin. Seseorang yang berilmu haruslah tercermin dalam tingkah
laku, akhlak, dan pergaulannya. Kepada siapa saja, kepada apa saja, dan
di mana pun berada. Ketaatannya kepada Allah semakin meningkat,
keimanan dan ketakwaannya semakin kuat, hubungannya kepada Allah
Penciptanya semakin dekat. Ketundukan dan kepatuhannya terhadap
bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun semakin nyata.
Mengagungkan, memuliakan, semakin cinta dan rindu untuk bertemu dengan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br />
Seorang yang berilmu akan semakin menghargai dan memuliakan para ulama,
para ustadz, dan guru-guru mengajinya. Karena ia tahu bahwa kemuliaan
ilmu yang ia miliki adalah nikmat yang Allah karuniakan melalui
perantara mereka. Ia pun akan menghormati dan mencintai mereka sepenuh
hati. Kesalahan yang mungkin terjadi dari mereka, ia sikapi sebagaimana
mestinya. Ia mengingatkan dengan santun dan lemah-lembut, tanpa
menyinggung perasaan, tanpa menyakiti.<br />
Kepada kedua orang tuanya, orang yang berilmu akan berbakti setulus
hati. Ia akan selalu mengusahakan yang terbaik bagi kehidupan dunia dan
akhirat untuk keduanya sekuat tenaga. Demikian pula kepada yang lainnya,
kepada istri, anak, saudara, kerabat, tetangga, sesama kaum muslimin,
orang-orang kafir, bahkan kepada hewan sekalipun orang yang berilmu akan
bersikap dan bergaul dalam timbangan ilmu. Sehingga orang sekitarnya
akan ikut merasakan barakah ilmunya. Dengan akhlaknya yang mulia, dengan
muamalahnya yang bijaksana, dan nasihat-nasihatnya yang berharga.<br />
Inilah ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang menumbuhkan keimanan, ilmu yang
berbuah amal shalih, ilmu yang orang lain bisa mengambil manfaat dari
wasiat dan pengajarannya, ilmu yang mengokohkan kesabarannya.
Sebagaimana firman Allah:<br />
وَالْعَصْرِ * إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ * إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan saling
menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya
menetapi kesabaran.”</i> <b>[Q.S. Al ‘Ashr:1-3]</b>.<br />
Dalam surat ini Allah menyebutkan bahwa keberuntungan dunia dan akhirat
hanya didapat oleh orang yang memiliki empat sifat yang semuanya hanya
bisa diwujudkan dengan ilmu syar’i.<br />
Ilmu yang bermanfaat inilah ilmu yang berbuah bahagia. Sebuah anugerah
yang tidak ternilai dengan harta, tahta dan wanita. Sebagaimana
firman-Nya,<br />
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ
أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>“Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al
Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa
yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah).”</i> <b>[Q.S. Al Baqarah:269]</b>.
Imam Ibnu Qutaibah dan jumhur (mayoritas) ulama menafsirkan hikmah yang
dimaksud adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Sebagaimana yang
dinukilkan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Miftah Darissa’adah.<br />
Semoga Allah mengaruniai kita semua ilmu yang bermanfaat. Allahu a’lam. [Ustadz Farhan].<br />
http://tashfiyah.com</div>
Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-73031626149068764082018-10-30T04:56:00.001+07:002018-10-30T04:56:12.625+07:00Orang Yang Bangkrut<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5JXTduOXr554sRekeWlXq-pGmMY-kAgUc0NtKbcaz_TjSLT1kHuBUWfoezjE7rZOQSMawlvZMl-FuE5F9xZ1llxdz9vI7jFPQpXG2WUpJRzCa6x5Vrmsob64WK7MVCT-RVX-fhzQfYMOE/s1600/pohon-kering.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="340" data-original-width="354" height="307" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5JXTduOXr554sRekeWlXq-pGmMY-kAgUc0NtKbcaz_TjSLT1kHuBUWfoezjE7rZOQSMawlvZMl-FuE5F9xZ1llxdz9vI7jFPQpXG2WUpJRzCa6x5Vrmsob64WK7MVCT-RVX-fhzQfYMOE/s320/pohon-kering.jpg" width="320" /></a></div>
Ketika mendengar kata bangkrut, benak kita membayangkan seorang yang
hancur usahanya atau orang yang tidak lagi punya harta atau uang. Orang
yang bangkrut sebelumnya memiliki sesuatu untuk menyambung hidupnya.
Kini, semua itu sirna sehingga kondisinya mengenaskan dan berhak
mendapatkan uluran tangan dari saudaranya.<br />
Apa yang kita sebutkan
di atas adalah kebangkrutan dalam hal harta benda yang seseorang masih
mungkin untuk bangkit kembali. Atau setidaknya ada orang yang masih
punya hati sehingga membantu meringankan bebannya.<br />
Akan tetapi, hal ini akan berbeda dengan kebangkrutan pada hari kiamat nanti, hari yang tiada berguna lagi harta dan anak.<br />
<br />
<a name='more'></a>Hakikat
orang yang bangkrut pada hari kiamat adalah orang yang membawa segudang
amal kebaikan, tetapi dia membawa beragam kezaliman terhadap manusia,
baik dalam bentuk merampas harta, melukai kehormatan, mencederai tubuh
orang, atau melenyapkan nyawa orang tanpa alasan syar’i. Inilah yang
dijelaskan oleh Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dalam haditsnya,<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<strong> </strong><span style="color: blue; font-size: 14pt;"><strong>أَتَدْرُونَ</strong> <strong>مَنِ</strong> <strong>الْمُفْلِسُ؟</strong> <strong>قَالُوا</strong><strong>: </strong><strong>الْمُفْلِسُ</strong> <strong>فِينَا</strong> <strong>مَنْ</strong> <strong>دِرْهَمَ</strong> <strong>لَهُ</strong> <strong>وَلاَ</strong> <strong>مَتَاعَ</strong><strong>. </strong><strong>قَالَ</strong><strong>: </strong><strong>إِنَّ</strong> <strong>الْمَفْلِسَ</strong> <strong>مِنْ</strong> <strong>أُمَّتِي</strong> <strong>مَنْ</strong> <strong>يَأْتِي</strong> <strong>يَوْمَ</strong> <strong>الْقِيَامَةِ</strong> <strong>بِصَ</strong> <strong>ةَالٍ</strong> <strong>وَصِيَامٍ</strong> <strong>وَزَكَاةٍ</strong> <strong>وَيَأْتِي</strong> <strong>وَقَدْ</strong> <strong>شَتَمَ</strong> <strong>هَذَا،</strong> <strong>وَقَذَفَ</strong> <strong>هَذَا،</strong> <strong>وَأَكَلَ</strong> <strong>مَالَ</strong> <strong>هَذَا،</strong> <strong>وَسَفَكَ</strong> <strong>دَمَ</strong> <strong>هَذَا،</strong> <strong>وَضَرَبَ</strong> <strong>هَذَا،</strong> <strong>فَيُعْطَى</strong> <strong>هَذَا</strong> <strong>مِنْ</strong> <strong>حَسَنَاتِهِ</strong> <strong>وَهَذَا</strong> <strong>مِنْ</strong> <strong>حَسَنَاتِهِ،</strong> <strong>فَإِنْ</strong> <strong>فَنِيَتْ</strong> <strong>حَسَنَاتُهُ</strong> <strong>قَبْلَ</strong> <strong>أَنْ</strong> <strong>يُقْضَي</strong> <strong>مَا</strong> <strong>عَلَيْهِ</strong> <strong>أُخِذَ</strong> <strong>مِنْ</strong> <strong>خَطَايَاهُمْ</strong> <strong>فَطُرِحَتْ</strong> <strong>عَلَيْهِ</strong> <strong>ثُمَّ</strong> <strong>طَرِحَ</strong> <strong>فِي</strong> <strong>النَّارِ</strong></span></div>
<em>“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut itu?”</em><br />
<em>Para
sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di tengah-tengah kita adalah
orang yang tidak punya dirham (uang perak) dan tidak punya harta.”</em><br />
<em>Rasulullah </em><em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> <em>bersabda,
“Orang yang bangkrut dari umatku adalah yang datang pada hari kiamat
nanti dengan membawa (amal) shalat, puasa, dan zakat, (namun) ia telah
mencerca ini (seseorang), menuduh orang (berzina), memakan harta orang,
menumpahkan darah orang, dan memukul orang. (Orang) ini diberi (amal)
kebaikannya dan yang ini diberi dari kebaikannya. Apabila amal
kebaikannya habis sebelum terbayar (semua) tanggungannya, dosa-dosa
mereka (yang dizalimi) diambil lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dia
dilemparkan ke dalam neraka.” </em>(<strong>HR.</strong> <strong>Muslim</strong>)<br />
<br />
<strong>Hukuman yang Mengerikan</strong><br />
Orang
yang menzalimi orang lain sebenarnya sedang menghancurkan dirinya
sendiri, seperti dikatakan, “Barang siapa menggali lubang untuk
(mencelakakan) saudaranya, ia terjatuh sendiri ke dalam lubang itu.”<br />
Bisa
dibayangkan betapa rugi dan menyesalnya orang tersebut nanti. Saat ia
mengharapkan amal kebaikannya akan menolongnya dari kedahsyatan kiamat,
kebaikannya justru lenyap diambil orang lain, bahkan dia dicampakkan ke
dalam neraka.<br />
Kalau orang zalim yang masih punya amal kebaikan
saja seperti ini nasibnya, lantas bagaimana halnya bila dia tidak punya
kebaikan sama sekali, bahkan kitab catatan amalnya semuanya berisi
kejelekan?<br />
<br />
Allah <em>‘azza wa jalla</em> berfirman,<br />
<span style="color: green; font-size: 14pt;"><strong>إِنَّآ
أَعۡتَدۡنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ وَإِن
يَسۡتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٖ كَٱلۡمُهۡلِ يَشۡوِي ٱلۡوُجُوهَۚ
بِئۡسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتۡ مُرۡتَفَقًا</strong></span> ٢٩<br />
<em>
“Sesungguhnya telah Kami sediakan bagi orang orang zalim itu neraka,
yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta minum, niscaya
mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek.” </em><strong>(al-Kahfi: 29)</strong><br />
<br />
Tiada yang ditunggu oleh orang yang zalim kecuali kehancuran. Kekuasaan akan lenyap, keperkasaan akan sirna.<br />
Allah <em>‘azza wa jalla</em> berfirman,<br />
<div style="text-align: right;">
<strong><span style="color: green; font-size: 14pt;">فَتِلۡكَ بُيُوتُهُمۡ خَاوِيَةَۢ بِمَا ظَلَمُوٓاْۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَعۡلَمُو</span><span style="color: green;">نَ</span></strong> ٥٢</div>
<em>
“Maka itulah rumah-rumah mereka dalam keadaan runtuh disebabkan
kezaliman mereka. Sesungguhnya pada yang demikian itu (terdapat)
pelajaran bagi kaum yang mengetahui.” </em><strong>(an-Naml: 52)</strong><br />
Ibnu Abbas <em>radhiallahu ‘anhuma</em> berkata, “Seandainya suatu gunung berbuat zalim terhadap gunung yang lain, maka yang zalim akan dihancurkan.” (<em>al-Adabul Mufrad</em> no. 601)<br />
Kalau
gunung yang materialnya batu-batu yang keras dan besar saja akan
diluluhlantahkan apabila berbuat zalim, bagaimana kiranya dengan manusia
yang hanya berupa daging, darah, dan tulang yang lemah?<br />
<br />
<strong>Kezaliman Itu Beragam</strong><br />
Kezaliman itu bermacam-macam. Ada yang berkaitan dengan hak Allah <em>‘azza wa jalla</em> dan ada yang berhubungan dengan hak-hak manusia.<br />
Yang berkaitan dengan hak Allah <em>‘azza wa jalla</em> adalah dengan menerjang larangan-larangan Allah <em>‘azza wa jalla</em>, meninggalkan perintah-Nya, dan mendustakan berita-Nya. Kezaliman paling besar adalah menyekutukan Allah <em>‘azza wa jalla</em> (syirik). Apabila orang yang menyekutukan Allah <em>‘azza wa jalla</em> mati dalam keadaan belum bertobat dari kesyirikannya, dia tidak akan diampuni.<br />
Adapun
dosa setelah syirik adalah dosa-dosa besar yang pelakunya diancam
dengan hukuman di dunia, azab di akhirat, atau kutukan dan kemurkaan
Allah <em>‘azza wa jalla</em>. Setelah itu, ada dosa-dosa kecil.<br />
Dosa selain menyekutukan Allah <em>‘azza wa jalla</em> masih ada harapan untuk diampuni.<br />
Allah <em>‘azza wa jalla</em> berfirman,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: green; font-size: 14pt;"><strong>إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ</strong></span></div>
<em>
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu)
dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” </em><strong>(an-Nisa: 116)</strong><br />
<br />
Adapun
kezaliman yang berkaitan dengan hak-hak manusia, urusannya lebih rumit.
Seseorang yang menzalimi hak-hak orang lain hendaknya segera
mengembalikannya atau meminta kehalalannya. Jika tidak demikian, ancaman
di akhirat sangat mengerikan, seperti yang telah disebutkan dalam
hadits di atas.<br />
<br />
<strong>Kehormatan Seorang Muslim</strong><br />
Ketika menunaikan haji wada’ (perpisahan) yang dihadiri oleh puluhan ribu sahabat, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>
menyampaikan pesan-pesan akhirnya menjelang wafat. Di antara pesan
beliau adalah menjaga darah, harta, dan kehormatan seorang muslim.<br />
Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue; font-size: 12pt;"><strong>إِنَّ</strong> <strong>دِمَاءَكُمْ</strong> <strong>وَأَمْوَالَكُمْ</strong> <strong>حَرَامٌ</strong> <strong>عَلَيْكُمْ،</strong> <strong>كَحُرْمَةِ</strong> <strong>يَوْمِكُمْ</strong> <strong>هَذَا،</strong> <strong>فِي</strong> <strong>شَهْرِكُمْ</strong> <strong>هَذَا،</strong> <strong>فِي</strong> <strong>بَلَدِكُمْ</strong> <strong>هَذَا</strong></span></div>
<em>“Sesungguhnya
darah dan harta kalian (kaum muslimin) itu haram (untuk dirampas)
seperti sucinya hari ini, di bulan ini (haji ini), dan di negeri kalian
ini (Makkah).” </em>( <strong>HR . Muslim</strong>, <strong>Abu</strong> <strong>Dawud</strong>, dan <strong>an-Nasai </strong>dari sahabat Jabir <em>radhiallahu ‘anhu</em>)<br />
<br />
Bahkan,
lenyapnya dunia lebih ringan daripada melenyapkan nyawa seorang muslim
tanpa hak. Demi terjaganya kehormatan dan kepemilikan seorang muslim
serta terwujudnya stabilitas keamanan di tengah masyarakat, Islam
memberikan ancaman hukuman fisik (had) bagi yang mencabik-cabik hak
seorang muslim.<br />
Sebagai contoh, hukuman bagi perampok adalah
dipotong tangan dan kakinya secara bersilang atau hukuman lain yang
telah ditetapkan oleh agama. Orang yang membunuh seorang muslim dengan
sengaja, tanpa ada kesalahan yang berhak untuk dibunuh, pelakunya
terancam hukuman <em>qishash </em>(nyawa dibalas nyawa).<br />
Tanpa
ada ancaman dan hukuman yang setimpal, orang yang melakukan kejahatan
akan menganggap enteng ketika melanggar hak-hak orang lain.<br />
<br />
<strong>Muslim yang Baik</strong><br />
Seorang muslim yang hakiki memiliki ketulusan sikap dalam beragama dan mempunyai kepribadian yang bagus.<br />
Apabila datang perintah agama, muslim yang baik akan siap menjalankannya dengan sepenuh ketulusan apapun kondisinya.<br />
Berikutnya,
larangan agama disikapi dengan meninggalkan apa yang dilarang agama
meskipun hawa nafsu ini ingin melakukannya. Dia menjauhkan dirinya dari
hal-hal yang bisa memudaratkan orang lain, baik sengaja maupun tidak.<br />
Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue; font-size: 12pt;"><strong>الْمُسْلِمُ</strong> <strong>مَنْ</strong> <strong>سَلِمَ</strong> <strong>الْمُسْلِمُونَ</strong> <strong>مِنْ</strong> <strong>لِسَانِهِ</strong> <strong>وَيَدِهِ</strong></span></div>
<em> “Seorang muslim (yang hakiki) adalah orang yang kaum muslimin terhindar dari (kejahatan) lisan dan tangannya.” </em>(<strong>Muttafaqun ‘alaih</strong>)<br />
<br />
Asy-Syaikh as-Sa’di menerangkan, “Hal itu karena Islam yang hakiki adalah berserah diri kepada Allah <em>‘azza wa jalla</em>,
menyempurnakan peribadatan kepada-Nya, menunaikan hak-hak-Nya, dan
hak-hak kaum muslimin. Keislaman (seseorang) tidak dikatakan sempurna
sampai ia mencintai untuk kaum muslimin apa yang ia cintai bagi dirinya.
Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan terhindarnya mereka dari
kejahatan lisan dan tangannya.<br />
Hal ini merupakan pokok kewajiban
yang harus ia berikan kepada muslimin. Barang siapa yang kaum muslimin
tidak terhindar dari (kejelekan) lisan dan tangannya, bagaimana mungkin
ia akan menunaikan kewajibannya terhadap saudaranya kaum muslimin?!” (<em>Bahjatul</em> <em>Qulub, </em>hlm. 14)<br />
Kemudian, ketahuilah bahwa ketika Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda, <em>“Seorang muslim</em> <em>(yang baik) adalah muslim lain terhindar</em> <em>dari (kejahatan) lisan dan tangannya.”</em> tidak berarti kita boleh menzalimi orang kafir dengan merampas haknya. Sebab, orang kafir pun bermacam-macam.<br />
Ada kafir <em>dzimmi, </em>yaitu
orang kafir yang tinggal di negeri muslimin dan membayar jizyah kepada
pemerintah muslimin. Ada pula orang kafir yang masuk ke negara muslimin
dan mendapatkan jaminan keamanan (suaka politik) dari pemerintah
muslimin. Ada lagi orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan
kaum muslimin.<br />
Tiga jenis orang kafir tersebut tidak boleh
dirampas hartanya atau dilukai tubuhnya tanpa alasan yang dibenarkan
oleh agama. Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<strong>ا<span style="color: blue; font-size: 12pt;">تَّقُوا</span></strong><span style="color: blue; font-size: 12pt;"> <strong>دَعْوَةَ</strong> <strong>الْمَظْلُومِ</strong> <strong>وَإِنْ</strong> <strong>كَانَ</strong> <strong>كَافِرًا</strong> <strong>فَإِنَّهُ</strong> <strong>لَيْسَ</strong> <strong>دُونَهَا</strong> <strong>حِجَابٌ</strong><strong>.</strong></span></div>
<em>“Berhati-hatilah dari doa orang yang dizalimi meskipun ia kafir, karena tidak ada penghalang bagi doanya.” </em>(<strong>HR . Ahmad</strong>. Lihat <em>Shahih al-Jami’ </em>no. 119)<br />
<br />
Adapun
jenis kafir yang keempat adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang
memerangi muslimin dan angkat senjata terhadap muslimin. Orang kafir
seperti ini halal darah dan hartanya.<br />
<br />
<strong>Orang yang Merugi Amalnya</strong><br />
Tidak semua orang yang beramal kebaikan itu diterima di sisi Allah <em>‘azza wa jalla</em>.
Ada syarat dan ketentuan untuk diterimanya sebuah amal. Semata-mata
niat yang tulus dalam beramal tidak berguna apabila amalan tersebut
tidak ada perintahnya dari Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>.<br />
Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue; font-size: 12pt;"><strong>مَنْ</strong> <strong>عَمِلَ</strong> <strong>عَمَ</strong> <strong>لَيْسَ</strong> <strong>عَلَيْهِ</strong> <strong>أَمْرُنَا</strong> <strong>فَهُوَ</strong> <strong>رَدٌّ</strong><strong>.</strong></span></div>
<em> “Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dalam agama kami, amalan itu tertolak.” </em>(<strong>HR . Muslim</strong> dari ‘Aisyah <em>radhiallahu ‘anha</em>)<br />
Contohnya
sangat banyak. Misalnya adalah bentuk perjuangan/jihad menegakkan agama
yang dilakukan oleh orang yang berpemahaman Khawarij semacam ISIS dan
al-Qaeda.<br />
Sebagian mereka melakukan pembunuhan kepada pihak-pihak
yang dituduh kafir dengan cara di luar batasan agama. Mereka juga
melakukan bom bunuh diri, yang sejatinya dalam Islam adalah dosa besar.
Akan tetapi, mereka menjuluki pelaku bom bunuh diri sebagai syahid.
Mereka menghancurkan fasilitas-fasilitas umum. Tidak sedikit yang
menjadi korbannya justru kaum muslimin.<br />
Jihad yang sejatinya adalah amalan mulia untuk menegakkan agama Allah <em>‘azza wa jalla</em>,
mereka rusak dengan aksi-aksi yang konyol. Karena ulah bodoh mereka,
orang kafir enggan masuk Islam. Orang kafir justru fobia terhadap Islam
dan sinis terhadap muslimin.<br />
Tidak sedikit kaum muslimin yang diintimidasi setiap ada aksi teror kelompok ini di belahan bumi lainnya.<br />
Padahal ketika ditanya tentang siapa orang yang dikatakan berperang di jalan Allah, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<strong><span style="color: blue;">مَنْ</span></strong><span style="color: blue; font-size: 12pt;"> <strong>قَاتَلَ</strong> <strong>لِتَكُونَ</strong> <strong>كَلِمَةُ</strong> <strong>اللهِ</strong> <strong>هِيَ</strong> <strong>الْعُلْيَا</strong> <strong>فَهُوَ</strong> <strong>فِي</strong> <strong>سَبِيلِ</strong> <strong>اللهِ</strong><strong>.</strong></span></div>
<em>“Barang siapa berperang agar kalimat (agama) Allah itu mulia, itulah yang jihad fi sabilillah.” </em>(<strong>Muttafaqun ‘alaih</strong>)<br />
Dengan
aksi mereka, apakah orang kafir jadi masuk Islam? Apakah Islam
dimuliakan oleh kaum muslimin sendiri—jangan Anda tanya bagaimana reaksi
nonmuslim? Apakah agama Allah <em>‘azza wa jalla</em> menjadi mulia dengan itu?<br />
Jawabannya,
hasilnya bertolak belakang. Kalau sudah seperti ini, apakah masih
dikatakan jihad syar’i? Hendaknya mereka merujuk kepada bimbingan Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan para sahabat agar tidak sia-sia amalannya.<br />
<br />
Allah <em>‘azza wa jalla</em> berfirman,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: green; font-size: 14pt;"><strong>قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا</strong> ١٠٣ <strong>ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا</strong></span> ١٠٤</div>
<em>
“Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling
merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka
berbuat sebaik-baiknya.” </em><strong>(al-Kahfi: 103—104)</strong><br />
Pada
sebagian aksi teror mereka, ada korban dari pihak muslimin. Lalu mana
pertanggungjawaban mereka terhadap keluarga korban? Mana penyesalan
mereka?<br />
Nabi Musa <em>‘alaihissalam</em> saja saat dahulu memukul
orang Qibthi yang kafir sampai mati ketika orang Qibthi ini berkelahi
dengan seorang Bani Isra’il dari kaumnya, beliau <em>‘alaihissalam</em> menyesali hal tersebut dan bertobat, padahal yang ia pukul seorang Qibthi kafir.<br />
Namun, karena Nabi Musa <em>‘alaihissalam</em> tidak diperintah untuk membunuhnya, beliau <em>‘alaihissalam</em>
menyesali perbuatannya yang keliru. Bahkan, penyesalan tersebut terus
beliau bawa hingga hari kiamat di Padang Mahsyar sebagaimana dalam
hadits syafaat.<br />
Akan tetapi, anehnya para teroris justru bangga
dengan aksi terornya yang merenggut nyawa orang yang seharusnya tidak
berhak untuk dicederai. Mereka menyatakan bertanggung jawab atas aksi
tersebut.<br />
Mengapa mereka tidak menyesalinya?<br />
Karena mereka beranggapan bahwa aksinya adalah ibadah, meskipun sejatinya bertentangan dengan praktik Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan generasi awal umat ini.<br />
Syarat sahnya amal berikutnya adalah harus ikhlas, semata-mata hanya mencari wajah Allah <em>‘azza wa jalla</em>.<br />
Ada
hal penting yang harus diperhatikan, yaitu amal kebaikan bisa lenyap
atau minimalnya menjadi berkurang karena perbuatan dosa. Sebagaimana
amal saleh bisa melenyapkan dosa, dosa juga bisa melenyapkan amal saleh.<br />
Di
antara dosa yang bisa melenyapkan amal saleh adalah menzalimi orang
lain. Bahkan, pelakunya akan disegerakan azabnya di dunia ini sebelum
azab pada hari kiamat.<br />
Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue; font-size: 12pt;"><strong>مَا</strong> <strong>مِنْ</strong> <strong>ذَنْبٍ</strong> <strong>أَجْدَرُ</strong> <strong>أَنْ</strong> <strong>يُعَجِّلَ</strong> <strong>اللهُ</strong> <strong>تَعَالَى</strong> <strong>لِصَاحِبِهِ</strong> <strong>الْعُقُوبَةَ</strong> <strong>فِي</strong> <strong>الدُّنْيَا</strong> <strong>مَعَ</strong> <strong>مَا</strong> <strong>يَدَّخِرُهُ</strong> <strong>لَهُ</strong> <strong>فِي</strong> <strong>الْآخِرَة</strong> <strong>مِنَ</strong> <strong>الْبَغْي</strong> <strong>وَقَطِيعَةِ</strong> <strong>الرَّحِم</strong></span></div>
“<em>Tidak
ada suatu dosa yang lebih pantas Allah akan segerakan azab bagi
pelakunya di dunia—di samping azab yang Allah simpan baginya di
akhirat—melebihi (dosa) kezaliman dan memutuskan hubungan kekerabatan.” </em>(<strong>HR . Ahmad</strong>, <strong>al-Bukhari </strong>dalam <em>al-Adab</em>, dan lain-lain dari sahabat Abu Bakrah <em>radhiallahu ‘anhu</em>. Lihat<em> Shahih al-Jami’ </em>no. 5704)<br />
<em>Wallahul Muwaffiq.</em><br />
Ditulis oleh <strong>al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.</strong><br />
<br />
<strong> http://asysyariah.com/orang-yang-bangkrut/</strong>Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-31799986261078199852018-08-11T05:25:00.002+07:002018-08-11T05:25:22.914+07:00Kesehatan Kalbu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiK2OldBUNXJlCS99xsDSocjEYmtHw2UQnI0tZWXv-i8jA3Atpal34HreNw1Fdlrj167bYsCP7fjelaJkxzkZHkMvg9qnBKC_TWxV5DWXzfEhjVILT-PircTw3UQxUe-F95duekYvz-9hW_/s1600/58ed51129a278f786e58ad80_Stethoscope-150x150.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="150" data-original-width="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiK2OldBUNXJlCS99xsDSocjEYmtHw2UQnI0tZWXv-i8jA3Atpal34HreNw1Fdlrj167bYsCP7fjelaJkxzkZHkMvg9qnBKC_TWxV5DWXzfEhjVILT-PircTw3UQxUe-F95duekYvz-9hW_/s1600/58ed51129a278f786e58ad80_Stethoscope-150x150.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Kalbu adalah penggerak seluruh jasad. Jika kalbu rusak, niscaya yang
digerakkan pun ikut rusak. Maka, kesehatan kalbu mutlak diperlukan agar
anggota badan juga ikut merasakan sehatnya. Mari kita diagnosa
kalbu-kalbu kita.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kalbu yang sehat adalah kalbu yang mengenal Allah, mengetahui
hak-hak-Nya, tunduk dan taat kepada-Nya. Kalbu ini penuh dengan
kecintaan, pengagungan, sekaligus perendahan diri dihadapan-Nya. Kalbu
yang mudah mengetahui kebaikan, mencerna dan mengamalkannya, kalbu
tersebut sangat peka terhadap kebatilan kemudian segera menjauhinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Kesehatan kalbu adalah keselamatan dunia dan akhirat. Matinya kalbu
adalah kematian abadi yang berujung azab pedih neraka. Sehingga sudah
sepantasnya untuk dijaga kesehatannya dan diberikan perhatian yang lebih
dari pada badan. Seandainya badan sakit, berbagai usaha tawakkal
ditempuh untuk mendapatka kesehatannya. Rela kesana-kemari mencari
dokter, tidak pernah lupa minum obat persis sebagaimana resepnya, tidak
menambah tidak mengurangi, bahkan memaksa diri menjauhi makanan
pantangan. Demikian pula ketika sehat, sangat ketat menjaga diri dari
penyakit. Mulai dari menjaga kebersihan, makan teratur, banyak minum air
putih, tidur cukup sampai membuat jadwal olah raga pekanan. Rela
berkorban waktu, tenaga dan harta.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Seharusnya perhatian dan usaha menjaga kesehatan kalbu lebih dari itu
semua. Faktanya, kadang pemiliknya tidak merasa apabila kalbunya sakit.
Oleh sebab itu, kita harus mengetahui indikasi sakitnya kalbu sejak dini
untuk segera mengambil sikap dan mengobatinya. Jangan sampai bertambah
akut kemudian akhirnya mati, na’udzubillah min dzalik (kita berlindung
kepada Allah dari hal itu).<br />
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,</div>
<div style="text-align: right;">
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>“Dalam kalbu mereka ada penyakit, lalu Allah tambah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”</em> <strong>[Q.S. Al Baqarah:10]</strong>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ketika kalbu mulai kering dari dzikir kepada Allah, lemah dan tidak
bersemangat dalam ketaatan, ini adalah gejala awal sakitnya kalbu. Saat
itu, kalbu harus segera disiram dan ditumbuhkan dengan nasehat dan
bimbingan rohani. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>“Tidaklah sekelompok orang berkumpul dalam salah satu masjid
Allah, untuk membaca Al Quran dan mempelajarinya, kecuali akan turun
ketenangan atas mereka, akan diliputi oleh rahmat, malaikatpun akan
mengelilingi serta Allah akan memuji mereka di hadapan para malaikat.”</em><strong> [H.R. Muslim dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu]</strong>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Di antara gejala sakitnya kalbu adalah pemiliknya tidak peka atau bahkan
tidak merasa sakitnya luka kemaksiatan. Begitu mudah melakukan
kemaksiatan tanpa ada penyesalan dan perasaan bersalah kemudian
bertaubat kepada Allah darinya. Apabila kondisi ini dibiarkan, lambat
laun penyakit ini semakin parah dan akhirnya kalbu tersebut akan mati.
Kalbu ini tidak bisa mengenali dan menerima kebenaran. Bahkan, semuanya
akan menjadi terbalik, menilai kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan
sebagai kebenaran.</div>
<div style="text-align: right;">
كَلَّا ۖ بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi kalbu mereka.”</em> <strong>[Q.S. Al-Muthaffifin:14</strong>].</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah, seorang ulama tabi’in, menafsirkan
maksud dari ‘apa yang selalu mereka usahakan itu’ adalah dosa di atas
dosa hingga kalbu menjadi buta dan mati. Demikian pula tafsir dari
Mujahid, Qatadah, Ibnu Zaid dan yang lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir)<br />
Kemaksiatan yang bertumpuk menjadikan kalbu hitam pekat tertutup oleh
noda dosa. Sebagaimana penjelasan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda yang artinya, <em>“Sesungguhnya seorang hamba
apabila terjatuh dalam dosa akan menyebabkan titik hitam dalam kalbunya.
Apabila bertaubat kepada Allah, kalbunya akan dibersihkan kembali. Jika
dosa tersebut bertambah, titik hitam pun bertambah. Inilah yang
dimaksud dalam firman Allah, </em><em>“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi kalbu mereka.”</em> <strong>[Q.S.
Al-Muthaffifin:14]. [H.R. At-Tirmidzi, dari sahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam
Shahihul Jami’]</strong>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Abdullah bin Mubarak Al-Marwazi Rahimahullah mengungkapkan dalam syairnya:<br />
Ku lihat dosa matikan kalbu yang kan wariskan rendahnya diri<br />
hidupnya kalbu dengan tinggalkan dosa baik bagimu mengingkarinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan dalam kitab beliau Fawa’id bahwa
akar kerusakan kalbu ada dua: mengikuti hawa nafsu dan panjang
angan-angan. Mengikuti hawa nafsu akan mengakibatkan butanya kalbu,
sehingga tidak bisa mengenali kebenaran, memahaminya, apalagi untuk
mengamalkannya. Panjang angan akan menyebabkan lalainya kalbu terhadap
kampung akhirat yang akhirnya tidak mampu mempersiapkan perbekalan untuk
menyambutnya dengan baik. Semuanya bisa disembuhkan dengan ilmu
mengenal Allah, mencintai-Nya, tawakal, dan kembali kepada-Nya yang
dapat ditumbuhkan dengan mempelajari Al Quran. Oleh sebab itu Allah
Subhanahu wa ta’ala berfirman,</div>
<div style="text-align: right;">
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”</em> <strong>[Q.S. Al Isra’:82]</strong>. Allahu a’lam. <strong> </strong></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>[Ustadz Farhan]</strong>.</div>
<div style="text-align: justify;">
http://tashfiyah.com/kesehatan-kalbu-2/</div>
Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-11543504324234834762018-08-08T05:38:00.003+07:002018-08-08T05:38:38.635+07:00Misi Duniawi di Balik Gerakan Terorisme<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5ko_0X3Xln2vA-SkBhYm8rcGnQpyvg8QbFAvM-4ec3G7nj4P3haqJCjwnopqmRGIKrUkrM2qm24Pxt901IAHrwSuT3sBr7kQb2CuIn_C_cXu-eb78OId1v1KUPyl32qXUpB8yoB8yIkPp/s1600/emas.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="196" data-original-width="257" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5ko_0X3Xln2vA-SkBhYm8rcGnQpyvg8QbFAvM-4ec3G7nj4P3haqJCjwnopqmRGIKrUkrM2qm24Pxt901IAHrwSuT3sBr7kQb2CuIn_C_cXu-eb78OId1v1KUPyl32qXUpB8yoB8yIkPp/s1600/emas.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari sahabat Jabir bin Abdillah, al-Imam Muslim <em>rahimahullah</em> meriwayatkan (no. 1063) sebuah peristiwa yang terjadi sepulang kaum muslimin dari pertempuran di Lembah Hunain.</div>
<div style="text-align: justify;">
Saat itu, Nabi Muhammad <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>
sampai-sampai bersabda dengan nada yang agak berbeda dari biasanya.
Sabda itu ditujukan kepada seseorang yang menuduh beliau tidak berlaku
adil. Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,</div>
<h4 style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><strong>وَيْلَكَ</strong> <strong>وَمَنْ</strong> <strong>يَعْدِلُ</strong> <strong>إِذَا</strong> <strong>لَمْ</strong> <strong>أَكُنْ</strong> <strong>أَعْدِلُ؟</strong> <strong>لَقَدْ</strong> <strong>خِبْتَ</strong> <strong>وَخَسِرْتَ</strong> <strong>إِنْ</strong> <strong>لَمْ</strong> <strong>أَكُنْ</strong> <strong>أَعْدِلُ</strong><strong>.</strong></span></h4>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Celakalah
engkau! Lantas siapakah yang akan bersikap adil, jika saya tidak berbuat
adil?! Sungguh, engkau celaka dan merugi jika aku tidak dapat bersikap
adil!”</em></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Riwayat Selengkapnya</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits di atas menceritakan peristiwa
yang terjadi di Ji’ranah, yaitu sebuah lokasi yang kurang lebih 25 km
dari Makkah. Ketika itu, kaum muslimin dalam perjalanan pulang menuju
Makkah dari Perang Hunain yang dimenangkan oleh umat Islam.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di Ji’ranah, Rasulullah membagi-bagikan harta rampasan perang berupa perak kepada yang berhak. Sahabat Bilal <em>radhiallahu ‘anhu</em> yang bertugas untuk membawa perak tersebut di atas kain baju miliknya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Saat itu, seseorang datang sambil berteriak, “Hai, Muhammad! Bersikaplah adil!”</div>
<div style="text-align: justify;">
Nabi Muhammad pun merespon dengan bersabda, <em>“Celakalah engkau!</em> <em>Lantas siapakah yang akan bersikap adil,</em> <em>jika aku tidak berbuat adil! Sungguh,</em> <em>engkau celaka dan merugi jika aku tidak</em> <em>dapat bersikap adil!”</em></div>
<div style="text-align: justify;">
Sahabat Umar bin al-Khaththab <em>radhiallahu ‘anhu</em> lantas berseru, “Wahai Rasulullah, izinkan saya untuk membunuh orang munafik semacam ini!”</div>
<div style="text-align: justify;">
Akan tetapi, Rasululullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menjawab, “<em>Ma’adzallah</em>! Jangan sampai orang-orang membicarakan bahwa aku membunuh teman-temanku sendiri.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Kemudian beliau bersabda,</div>
<h4 style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><strong>إِنَّ</strong> <strong>هَذَا</strong> <strong>وَأَصْحَابَهُ</strong> <strong>يَقْرَءُونَ</strong> <strong>الْقُرْآنَ</strong> <strong>لَا</strong> <strong>يُجَاوِزُ</strong> <strong>حَنَاجِرَهُمْ،</strong> <strong>يَمْرُقُونَ</strong> <strong>مِنْهُ</strong> <strong>كَمَا</strong> <strong>يَمْرُقُ</strong> <strong>السَّهْمُ</strong> <strong>مِنَ</strong> <strong>الرَّمِيَّةِ</strong></span></h4>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Sesungguhnya
orang ini dan para pengikutnya, mereka membaca al-Qur’an namun tidak
melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar melesat darinya sebagaimana
anak panah yang keluar melesat dari sasaran tembaknya.”</em></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Hadits Lain yang Mirip</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam
Muslim dengan nomor 1063. Tepat setelahnya, yaitu nomor 1064, al-Imam
Muslim menyebutkan riwayat lain yang mirip dan serupa. Namun, apakah
benar-benar sama?</div>
<div style="text-align: justify;">
Hadits dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri (no. 1064) menyebutkan tentang sahabat Ali bin Abi Thalib <em>radhiallahu ‘anhu</em> yang diutus oleh Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> sebagai duta Islam untuk negeri Yaman.</div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah sekian waktu, sahabat Ali <em>radhiallahu ‘anhu</em> mengirim emas yang masih belum diolah untuk Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Oleh Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>,
emas-emas itu dibagikan untuk beberapa tokoh terkemuka di daerah Najd.
Mereka adalah al-Aqra’ bin Habis al-Hanzhali, Uyainah bin Badr
al-Fazari, Alqamah bin ‘Ulatsah al-Amiri, Zaid al-Khair ath-Tha’i,
seorang tokoh dari suku Kilab dan seorang tokoh dari suku Nabhan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagian kalangan dari suku Quraisy
tersinggung. Mereka mengatakan, “Mengapa Rasulullah hanya membagikan
untuk tokoh-tokoh Najd, sementara kita dilupakan?”</div>
<div style="text-align: justify;">
Akan tetapi, mereka akhirnya menerima dan bisa memahami alasan Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, “Sungguh, tujuanku hanyalah untuk melunakkan hati mereka.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Tiba-tiba datang seseorang yang
berjenggot tebal, bagian atas kedua pipinya menonjol, cekung kedua
matanya, dahinya mencuat, dan berkepala botak. Tanpa malu, orang itu
menghardik Rasulullah, “Bertakwalah kepada Allah, wahai Muhammad!”</div>
<div style="text-align: justify;">
Beliau kemudian bersabda,</div>
<h4 style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><strong>فَمَنْ</strong> <strong>يُطِعِ</strong> <strong>اللهَ</strong> <strong>إِنْ</strong> <strong>عَصَيْتُهُ،</strong> <strong>أَيَأْمَنُنِي</strong> <strong>عَلَى</strong> <strong>أَهْلِ</strong> <strong>الْأَرْضِ</strong> <strong>وَلَا</strong> <strong>تَأْمَنُونِي؟</strong></span></h4>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Siapakah
orangnya yang akan taat kepada Allah, jika aku durhaka kepada-Nya?
Apakah Allah memercayai diriku (sebagai pembawa risalah) untuk penduduk
bumi, sementara kalian malah tidak memercayai diriku?”</em></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah itu, orang tersebut berlalu pergi. Kemudian salah seorang sahabat yang ikut hadir meminta izin kepada Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> untuk membunuh orang tersebut. Akan tetapi, beliau melarang dan bersabda,</div>
<h4 style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><strong>إِنَّ</strong> <strong>مِنْ</strong> <strong>ضِئْضِئِ</strong> <strong>هَذَا</strong> <strong>قَوْمًا</strong> <strong>يَقْرَءُونَ</strong> <strong>الْقُرْآنَ</strong> <strong>لَا</strong> <strong>يُجَاوِزُ</strong> <strong>حَنَاجِرَهُمْ</strong> <strong>يَقْتُلُونَ</strong> <strong>أَهْلَ</strong> <strong>الْإِسْلَامِ،</strong> <strong>وَيَدَعُونَ</strong> <strong>أَهْلَ</strong> <strong>الْأَوْثَانِ،</strong> <strong>يَمْرُقُونَ</strong> <strong>مِنَ</strong> <strong>الْإِسْلَامِ</strong> <strong>كَمَا</strong> <strong>يَمْرُقُ</strong> <strong>السَّهْمُ</strong> <strong>مِنَ</strong> <strong>الرَّمِيَّةِ،</strong> <strong>لَئِنْ</strong> <strong>أَدْرَكْتُهُمْ</strong> <strong>لَأَقْتُلَنَّهُمْ</strong> <strong>قَتْلَ</strong> <strong>عَادٍ</strong></span></h4>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Sesungguhnya,
dari jenis orang ini akan muncul sebuah kelompok. Mereka pandai membaca
al-Qur’an, tetapi tidak melewati tenggorokan. Mereka membunuh kaum
muslimin dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka terlepas keluar
dari Islam, sebagaimana keluarnya anak panah dari objek buruan. Jika aku
menjumpai mereka, aku akan membunuh mereka sebagaimana kaum ‘Ad
dibunuh.”</em></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Kedua Riwayat di Atas, Sama Ataukah Berbeda?</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Dua riwayat di atas adalah riwayat yang berbeda. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa hal;</div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Hadits pertama, yaitu hadits Jabir bin Abdillah <em>radhiallahu ‘anhu</em> menyebutkan peristiwa yang terjadi dalam perjalanan pulang dari pertempuran di Lembah Hunain.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Adapun hadits kedua, yaitu hadits Abu Sa’id al-Khudri <em>radhiallahu ‘anhu</em> terjadi setelah Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> mengutus sahabat Ali bin Abi Thalib <em>radhiallahu ‘anhu</em> ke negeri Yaman.</div>
<ol start="2" style="text-align: justify;">
<li>Hadits Jabir <em>radhiallahu ‘anhu</em> terjadi pada bulan Dzulqa’dah 8 H, sementara hadits Abu Sa’id <em>radhiallahu ‘anhu</em> pada 9 H.</li>
<li>Harta yang dibagi-bagikan pada hadits Jabir adalah perak. Adapun
dalam riwayat Abu Sa’id disebutkan bahwa harta yang dibagi adalah emas.</li>
<li>Menurut hadits Jabir, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> membagi-bagikan perak kepada setiap orang yang datang. Hadits Abu Sa’id tidak demikian, karena Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> membagi-bagikan untuk beberapa kalangan saja.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Hafizh Ibnu Hajar <em>rahimahullah</em> dalam <em>Fathul Bari </em>(12/360)
memberikan keterangan, “Keduanya adalah kisah yang terjadi dalam dua
waktu yang berbeda. Namun, sama-sama menyebutkan sikap pengingkaran dari
pihak pengkritik. Di dalam hadits Abu Sa’id disebutkan secara jelas
namanya, yaitu Dzul Khuwaisirah.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Hafizh melanjutkan, “Sementara itu,
dalam hadits Jabir tidak disebutkan nama si pengkritik. Yang menyebutkan
nama Dzul Khuwaisirah dalam hadits Jabir telah salah, karena ia
menganggap kedua kisah tersebut sama.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan demikian, Dzul Khuwaisirah sebagai cikal bakal munculnya kaum teroris Khawarij adalah orang yang mengkritik Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dalam pembagian emas kiriman dari sahabat Ali bin Abi Thalib <em>radhiallahu ‘anhu</em>; bukan dalam peristiwa pembagian perak sepulang Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dari pertempuran di Lembah Hunain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>Wallahu a’lam</em>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Bukti Sejarah Misi Duniawi Kaum Teroris</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Hanya dakwah Ahlus Sunnah yang tegak
berdiri di atas fondasi keikhlasan. Tidak ada tendensi dan tujuan
duniawi; bukan harta benda yang dicari, bukan pula popularitas. Ahlus
Sunnah tidak bertujuan mencari kedudukan, pangkat, atau jabatan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah suci
yang bertujuan mengajak umat Islam untuk benar-benar kembali kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali (<em>at-Tahdzir minal Fitan, </em>hlm.
90—91) mengingatkan tentang dakwah Ahlus Sunnah, “Demi Allah, wahai
anak-anakku. Kita tidaklah sedang memerangi seorang pun. Kita tidak
menginginkan politik. Kita tidak menginginkan kekuasaan. Kita tidak
menginginkan kedudukan. Demi Allah, seandainya kedudukan itu ditawarkan
untuk kita, niscaya kita tidak akan menerimanya.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun selain Ahlus Sunnah, tujuan dan
cita-cita mereka adalah dunia. Termasuk kaum teroris Khawarij, seperti
ISIS, al-Qaeda, dan yang semisal mereka. Secara sejarah, kaum teroris
Khawarij memang tidak lepas dari target-target duniawi. Bahkan,
asal-muasal dan cikal-bakal mereka adalah peristiwa Dzul Khuwaisirah
yang mengkritik pembagian harta oleh Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> yang ia nilai tidak mencerminkan ketakwaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Berikut ini beberapa contoh lainnya.</div>
<ol style="text-align: justify;">
<li><em> Tragedi pemberontakan yang berujung pada gugurnya sahabat mulia, Khalifah Utsman bin Affan </em><em>radhiallahu ‘anhu</em><em>.</em></li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Sebelum tragedi itu terjadi, Khalifah
Ustman telah berusaha untuk mengatasi gerakan pemberontakan dengan
menemui dan menyetujui tuntutan mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ada lima poin yang menjadi kesepakatan antara Khalifah Utsman <em>radhiallahu ‘anhu</em> dan kaum pemberontak, yaitu</div>
<div style="text-align: justify;">
(1) orang yang diasingkan harus dikembalikan,</div>
<div style="text-align: justify;">
(2) orang yang tidak punya harta harus diberi,</div>
<div style="text-align: justify;">
(3) harta fai harus dibagikan secara sempurna,</div>
<div style="text-align: justify;">
(4) harus bersikap adil dalam pembagian harta, dan</div>
<div style="text-align: justify;">
(5) yang diangkat sebagai pemimpin haruslah amanah dan kuat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Jika kita perhatikan, bukankah tuntutan dari para pemberontak teroris di atas, selalu dikaitkan dengan harta dan kedudukan? (<em>Fitnah Maqtal Utsman</em>, karya Muhammad as-Subhi)</div>
<div style="text-align: justify;">
Bagaimanakah yel-yel dan pekik suara kaum pemberontak ketika mengepung dan membunuh Khalifah Utsman <em>radhiallahu ‘anhu</em>?</div>
<div style="text-align: justify;">
Kaum teroris Khawarij berteriak-teriak setelah membunuh Khalifah Ustman <em>radhiallahu ‘anhu</em>, “Cepat kuasai Baitul Mal! Jangan sampai kalian didahului!”</div>
<div style="text-align: justify;">
Seperti itulah teriakan mereka, gamblang memperlihatkan salah satu tujuan yang ingin mereka capai. <em>Allahul</em> <em>musta’an</em>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<ol start="2" style="text-align: justify;">
<li><em> Pada masa kekhilafahan sahabat Ali bin Abi Thalib, kaum teroris Khawarij semakin menjadi-jadi.</em></li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Sepulang dari Perang Shiffin, sejumlah pasukan menyatakan keluar dan memisahkan diri dari kesatuan pasukan Ali bin Abi Thalib <em>radhiallahu ‘anhu</em>.
Sebagian ulama menyebut jumlah mereka 16.000 personel. Ada yang
berpendapat 12.000. orang. Namun, ada lagi yang mengatakan 6.000
personel.</div>
<div style="text-align: justify;">
Atas izin Khalifah Ali bin Abi Thalib <em>radhiallahu ‘anhu</em>, sahabat Ibnu Abbas <em>radhiallahu ‘anhuma</em> berinisiatif menemui para pemberontak dengan tujuan berusaha menyadarkan mereka. Al-Imam an-Nasa’i (<em>al-Khasais</em>, hlm. 195 dan sanadnya dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil di dalam <em>ash-Shahihul Musnad </em>1/564) meriwayatkan secara detail tentang pertemuan Ibnu Abbas dengan kaum pemberontak.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di dalam riwayat tersebut, kaum teroris
menyampaikan tiga alasan yang mendorong mereka keluar dan memisahkan
diri dari pasukan Ali bin Abi Thalib.</div>
<div style="text-align: justify;">
Salah satunya, mengapa Ali bin Abi Thalib <em>radhiallahu ‘anhu</em>
berperang, namun tidak menawan dan mengambil harta ghanimah dalam
Perang Jamal? Jika mereka yang diperangi adalah kaum kafir, halal untuk
ditawan. Namun, jika mereka masih kaum mukminin, tidak boleh ditawan dan
diperangi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sahabat Ibnu Abbas <em>radhiallahu ‘anhuma</em>
menjawab kritikan ini, “Adapun Ali bin Abi Thalib berperang melawan
pihak Aisyah (Perang Jamal), namun tidak menawan dan mengambil harta
ghanimah; apakah kalian akan menawan Ibunda kalian sendiri, yakni
Aisyah?</div>
<div style="text-align: justify;">
Apakah kalian akan menghalalkan dari
beliau sebagaimana kalian menghalalkan dari yang lain? Padahal beliau
adalah Ibunda kalian?”</div>
<div style="text-align: justify;">
Ibnu Abbas <em>radhiallahu ‘anhuma</em>
melanjutkan, “Jika kalian menjawab, ‘Kami menghalalkan dari beliau
sebagaimana kami menghalalkan dari yang lain’, kalian telah kafir. Jika
kalian mengatakan, ‘Aisyah bukan Ibunda kami’, kalian pun kafir. Allah <em>‘azza wa jalla</em> berfirman,</div>
<h3 style="text-align: right;">
<strong> </strong><span style="color: green;"><strong>ٱلنَّبِيُّ أَوۡلَىٰ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ مِنۡ أَنفُسِهِمۡۖ وَأَزۡوَٰجُهُۥٓ أُمَّهَٰتُهُمۡۗ</strong></span></h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Nabi itu
(hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka
sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” </em><strong>(al-Ahzab: 6)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan jawaban Ibnu Abbas <em>radhiallahu ‘anhuma</em>
di atas, poin kritikan tersebut pun dinyatakan terhapus oleh kaum
teroris. Namun, yang patut untuk digarisbawahi adalah poin kritikan
mereka yang dikait-kaitkan dengan harta, dalam hal ini adalah harta
ghanimah dalam Perang Jamal.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Jangan Tertipu dengan Penampilan Luar Kaum Teroris</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikianlah bid’ah kaum Khawarij! Agama
digunakan untuk alat mengejar kepentingan dunia. Walaupun kenyataan ini
coba dibantah dan diingkari, kenyataan tak mungkin dielakkan. Fakta dan
realitas di lapangan menjadi saksi akan kebenaran hal ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Jika ada informasi yang menyebutkan
bahwa ISIS, al-Qaeda, dan lain-lain memberikan janji dan iming-iming
kehidupan yang layak dengan pendapatan dan ekonomi yang baik, hal ini
bukanlah jauh dari kenyataan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Jika mereka dikatakan saling
memperebutkan daerah kaya minyak, juga bukanlah satu hal yang aneh.
Sebab, pada dasarnya tujuan mereka adalah dunia.</div>
<div style="text-align: justify;">
Barangkali tidak semua pihak bisa
menerima kenyataan ini. Alasannya, secara lahiriah kaum teroris seperti
ISIS dan al-Qaeda menunjukkan ketaatan dan ibadah kepada Allah <em>‘azza wa jalla</em>.
Mereka digambarkan sebagai kelompok yang rajin berzikir, senang berdoa,
menjaga shalat, suka membaca al-Qur’an, dan ingin menegakkan syariat
Islam. Bukankah demikian? Begitu kata mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
Apakah Anda lupa, bagaimanakah Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menggambarkan keadaan mereka sejak dahulu?</div>
<div style="text-align: justify;">
Bukankah Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menjelaskan kepada para sahabatnya, “Kalian menganggap kecil shalat kalian jika dibandingkan dengan shalat mereka.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Jadi, jangan terkecoh dengan penampilan luar mereka!</div>
<div style="text-align: justify;">
Tentang hal ini, seorang ulama bernama Muhammad bin al-Husain menerangkan (<em>asy-Syariah, </em>karya al-Imam al-Ajurri hlm. 25),</div>
<div style="text-align: justify;">
“Seseorang yang melihat orang yang
berpemahaman Khawarij, yang memberontak kepada pemerintah—baik yang adil
maupun yang jahat—, mengumpulkan massa dan menghunus pedang, serta
menghalalkan untuk memerangi kaum muslimin; janganlah dia terkecoh
dengan bacaan al-Qur’an (si Khawarij tersebut), panjang shalatnya,
puasanya yang terus-menerus, keindahan cara berbicaranya dalam ilmu,
jika orang itu berpaham Khawarij.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Melalui penjelasan singkat ini, marilah
bersama-sama menyimpulkan bahwa tujuan dan cita-cita kaum teorirs
Khawarij, semacam ISIS dan al-Qaeda, adalah dunia. Entah itu harta,
kedudukan, atau lainnya. Penampilan lahiriah mereka tidak dapat
menyembunyikan tujuan-tujuan duniawi tersebut. Fakta, kenyataan, dan
realitas di lapangan telah mendustakan penampilan lahiriah mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai penutup, marilah kita membaca
kesimpulan tegas yang disampaikan oleh asy-Syaikh Abdur Rahman
Muhyiddin, seorang ulama di zaman ini, saat menjelaskan <em>Kitabul Imarat</em> dari <em>Shahih Muslim </em>pada 26/11/1437 H, melalui akun twitter<a href="http://asysyariah.com/misi-duniawi-di-balik-gerakan-terorisme/#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a>, “Sekarang ini, ambisi kaum Khawarij (ISIS) adalah dunia.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>Allahul musta’an</em>.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Ditulis oleh <strong>al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong> http://asysyariah.com/</strong></div>
Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-84678590684625174342018-03-11T05:53:00.002+07:002018-03-11T06:03:20.402+07:00Jadwal Kajian Rutin<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZgaCfUgrb5pYD-eYpjZAeWHQuwvx0Rnv_feGIo_Ba45yLLJ0LaOPF5qdq8143xhuG3ch2jdzJpNSYoN1Kw21zvXDI3SRnPDMDw_IXHI_sFOrXgg3C0j4MK7V-uV1igh8gnRl3oAxKvHCV/s1600/photo_2018-03-11_05-47-24.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1280" data-original-width="905" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZgaCfUgrb5pYD-eYpjZAeWHQuwvx0Rnv_feGIo_Ba45yLLJ0LaOPF5qdq8143xhuG3ch2jdzJpNSYoN1Kw21zvXDI3SRnPDMDw_IXHI_sFOrXgg3C0j4MK7V-uV1igh8gnRl3oAxKvHCV/s320/photo_2018-03-11_05-47-24.jpg" width="226" /></a></div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgB23xlCKdVM4Vh_TKVRDO6hbczn2wbSEhNCq6mcwKJZD-QnKmiJ4U_Ouwxf8y7PmoWBa8zJSTKPrCzUMlUagKAkV4o2KSnLIVZwWWjcPZgGbEJoFhYtC7KZCBsPgnVAbdf7Yudhp0Nq-m4/s1600/photo_2018-03-11_05-48-52.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1280" data-original-width="904" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgB23xlCKdVM4Vh_TKVRDO6hbczn2wbSEhNCq6mcwKJZD-QnKmiJ4U_Ouwxf8y7PmoWBa8zJSTKPrCzUMlUagKAkV4o2KSnLIVZwWWjcPZgGbEJoFhYtC7KZCBsPgnVAbdf7Yudhp0Nq-m4/s320/photo_2018-03-11_05-48-52.jpg" width="226" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkc0KX8i_SBvbZoh0nNfvpb6BJ_ZKPBgLRWRjgJo-K_GmkS18pIId2v2Mxy5DII-EVITxFKoRhUbEZljAA3rPQXG2p8jO9HmN-UUZEt5gcDle6O9U-XIDVrRCDcr8Yp_y909IRd-wXVuWh/s1600/photo_2018-03-11_05-48-41.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1280" data-original-width="904" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkc0KX8i_SBvbZoh0nNfvpb6BJ_ZKPBgLRWRjgJo-K_GmkS18pIId2v2Mxy5DII-EVITxFKoRhUbEZljAA3rPQXG2p8jO9HmN-UUZEt5gcDle6O9U-XIDVrRCDcr8Yp_y909IRd-wXVuWh/s320/photo_2018-03-11_05-48-41.jpg" width="226" /></a></div>
<br />
<br />
<br />Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-83875774719802602052017-10-28T05:36:00.002+07:002017-10-28T05:36:35.469+07:00Dua Tangan Allah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg84H1vBmq-ELarnjWOrDitsb9Szcmn_FI6o59CTOFuMH1LE1QpY2hES6Er-wpZZB8DxbPIPwFix-POOd7TiUVyHcI7iaccI_xJ2zjrBRvnEGvCBM9a7MNPeMBPpiGK0hU-6-izcBe0_rJe/s1600/langit.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="320" data-original-width="482" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg84H1vBmq-ELarnjWOrDitsb9Szcmn_FI6o59CTOFuMH1LE1QpY2hES6Er-wpZZB8DxbPIPwFix-POOd7TiUVyHcI7iaccI_xJ2zjrBRvnEGvCBM9a7MNPeMBPpiGK0hU-6-izcBe0_rJe/s320/langit.jpg" width="320" /></a></div>
Pada Asy Syariah edisi 112 hlm. 71, terjemahan hadits riwayat Muslim tertulis, “… kemudian Dia melipat bumi dengan kiri-Nya….”
<br />
Bukankah seharusnya dengan kanan-Nya? Mohon diperhatikan!<br />
085696xxxxxx<br />
<strong> </strong><strong>Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi</strong><br />
<br />
<strong>Allah Memiliki Dua Tangan</strong><br />
Di antara sifat Allah <em>‘azza wa jalla</em> adalah memiliki dua tangan. Hal ini berdasarkan firman Allah <em>‘azza wa jalla</em>,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: green; font-size: 12pt;"><strong>بَلۡ يَدَاهُ مَبۡسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيۡفَ يَشَآءُۚ</strong></span></div>
<em> “(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” </em><strong>(al-Maidah: 64)</strong><br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: green; font-size: 12pt;"><strong>قَالَ يَٰٓإِبۡلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسۡجُدَ لِمَا خَلَقۡتُ بِيَدَيَّۖ أَسۡتَكۡبَرۡتَ أَمۡ كُنتَ مِنَ ٱلۡعَالِينَ</strong> </span>٧٥</div>
<em> Allah berfirman, “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu
sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu
menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang
(lebih) tinggi?”</em><br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Dari Abdullah bin Umar <em>radhiallahu ‘anhuma</em>, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<strong> </strong><span style="color: green; font-size: 12pt;"><strong>يَطْوِ</strong> <strong>ى</strong> <strong>اللهُ</strong> <strong>السَّمَوَاتِ</strong> <strong>يَوْمَ</strong> <strong>الْقِيَامَةِ</strong> <strong>ثُمَّ</strong> <strong>يَأْخُذُهُنَّ</strong> <strong>بِيَدِهِ</strong> <strong>الْيُمْنَى</strong> <strong>ثُمَّ</strong> <strong>يَقُولُ</strong><strong>: </strong><strong>أَنَا</strong> <strong>الْمَلِكُ،</strong> <strong>أَيْنَ</strong> <strong>الْجَبَّارُونَ؟</strong> <strong>أَيْنَ</strong> <strong>الْمُتَكَبِّرُونَ؟</strong> <strong>ثُمَّ</strong> <strong>يَطْوِى</strong> <strong>الْأَرَضِينَ</strong> <strong>ثُمَّ</strong> <strong>يَأْخُذُهُنَّ</strong><strong>–</strong><strong>قَالَ</strong> <strong>ابْنُ</strong> <strong>الْعَلاَءِ</strong><strong>: </strong><strong>بِيَدِهِ</strong> <strong>الْأُخْرَى</strong><strong>–</strong><strong>ثُمَّ</strong> <strong>يَقُولُ</strong><strong>: </strong><strong>أَنَا</strong> <strong>الْمَلِكُ،</strong> <strong>أَيْنَ</strong> <strong>الْجَبَّارُونَ؟</strong> <strong>أَيْنَ</strong> <strong>الْمُتَكَبِّرُونَ؟</strong></span></div>
<em>Allah </em><em>‘azza wa jalla</em> <em>melipat langit-langit pada
hari kiamat lalu mengambilnya dengan tangan kanan-Nya seraya berkata,
“Akulah Sang Raja, di manakah para diktator? Di manakah orang-orang yang
sombong?”</em><br />
<em>Lalu Allah </em><em>‘azza wa jalla</em> <em>melipat bumi-bumi
kemudian mengambilnya.—Ibnul ‘Ala`, salah seorang perawi hadits
mengatakan: dengan tangan-Nya yang lain)—Allah berkata, “Akulah Sang
Raja, di manakah para diktator? Di manakah orang-orang yang sombong?” </em>( <strong>HR. Abu Dawud</strong>, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani <em>rahimahullah</em>)<br />
Ibnu Khuzaimah <em>rahimahullah</em> menuliskan dalam <em>Kitab at-Tauhid </em>bahwa Allah <em>‘azza wa jalla</em> memiliki dua tangan yang terbentang dan berinfak sekehendak-Nya. Dengan kedua tangan-Nya, Allah <em>‘azza wa jalla</em> menciptakan Adam.<br />
Kedua tangan tersebut adalah tangan hakiki yang tidak sama dengan
tangan makhluk-Nya. Mahasuci Allah dari kesamaan dengan makhluk. Allah <em>‘azza wa jalla</em> berfirman,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: green; font-size: 12pt;"><strong>لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ</strong></span> ١١</div>
<em> “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” </em>(<strong>asy-Syura: 11</strong>)<br />
<br />
<strong>Apakah Dua Tangan Allah Kanan dan Kiri?</strong><br />
Adapun terkait dengan pertanyaan di atas, apakah kedua tangan Allah <em>‘azza wa jalla</em> itu kanan dan kiri, dalam hal ini terdapat beberapa riwayat dalam hadits Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>.<br />
<br />
<ol>
<li><strong><em> Dua tangan kanan</em></strong></li>
</ol>
Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue; font-size: 12pt;"><strong>وَكِلْتَا</strong> <strong>يَدَيْهِ</strong> <strong>يَمِينٌ</strong></span></div>
<em> “Dan kedua tangan Allah itu kanan.” </em>(<strong>HR. Muslim</strong>)<br />
<br />
<ol start="2">
<li><strong><em> Tangan kanan dan kiri</em></strong></li>
</ol>
Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue; font-size: 12pt;"><strong>يَطْوِى</strong> <strong>اللهُ</strong> <strong>عَزَّ</strong> <strong>وَجَلَّ</strong> <strong>السَّمَوَاتِ</strong> <strong>يَوْمَ</strong> <strong>الْقِيَامَةِ</strong> <strong>ثُمَّ</strong> <strong>يَأْخُذُهُنَّ</strong> <strong>بِيَدِهِ</strong> <strong>الْيُمْنَى</strong> <strong>ثُمَّ</strong> <strong>يَقُولُ</strong><strong>: </strong><strong>أَنَا</strong> <strong>الْمَلِكُ،</strong> <strong>أَيْنَ</strong> <strong>الْجَبَّارُونَ؟</strong> <strong>أَيْنَ</strong> <strong>الْمُتَكَبِّرُونَ؟</strong> <strong>ثُمَّ</strong> <strong>يَطْوِى</strong> <strong>الْأَرَضِينَ</strong> <strong>بِشِمَالِهِ</strong> <strong>ثُمَّ</strong> <strong>يَقُولُ</strong><strong>: </strong><strong>أَنَا</strong> <strong>الْمَلِكُ،</strong> <strong>أَيْنَ</strong> <strong>الْجَبَّارُونَ؟</strong> <strong>أَيْنَ</strong> <strong>الْمُتَكَبِّرُونَ؟</strong></span></div>
<em>Allah </em><em>‘azza wa jalla</em> <em>melipat langit-langit pada
hari kiamat lalu mengambilnya dengan tangan kanan-Nya seraya berkata,
“Akulah Sang Raja, di manakah para diktator? Di manakah orang-orang yang
sombong?”</em><br />
<em>Lalu Allah melipat bumi-bumi dengan tangan kiri-Nya seraya
berkata, “Akulah Sang Raja, di manakah para diktator? Di manakah
orang-orang yang sombong?” </em>(<strong>HR. Muslim</strong>)<br />
<br />
<ol start="3">
<li><strong> Tangan yang lain</strong></li>
</ol>
Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,<br />
<div style="text-align: right;">
<strong><span style="color: blue;">قَ</span><span style="color: blue; font-size: 12pt;">الَ</span></strong><span style="color: blue; font-size: 12pt;"> <strong>ابْنُ</strong> <strong>الْعَلاَءِ</strong><strong>: </strong><strong>بِيَدِهِ</strong> <strong>الأُخْرَى</strong> <strong>ثُمَّ</strong> <strong>يَقُولُ</strong> <strong>أَنَا</strong> <strong>الْمَلِكُ</strong> <strong>أَيْنَ</strong> <strong>الْجَبَّارُونَ</strong> <strong>أَيْنَ</strong> <strong>الْمُتَكَبِّرُونَ</strong><strong>.</strong></span></div>
<em>Ibnul ‘Ala`, salah seorang perawi hadits mengatakan, “… dengan tangan- Nya yang lain, lalu Allah </em><em>‘azza wa jalla</em> <em>berkata, ‘Akulah Sang Raja, di manakah para diktator? Di manakah orang-orang yang sombong?’.” </em>(<strong>HR. Abu Dawud</strong>, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)<br />
<br />
Dari beberapa riwayat di atas, para ulama berbeda pendapat setelah ulama Ahlus Sunnah sepakat bahwa Allah memiliki dua tangan.<br />
<br />
<ol>
<li><strong><em> Semua riwayat itu sahih.</em></strong></li>
</ol>
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Allah <em>‘azza wa jalla</em> memiliki dua tangan, kanan dan kiri. Hanya saja, tangan kiri Allah <em>‘azza wa jalla</em>
tidak boleh dipahami seperti kiri pada makhluk. Sebab, kiri pada
makhluk identik dengan kelemahan dan kekurangan, sementara tangan kiri
Allah <em>‘azza wa jalla</em> tidak memiliki kelemahan dan kekurangan sama sekali. Tangan kiri Allah <em>‘azza wa jalla</em> tetap sempurna dalam segala hal.<br />
Oleh karena itu, riwayat pertama menyebutkan bahwa kedua tangan Allah <em>‘azza wa jalla</em> kanan, untuk menghilangkan kesan lemah dan kekurangan pada tangan Allah <em>‘azza wa jalla</em>.<br />
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan <em>hafizhahullah</em> berkata, “Dalam hadits terdapat penyebutan dua tangan Allah (kanan dan kiri). Pada hadits lain, <em>‘dan kedua tangan-Nya kanan’</em> (tangan yang satu kiri). Akan tetapi, tidak seperti kirinya tangan makhluk. Kiri Allah <em>‘azza wa jalla</em> tetap kanan. Berbeda halnya dengan makhluk, kirinya bukan kanan.<br />
“Sifat semacam ini hanya khusus bagi Allah <em>‘azza wa jalla</em>, yaitu kedua tangan Allah <em>‘azza wa jalla</em> kanan. Jadi, Allah <em>‘azza wa jalla</em>
memiliki tangan kanan dan tangan kiri sebagaimana disebutkan dalam
hadits; kanan tidak seperti kanannya makhluk dan kiri tidak sepeti
kirinya makhluk.” (<em>I’anatul</em> <em>Mustafid</em>)<br />
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin <em>rahimahullah</em> berkata, “Apabila lafal kiri itu sahih, menurut saya tidak bertentangan dengan lafal lain <em>‘kedua tangan-Nya kanan’</em>. Sebab, maknanya adalah tangan yang lain tidak seperti kiri pada makhluk, yaitu kurang dibanding dengan tangan kanannya.<br />
“Oleh karena itu, Rasul <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> berkata, <em>‘kedua tangan Allah itu kanan’</em>, yakni tiada kekurangan padanya.” (<em>al-Qaul</em> <em>al-Mufid</em>)<br />
<br />
<ol start="2">
<li><strong><em> Riwayat yang menyebutkan kiri adalah lemah dan dinilai sebagai riwayat yang syadz (ganjil).</em></strong></li>
</ol>
Ini adalah pandangan asy-Syaikh al-Albani <em>rahimahullah</em> dan yang sependapat dengan beliau, yaitu asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh.<br />
Saat menjawab pertanyaan tentang dua riwayat tersebut, asy-Syaikh Albani <em>rahimahullah</em> berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara dua hadits tersebut. Sabda Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, <em>“Dan kedua tangan</em> <em>Allah itu kanan,” </em>menegaskan firman Allah <em>‘azza wa jalla</em>, “<em>Tidak ada sesuatu pun yang</em> <em>serupa dengan Dia.</em>”<br />
Sifat yang Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> beritakan tersebut menegaskan kesucian Allah <em>‘azza wa jalla</em> dari penyerupaan dengan makhluk. Tangan Allah <em>‘azza wa jalla</em> tidak sama dengan tangan manusia, kiri dan kanan. Bahkan, kedua tangan Allah <em>‘azza wa jalla</em> adalah kanan.<br />
Selain itu, riwayat <em>“dengan tangan kiri-Nya” </em>adalah <em>syadz </em>(ganjil), seperti yang telah beliau terangkan dalam <em>takhrij </em>beliau terhadap kitab <em>al-Musthalahat al-Arba’ah fil Qur’an, </em>tulisan al-Maududi.<br />
<em> </em>Termasuk yang menguatkan pendapat lemahnya (riwayat yang
menyebutkan lafal kiri) adalah riwayat Abu Dawud yang menyebutkan dengan
lafal <em>“tangan-Nya yang lain” </em>sebagai pengganti riwayat<em> “dengan tangan kiri-Nya,”</em>.<br />
Riwayat Abu Dawud tersebut sesuai dengan sabda Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, <em>“Kedua tangan</em> <em>Allah kanan.” </em>(<em>Majalah al-Ashalah</em>)<br />
<em>Wallahu a’lam.</em>Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-89176193738833391072017-10-07T05:41:00.002+07:002017-10-07T05:41:42.287+07:00Mengajari Anak Mencintai Pemerintah Muslim<div class="entry-content">
<span class="published">Agu 10, 2017</span> | <a href="http://asysyariah.com/category/majalah-edisi-111-120/asy-syariah-edisi-117/" rel="category tag" target="_top">Asy Syariah Edisi 117</a>, <a href="http://asysyariah.com/category/rubrik-sakinah/permata-hati/" rel="category tag" target="_top">Permata Hati</a> |<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZIDTPLl0eYsyHWi93RSuT6iYySmyYSxiRmNIepc3tBwfwza_Z1cpVc_ypbNzlLiqZJEOTeCOGVr22EK88qgvgl_M-PPh2Xs3g_BKBu6ZEyg9L4p6Vix8hej-E5CVtTI1oern-zmQb9OKy/s1600/kursi-singgasana-putih.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="929" data-original-width="1521" height="195" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZIDTPLl0eYsyHWi93RSuT6iYySmyYSxiRmNIepc3tBwfwza_Z1cpVc_ypbNzlLiqZJEOTeCOGVr22EK88qgvgl_M-PPh2Xs3g_BKBu6ZEyg9L4p6Vix8hej-E5CVtTI1oern-zmQb9OKy/s320/kursi-singgasana-putih.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Terkadang secara tak sadar, orang tua menanamkan kepada anak
rasa ketidakpuasan terhadap penguasa negerinya. Lewat obrolan dengan
orang lain, meluncur ungkapan-ungkapan celaan bahkan hujatan terhadap
sang penguasa. Tampaknya hanya sekadar <em>curhat</em>. Namun, tanpa disangka, sepasang telinga kecil menangkap pembicaraan itu, lalu menghunjam di sanubarinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Berbekal opini dari orang tuanya terhadap penguasanya yang dipandang
penuh kekurangan, tumbuhlah dia sebagai pemuda yang tidak puas dan benci
dengan pemerintahnya. Tinggallah orang tua yang terhenyak, saat suatu
hari nama anaknya tercatat sebagai anggota teroris. <em>Wal ‘iyadzu</em> <em>billah</em>….</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a>Kita tentu tak pernah berharap hal itu terjadi pada diri kita dan anak-anak kita. Bahkan kita mohon perlindungan kepada Allah <em>‘azza wa jalla</em> agar dijauhkan dari itu semua.<br />
<div style="text-align: justify;">
Selain doa yang kita panjatkan, tentu ada upaya yang harus ditempuh
oleh orang tua dalam membimbing anaknya. Kita harus mengetahui bimbingan
syariat dalam hal ini. Sembari memohon pertolongan dan taufik dari
Allah <em>‘azza wa jalla</em>, kita akan menelaah masalah ini melalui kitab <em>Tarbiyatul Aulad fi Dhau’il Kitabi</em> <em>was Sunnah.</em></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam poin pembahasan <em>Tarbiyatuhum ‘ala Mahabbatil ‘Ulama</em> <em>wa Wulatil Amr </em>dijelaskan
bahwa di antara hal penting yang harus diperhatikan oleh ayah dan ibu
adalah mendidik anak-anak untuk mencintai ulama dan pemimpin negerinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan
dirham atau dinar, tetapi sematamata mewariskan ilmu. Barang siapa
mengambil ilmu tersebut, berarti dia telah mengambil bagian yang
melimpah dari warisan tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di samping itu, apabila orang tua menanamkan pada diri anak sikap
keraguan terhadap para ulama dan ilmu mereka, tidak menghormati mereka,
serta menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka di hadapan anak, semua ini
akan menimbulkan bahaya besar bagi umat. Sebab, ilmu diambil dari para
ulama, begitu juga syariat Islam diambil dari jalan mereka pula. Sikap
yang demikian kadangkala akan membawa kehancuran bagi syariat Islam.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika anak tumbuh dewasa kelak, dia akan mencari orang yang akan
diambil ilmunya. Dia tidak akan mengambil dari para ulama, karena sudah
dibuat ragu terhadap para ulama dan ilmu mereka. Mereka akan mengambil
ilmu dari para ulama sesat dan orang-orang yang berpemikiran menyimpang.
Akhirnya, anak akan menjadi alat untuk merusak masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun ulil amri adalah orang-orang yang menangani segala urusan
rakyat, menegakkan syariat, memelihara stabilitas keamanan, serta
menjaga persatuan kaum muslimin. Oleh karena itu, Allah <em>‘azza wa jalla</em> berfirman,</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: green; font-size: 12pt;"><strong>يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ</strong></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<em> “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada
Allah, taatlah kalian kepada Rasul, dan taatilah ulil amri di antara
kalian.” </em><strong>(an-Nisa: 59)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Ulil amri yang dimaksud dalam ayat adalah para ulama dan penguasa.
Akan tetapi, sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin di berbagai
forum melakukan <em>ghibah </em>dan <em>namimah </em>terhadap penguasa.
Mereka menyingkap dan mengungkap kesalahan-kesalahan mereka. Padahal
kalau dia mau melihat kekurangan dan kesalahan dirinya sendiri, niscaya
lebih banyak daripada kesalahan penguasa yang dia ungkapkan. Cukuplah
bagi seseorang mendapatkan dosa jika dia memberitakan semua yang
didengarnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Amat disayangkan pula, anak-anak duduk di majelis yang semacam ini.
Mereka menyerap ucapan seperti ini dan tumbuh dewasa di atas kebencian
terhadap para ulama dan penguasanya. Semua ini akan menjadi sebab
timbulnya kerusakan, munculnya tuduhan bid’ah atau fasik terhadap ulama
dan penguasa tanpa dilandasi ilmu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Seringkali ucapan yang dinukil tentang ulama dan penguasa tersebut
adalah kedustaan dan kebohongan, tanpa ada hujah dan bukti. Itu
semata-mata propaganda musuh Islam dan musuh akidah yang murni ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz <em>rahimahullah</em> pernah berkata,
“Bukan merupakan manhaj salaf, perbuatan menyebarkan aib-aib penguasa
dan menyebut-nyebutnya di atas mimbar. Ini akan menyeret pada
penentangan serta keengganan untuk mendengar dan menaati penguasa dalam
hal yang ma’ruf. Perbuatan tersebut juga akan menyebabkan sikap
memberontak yang amat berbahaya dan sama sekali tak ada manfaatnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
“Jalan yang ditempuh oleh para salaf adalah menasihati penguasa
secara empat mata, menulis surat kepada mereka, atau menyampaikannya
melalui para ulama yang dapat menyampaikan hal itu kepada penguasa,
sehingga ulama tersebut bisa mengarahkan sang penguasa pada kebaikan.” (<em>al-Ma’lum</em> <em>min Wajibil ‘Alaqah bainal Hakim wal</em> <em>Mahkum, </em>hlm. 22)</div>
<div style="text-align: justify;">
Manhaj salaf dalam menyikapi kesalahan penguasa adalah tidak
mengingkari kemungkaran penguasa secara terbuka, tidak pula menyebarkan
kesalahan-kesalahan penguasa di hadapan banyak orang. Sebab tindakan
tersebut bisa menyeret pada berbagai hal buruk yang lebih besar, dan
berujung pemberontakan kepada penguasa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pernah ada yang bertanya kepada Usamah bin Zaid <em>radhiallahu ‘anhu</em>, “Mengapa Anda tidak menemui Utsman untuk menasihatinya?”</div>
<div style="text-align: justify;">
Usamah pun menjawab, “Apakah kalian anggap aku ini harus
memperdengarkan kepada kalian jika aku menasihatinya? Sungguh, aku telah
menasihatinya empat mata. Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang
membuka (secara terang-terangan, -ed.) suatu perkara!” (Dikeluarkan <strong>al-Imam Ahmad </strong>dalam <em>al-Musnad,</em> 36/117, 21784, <strong>al-Bukhari </strong>no. 3267, <strong>Muslim </strong>no. 2989; dan lafadz ini dalam riwayat Muslim)</div>
<div style="text-align: justify;">
Diterangkan oleh al-Qadhi ‘Iyadh <em>rahimahullah, </em>“Yang dimaksud oleh Usamah, beliau tidak ingin membuka pintu <em>mujaharah </em>(terang-terangan)
mengingkari penguasa, karena mengkhawatirkan berbagai dampak buruknya.
Beliau justru bersikap lemah-lembut dan menasihatinya secara diam-diam.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebab, nasihat dengan cara seperti ini lebih layak diterima.” (Dinukil dalam <em>Fathul Bari, </em>13/67, 7098)</div>
<div style="text-align: justify;">
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin <em>rahimahullah</em>
juga menjelaskan, “Ada orang-orang yang setiap majelisnya berisi
pembicaraan jelek terhadap penguasa, menjatuhkan kehormatan mereka,
menyebarkan keburukan dan kesalahan mereka, tanpa memedulikan sama
sekali berbagai kebaikan dan kebenaran yang ada pada penguasa tersebut.
Tidak diragukan lagi, melakukan cara-cara seperti ini dan menjatuhkan
kehormatan penguasa tidak akan menambah apa-apa selain memperberat
masalah.</div>
<div style="text-align: justify;">
“Cara seperti ini tidak bisa memberikan solusi dan tidak melenyapkan
kezaliman. Ia justru hanya menambah musibah bagi suatu negeri,
menimbulkan kebencian dan antipati terhadap pemerintah, serta
memunculkan keengganan untuk melaksanakan perintah penguasa yang
seharusnya wajib ditaati.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Tidaklah kita ragukan bahwa terkadang pemerintah melakukan hal-hal
yang negatif atau berbuat kesalahan, seperti halnya anak Adam yang
lainnya. Setiap anak Adam pasti banyak berbuat kesalahan, dan
sebaik-baik orang yang banyak salah adalah yang banyak bertobat
(sebagaimana yang disabdakan Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>).</div>
<div style="text-align: justify;">
Kita pun tidak menyangsikan bahwa kita tidak boleh mendiamkan seorang
pun yang berbuat kesalahan. Semestinya kita menunaikan kewajiban
nasihat bagi Allah <em>‘azza wa jalla</em>, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah muslimin, serta bagi seluruh kaum muslimin sesuai kemampuan kita.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Apabila kita melihat kesalahan penguasa, kita sampaikan secara
langsung, baik melalui lisan maupun tulisan yang ditujukan kepada mereka
(bukan dengan mengumbar aib mereka di hadapan khalayak, di
mimbar-mimbar atau media massa), menasihati mereka dengan menempuh jalan
yang paling dekat untuk menjelaskan kebenaran kepada mereka dan
menerangkan kesalahan mereka. Kemudian kita beri nasihat, kita ingatkan
kewajiban mereka agar menunaikan dengan sempurna hak orang-orang yang
ada di bawah kekuasaan mereka dan menghentikan kezaliman mereka terhadap
rakyatnya.” (<em>Wujubu Tha’atis Sulthan fi Ghairi</em> <em>Ma’shiyatir Rahman</em>, hlm.23—24)</div>
<div style="text-align: justify;">
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan <em>hafizhahullah</em> menerangkan, “Membicarakan aib penguasa adalah perbuatan <em>ghibah </em>dan <em>namimah</em>, di mana keduanya adalah keharaman terbesar setelah syirik. Apalagi jika <em>ghibah </em>atau <em>namimah </em>itu
ditujukan pada ulama dan penguasa, ini lebih parah lagi. Sebab, bisa
menyeret pada berbagai kerusakan: memecah-belah persatuan, buruk sangka
terhadap pemerintah, dan menumbuhkan pesimisme serta keputusasaan pada
diri rakyat.” (<em>al-Ajwibah al-Mufidah ‘an</em> <em>As’ilatil Manahijil Jadidah, </em>hlm. 60)</div>
<div style="text-align: justify;">
Tentang masalah ini, para ulama Ahlus Sunnah—baik yang terdahulu maupun sekarang—berdalil dengan hadits-hadits dari Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, di antaranya:</div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Dari Ibnu ‘Abbas <em>radhiallahu ‘anhu</em>, beliau mengatakan bahwa Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> pernah bersabda,</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
<strong> </strong><span style="color: blue; font-size: 12pt;"><strong>مَنْ</strong> <strong>رَأَى</strong> <strong>مِنْ</strong> <strong>أَمِيرِهِ</strong> <strong>شَيْئًا</strong> <strong>يَكْرَهُهُ</strong> <strong>فَلْيَصْبِرْ،</strong> <strong>فَإِنَّهُ</strong> <strong>مَنْ</strong> <strong>فَارَقَ</strong> <strong>الْجَمَاعَةَ</strong> <strong>شِبْرًا</strong> <strong>فَمَاتَ،</strong> <strong>مَاتَ</strong> <strong>مِيتَةً</strong> <strong>جَاهِلِيَّةً</strong></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<em>“Barang siapa melihat pada penguasanya sesuatu yang dia benci,
hendaknya dia bersabar. Sebab, orang yang memisahkan diri dari jamaah
(penguasa) satu jengkal saja lalu dia mati, matinya seperti mati orang
jahiliah.”<a href="http://asysyariah.com/mengajari-anak-mencintai-pemerintah-muslim/#_ftn1" name="_ftnref1" target="_top"><strong>[1]</strong></a></em></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<ol start="2" style="text-align: justify;">
<li>Dari ‘Iyadh bin Ghunm <em>radhiallahu ‘anhu</em>, beliau berkata bahwa Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> pernah bersabda,</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue; font-size: 12pt;"><strong>مَنْ</strong> <strong>أَرَادَ</strong> <strong>أَنْ</strong> <strong>يَنْصَحَ</strong> <strong>لِذِي</strong> <strong>السُّلْطَانِ</strong> <strong>فَلَا</strong> <strong>يُبْدِ</strong> <strong>لَهُ</strong> <strong>عَلَانِيَةً،</strong> <strong>فَلْيَأْخُذْ</strong> <strong>بِيَدِهِ</strong> <strong>فَإِنْ</strong> <strong>سَمِعَ</strong> <strong>مِنْهُ</strong> <strong>فَذَلِكَ،</strong> <strong>وَإِ</strong> <strong>كَانَ</strong> <strong>أَدَّى</strong> <strong>الَّذِي</strong> <strong>عَلَيْهِ</strong></span></div>
<div style="text-align: justify;">
“<em>Barang siapa ingin menasihati penguasa, janganlah dia sampaikan
secara terbuka. Hendaknya dia gamit tangan penguasa itu (untuk
menasihatinya secara diam-diam). Jika penguasa itu mau mendengar
(nasihatnya –pen.), itulah yang diharapkan. Jika tidak, dia telah
menunaikan kewajibannya.”<a href="http://asysyariah.com/mengajari-anak-mencintai-pemerintah-muslim/#_ftn2" name="_ftnref2" target="_top"><strong>[2]</strong></a></em></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<ol start="3" style="text-align: justify;">
<li>Dari Anas bin Malik <em>radhiallahu ‘anhu</em>, beliau berkata,</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue; font-size: 12pt;"><strong>نَهَانَا</strong> <strong>كُبَرَاؤُنَا</strong> <strong>مِنْ</strong> <strong>أَصْحَابِ</strong> <strong>رَسُولِ</strong> <strong>اللهِ،</strong> <strong>قَالُوا</strong> <strong>:</strong><strong>قَالَ</strong> <strong>رَسُولُ</strong> <strong>اللهِ</strong><strong>:</strong><strong> لاَ</strong> <strong>تَسُبُّوا</strong> <strong>أُمَرَاءَكُمْ،</strong> <strong>وَ</strong> <strong>تَغُشُّوهُمْ،</strong> <strong>وَ</strong> <strong>تُبْغِضُوهُمْ،</strong> <strong>وَاتَّقُوا</strong> <strong>اللهَ،</strong> <strong>وَاصْبِرُوا</strong> <strong>فَإِنَّ</strong> <strong>الْأَمْرَ</strong> <strong>قَرِيبٌ</strong></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<em>“Dahulu kami dilarang oleh para tokoh kami dari kalangan sahabat Rasulullah </em><em>shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> <em>bersabda,
‘Jangan kalian mencela penguasa kalian, jangan mengkhianati mereka, dan
jangan pula membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah dan
bersabarlah, karena urusannya dekat’.”<a href="http://asysyariah.com/mengajari-anak-mencintai-pemerintah-muslim/#_ftn3" name="_ftnref3" target="_top"><strong>[3]</strong></a></em></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<ol start="4" style="text-align: justify;">
<li>Dari Ziyad al-‘Ad i , beliau menceritakan, “Aku pernah bersama Abu
Bakrah di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang saat itu sedang berkhutbah
sembari mengenakan pakaian sutra.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Abu Bilal berkata, ‘Coba kalian lihat pimpinan kita, dia mengenakan pakaian orang-orang fasik!’</div>
<div style="text-align: justify;">
Abu Bakrah pun menyahut, ‘Diam! Aku pernah mendengar Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: blue; font-size: 12pt;"><strong>مَنْ</strong> <strong>أَهَانَ</strong> <strong>سُلْطَانَ</strong> <strong>اللهِ</strong> <strong>فِي</strong> <strong>الدُّنْيَا</strong> <strong>أَهَانَهُ</strong> <strong>اللهُ</strong></span></div>
<div style="text-align: justify;">
“<em>Barang siapa menghinakan penguasa Allah di dunia, niscaya Allah akan hinakan dia.”<a href="http://asysyariah.com/mengajari-anak-mencintai-pemerintah-muslim/#_ftn4" name="_ftnref4" target="_top"><strong>[4]</strong></a></em></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian ini adalah pengajaran dari Allah <em>‘azza wa jalla</em> dan
Rasul-Nya yang harus dipahami dan diamalkan oleh setiap hamba, baik
untuk dirinya sendiri maupun untuk ditanamkan kepada anak-anaknya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>Wallahu a’lamu bish-shawab.</em></div>
<div style="text-align: justify;">
(Diterjemahkan dari kitab <em>Tarbiyatul Aulad fi Dhau’il Kitabi was Sunnah, </em>karya ‘Abdus Salam bin ‘Abdillah as-Sulaiman, hlm.39—42, oleh <strong>Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran</strong>)</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://asysyariah.com/mengajari-anak-mencintai-pemerintah-muslim/#_ftnref1" name="_ftn1" target="_top">[1]</a> <strong>HR. al-Imam Ahmad</strong> (4/290)(2487), <strong>al-Imam al-Bukhari</strong> (7053,7143), dan <strong>al-Imam Muslim</strong> (1849)(55).</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://asysyariah.com/mengajari-anak-mencintai-pemerintah-muslim/#_ftnref2" name="_ftn2" target="_top">[2]</a> <strong>HR. al-Imam Ahmad</strong> (24/48-49)(15333) dan <strong>Ibnu Abi ‘Ashim</strong> dalam <em>as-Sunnah </em>(2/507)(1096).</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://asysyariah.com/mengajari-anak-mencintai-pemerintah-muslim/#_ftnref3" name="_ftn3" target="_top">[3]</a> <strong>HR. Ibnu Abi ‘Ashim</strong> dalam <em>as-Sunnah </em>(2/474)(1015) dan <strong>al-Baihaqi</strong> dalam <em>al-Jami’ li Syu’abil Iman </em>(10/27) (7117).</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://asysyariah.com/mengajari-anak-mencintai-pemerintah-muslim/#_ftnref4" name="_ftn4" target="_top">[4]</a> <strong>HR. al-Imam Ahmad</strong> dalam <em>al-Musnad </em>(34/79)(20433), <strong>at-Tirmidzi</strong> (2224) dan lafadz ini dalam riwayat beliau. Beliau mengatakan bahwa hadits ini <em>hasan gharib</em>.</div>
</div>
Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-27366613261571797652017-08-14T05:19:00.004+07:002017-08-14T05:19:55.986+07:00Jangan mencela sunnah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghkt4kP4sY4MtW7vN9QkUp00IqGWitX1s9-jSunnlgDUeDRDlr2kexmLh8vfXTxwSVydkrm3rSw0imL_fFmbGQYznWOPg37dg3RzXT9Y6OcML-5b3S9VQvOVDH-r59PfD74Qj6_vLVn88j/s1600/growing-to-be-better-150x150.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="150" data-original-width="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghkt4kP4sY4MtW7vN9QkUp00IqGWitX1s9-jSunnlgDUeDRDlr2kexmLh8vfXTxwSVydkrm3rSw0imL_fFmbGQYznWOPg37dg3RzXT9Y6OcML-5b3S9VQvOVDH-r59PfD74Qj6_vLVn88j/s1600/growing-to-be-better-150x150.jpg" /></a></div>
Salah satu konsekuensi syahadat <em>anna muhammadar Rasulullah</em>
adalah memuliakan dan mengagungkan semua ajaran yang dibawa Oleh Nabi
`. Baik berupa sabda beliau, perbuatan beliau, kepribadian beliau dan
lain sebagainya. Sikap yang demikian ini juga masuk dalam keumuman
firman Allah ta’ala<br />
<div style="text-align: right;">
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ</div>
<em>“</em><em>Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa
mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu muncul dari
ketakwaan hati.”</em> <strong>[Q.S. Al-Hajj : 32]</strong><br />
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan
syiar-syiar Allah adalah segala bentuk perintah Allah swt. Sehingga
termasuk dalam hal ini adalah perintah untuk memuliakan dan menghidupkan
sunnah Nabi `.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Oleh karenanya perbuatan mengolok-olok atau mencela Sunnah Nabi saw
termasuk dosa besar. Dan bahkan bisa menghilangkan keimanan seseorang
secara total dan menjadi kafir. Karena memperolok-olok Sunnah Nabi `
lebih parah daripada sekedar kufurnya seseorang karena menolak ajaran
beliau. Disamping suatu kekufuran, perbuatan mengolok-olok Sunnah juga
mengandung unsur penghinaan dan penentangan terhadap ajaran beliau.
Orang yang mencela dan mengolok-olok sunah beliau termasuk kafir
mu’aridh (orang kafir yang menentang Allah dan Rasul-Nya). Sehingga
wajib bagi seorang muslim untuk menjaga lisan dan perbuatannya dari
segala bentuk pelecehan terhadap Sunnah Nabi `. Namun sangat
disayangkan, masih saja ada sebagian orang yang menganggapnya sebagai
suatu hal yang biasa. Bahkan terkadang Sunnah Nabi saw dijadikan sebagai
bahan lelucon dan tertawaan. Padahal perbuatan ini sangat berbahaya
bagi pelakunya dalam pandangan syariat Islam.<br />
Di antara bukti yang menunjukkan betapa besar dan berbahayanya
perkara tersebut adalah kisah berikut ini. Sebuah kisah yang
diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Muhammad bin Ka’ab dan Zaid bin
Aslam. Mereka menuturkan bahwa dalam peristiwa perang Tabuk ada
seseorang yang menyatakan, “Aku belum pernah melihat orang-orang seperti
para ahli pembaca Al-Qur’an. Mereka adalah orang yang perutnya paling
buncit, paling dusta ucapannya dan paling pengecut ketika berperang.”
Yang dimaksud olehnya adalah Rasulullah dan para shahabat yang ahli
membaca Al-Qur’an. Mendengar pernyataan itu, Auf bin Malik dengan
lantang menyatakan, “Engkau pendusta, kamu adalah orang munafik.
Sungguh aku akan melaporkannya kepada Rasulullah `.” Maka Auf pergi
menghadap Rasulullah ` untuk menyampaikan hal tersebut. Ternyata sebelum
ia mengabarkannya kepada Rasulullah, ayat Al-Qur’an telah turun kepada
beliau. Orang itu pun datang menemui Rasulullah `, namun beliau telah
bangkit dan menaiki untanya. Orang itu mengatakan, “Wahai Rasulullah,
Kami hanyalah berbincang-bincang sebagaimana perbincangan orang yang
bepergian jauh untuk mengisi waktu luang saja. Ibnu Umar berkata,
“Sepertinya aku melihat orang itu berpegangan sabuk pelana unta
Rasulullah ` dan kedua kakinya tersandung-sandung batu seraya
mengucapkan, “Kami hanyalah bercanda dan bermain-main.” Maka Rasulullah `
bersabda, <em>“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian
berolok-olok? Janganlah kamu mencari-cari alasan. Sungguh kalian telah
menjadi kafir setelah keimanan kalian.”</em> Nabi ` tidak menoleh dan
tidak pula menambah ucapannya. Berdasarkan hadis ini dan yang
semisalnya, para ulama menyatakan bahwa barang siapa mengolok-olok dan
melecehkan sesuatu dari Al-Qur’an atau Sunnah maka pelakunya telah kafir
dan keluar dari Islam.<br />
Para ulama pun berbeda pendapat tentang hukuman bagi orang yang
mencela Rasulullah saw. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa pelakunya
tetap dibunuh meskipun dia telah bertaubat dan menyesali perbuatannya.
Lain halnya dengan seseorang yang mencela Allah ta’ala, Jika dia
bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya maka taubatnya diterima
dan tidak dibunuh pelakunya. Karena Allah telah menegaskan tentang
ampunan-Nya yang sangat luas kepada hamba-hamba-Nya dan meliputi segala
bentuk dosa. Bahkan dosa syirik sekalipun akan diampuni jika pelakunya
benar-benar bertaubat. Adapun mencela Rasulullah ` hukumnya berbeda
karena celaan terhadap beliau terkait dengan dua hal:<br />
<ol>
<li>Terkait dengan perkara syar’i karena kedudukan beliau sebagai
seorang Nabi dan utusan Allah. Maka dari sisi tinjauan ini, seseorang
akan diampuni jika benar-benar bertaubat kepada Allah ta’ala.</li>
<li>Terkait dengan kepribadian beliau sebagai manusia utusan Allah. Maka
dari sisi tinjauan ini, pelakunya wajib dibunuh karena terkait dengan
hak pribadi beliau. Pelakunya tetap berhak mendapatkan hukuman di atas
meskipun ia telah bertaubat. Namun jenazahnya diperlakukan sebagaimana
jenazah seorang muslim. Setelah meninggal dimandikan, dikafani,
dishalati dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Di antara ulama
yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Bahkan
beliau memiliki karya tulis khusus tentang permasalahan ini yang
berjudul <em>‘As-Shorimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul’</em> (Pedang terhunus bagi pencela Rasul).</li>
</ol>
Para pembaca yang budiman, adanya sebagian ulama yang berpendangan
demikian ini menunjukkan bahwa perbuatan mencela beliau atau Sunnahnya
bukan perkara yang sepele. Sungguh seorang mukmin yang sejati tidak akan
pernah terlintas dalam benaknya untuk melakukan hal tersebut. Meskipun
dengan tujuan sekedar bercanda atau mengisi kekosongan waktu atau motif
yang lainnya. Bahkan ia akan berusaha untuk memulyakan Rasulullah ` dan
ajaran beliau secara lahir dan batin. Tentunya dengan pemulyaan yang
benar dan tidak berlebihan. Allahu A’lam<br />
http://tashfiyah.comAnwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-903940885056067562017-05-24T05:42:00.000+07:002017-05-24T05:42:08.225+07:00Beda Tawaf dan Mencium Hajar Aswad dengan Amalan Musyrikin<div class="post-meta">
<span class="published">Nov 5, 2016</span> | <a href="http://asysyariah.com/category/majalah-islam-asy-syariah-edisi-110/" rel="category tag">Asy Syariah Edisi 110</a>, <a href="http://asysyariah.com/category/hadis-nabi/" rel="category tag">Hadits</a> | </div>
<h4 style="text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSHuvCjJ5vFmd-lYc_FMPvRDlpiR1NiPqwlEzu237_eJtfSym1fh2THEIBzAySSY6J8Ar9NUvZwd7toDdP7crTfvjSfVxHn6ye0CiCpsw2ktfUcpN2I18gzpJg0lWMNJg2asp9uBBqZSCY/s1600/Hajar-Aswad.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSHuvCjJ5vFmd-lYc_FMPvRDlpiR1NiPqwlEzu237_eJtfSym1fh2THEIBzAySSY6J8Ar9NUvZwd7toDdP7crTfvjSfVxHn6ye0CiCpsw2ktfUcpN2I18gzpJg0lWMNJg2asp9uBBqZSCY/s320/Hajar-Aswad.jpg" width="227" /></a><strong><span style="color: blue;">وَ
عَنْ عَابِسِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ: رَأَيتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
يُقَبِّلُ الْحَجَرَ – يَعْنِي الْأَسْوَدَ – وَ يَقُولُ: إِنِّي
لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَنْفَعُ وَ لَا تَضُرُّ, وَ لَوْلَا أَنِّي
رَأَيتُ رَسُولَ اللهِ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ</span>.</strong></h4>
<blockquote>
<div style="text-align: justify;">
<em>Dari ‘Abis bin Rabi’ah, dia berkata, “Aku melihat Umar bin al-Khaththab </em><em>radhiallahu ‘anhu</em> <em>mencium
Hajar Aswad, lalu berkata, ‘Sungguh, aku tahu engkau adalah batu yang
tidak memberikan manfaat dan madarat. Kalau bukan karena aku melihat
Rasulullah </em><em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> <em>menciummu, aku tidak akan menciummu</em>’<em>.”</em></div>
</blockquote>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Takhrij Atsar</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Atsar Umar bin al-Khaththab <em>radhiallahu ‘anhu</em> ini <em>muttafaqun ‘alaihi</em>. Al-Bukhari meriwayatkannya dalam <em>ash-Shahih</em>, Kitab <em>al-Hajj </em>bab “ar-Raml fil Hajj” no. 1605.</div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian pula Muslim meriwayatkan dalam Kitab <em>al-Hajj, </em>bab “Istihbab Taqbil al-Hajar al-Aswad” no. 1270.</div>
<div style="text-align: justify;">
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan al-Hakim an-Naisaburi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Asy-Syaikh al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan sahih dalam <em>Shahih at-Targhib wat Tarhib.</em></div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Makna Atsar</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Perkataan Umar bin al-Khaththab <em>radhiallahu ‘anhu</em> disampaikan di hadapan banyak orang. Abu Sa’id al-Khudri <em>radhiallahu ‘anhu</em> berkata sebagaimana dalam <em>Mustadrak al-Hakim</em>,</div>
<h4 style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><strong>حَجَجْنَا</strong> <strong>مَعَ</strong> <strong>عُمَرِ</strong> <strong>بْنِ</strong> <strong>الْخَطَّابِ،</strong> <strong>فَلَمَّا</strong> <strong>دَخَلَ</strong> <strong>الطَّوَافَ</strong> <strong>اسْتَقْبَلَ</strong> <strong>الْحَجَرَ</strong> <strong>فَقَالَ</strong><strong>: </strong><strong>إِنِّي</strong> <strong>أَعْلَمُ</strong> <strong>أَنَّك</strong> <strong>حَجَرٌ</strong> <strong>لَا</strong> <strong>تَضُرُّ</strong> <strong>وَلَا</strong> <strong>تَنْفَعُ،</strong> <strong>وَلَوْلَا</strong> <strong>أَنِّي</strong> <strong>رَأَيْتُ رَسُولَ</strong> <strong>اللهِ</strong><strong> ) </strong><strong>قَبَّلَكَ</strong><strong> ( </strong><strong>مَا</strong> <strong>قَبَّلْتُكَ؛</strong> <strong>ثُمَّ</strong> <strong>قَبَّلَهُ</strong></span></h4>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>Kami haji bersama Umar bin al-Khaththab </em><em>radhiallahu ‘anhu</em><em>.
Ketika beliau mulai thawaf, beliau menghadap Hajar Aswad seraya
berkata, “Sungguh, aku tahu engkau adalah batu yang tidak memberikan
mudarat, tidak pula manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah </em><em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em><em> menciummu, aku tidak akan menciummu.” </em>Kemudian beliau menciumnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Umar bin al-Khaththab <em>radhiallahu ‘anhu</em> adalah sosok yang sangat gigih menjaga tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Beliau mengucapkan kalimat ini di tengah keramaian agar didengar ucapannya dan tersebar di tengah-tengah manusia.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika itu, banyak orang yang baru saja
keluar dari peribadatan dan pengagungan terhadap batu-batu (berhala).
Mereka baru keluar dari keyakinan bahwa bebatuan memberikan manfaat dan
mudarat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Umar bin al-Khaththab <em>radhiallahu ‘anhu</em>
khawatir sebagian mereka yang baru masuk Islam itu tidak memahami
(maksud dari mencium hajar Aswad –pen.). Karena itu, beliau mengucapkan
kalimat tersebut.<a href="http://asysyariah.com/beda-tawaf-dan-mencium-hajar-aswad-dengan-amalan-musyrikin/#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a></div>
<div style="text-align: justify;">
Umar al-Faruq <em>radhiallahu ‘anhu</em>
mengingatkan bahwa mencium Hajar Aswad tidak sama dengan perbuatan para
penyembah batu yang mengusap dan mencium berhala-berhala mereka.
Mencium Hajar Aswad bukan untuk menyembahnya atau meyakini bahwa dia
memberikan manfaat atau mudarat, melainkan semata-mata mengikuti sunnah
Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, sebagaimana diperintahkan oleh Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>,</div>
<h3 style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><strong>وَمَآ
ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ</strong></span> ٧</h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Apa yang
diberikan oleh Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” </em><strong>(al-Hasyr: 7)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Thawaf dan Mencium Batu Hanya di Ka’bah</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Di seluruh belahan bumi pasti ada kaum
muslimin yang melakukan shalat, zakat, puasa, atau ibadah lainnya.
Namun, tidak di setiap tempat ada orang yang beribadah kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> dengan melakukan thawaf atau mencium dan mengusap batu (Hajar Aswad).</div>
<div style="text-align: justify;">
Ibadah thawaf, mengelilingi Ka’bah tujuh
putaran, hanya dilakukan di Ka’bah dan tidak akan dijumpai di mana pun
di muka bumi ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> lah yang memerintah kita menuju Ka’bah. Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> pula yang menjadikan Ka’bah sebagai tempat ibadah dan kiblat bagi kaum muslimin. Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> berfirman,</div>
<h3 style="text-align: right;">
<strong><span style="color: green;">وَلۡيَطَّوَّفُواْ بِٱلۡبَيۡتِ ٱلۡعَتِيقِ</span> ٢ </strong></h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“… dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” </em><strong>(al-Hajj: 29)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> juga berfirman,</div>
<h3 style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><strong>جَعَلَ ٱللَّهُ ٱلۡكَعۡبَةَ ٱلۡبَيۡتَ ٱلۡحَرَامَ قِيَٰمٗا لِّلنَّاسِ</strong></span></h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Allah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia….” </em><strong>(al-Maa’idah: 97)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> juga berfirman,</div>
<h3 style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><strong>فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ </strong></span></h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” </em><strong>(al-Baqarah: 144)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian pula mengusap dan mencium,
tidaklah dilakukan kecuali di Ka’bah. Hajar Aswad disunnahkan untuk
dicium dan diusap. Adapun rukun Yamani disyariatkan untuk diusap saja.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sekali lagi, ibadah kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>
dengan cara thawaf atau mengusap dan mencium hanya dilakukan di Ka’bah.
Apabila dijumpai sekelompok manusia yang mengelilingi sebuah tempat
dengan niat <em>taqarrub </em>kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> atau mencium suatu benda dengan niat ibadah kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>, sungguh perbuatan ini adalah kebid’ahan, dan tertolak di sisi Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>. Bahkan, itu adalah kesyirikan atau jalan yang mengantarkan kepada kesyirikan. Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda,</div>
<h4 style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><strong>مَنْ</strong> <strong>عَمِلَ</strong> <strong>عَمَلًا</strong> <strong>لَيْسَ</strong> <strong>عَلَيْهِ</strong> <strong>أَمْرُنَا</strong> <strong>فَهُوَ</strong> <strong>رَدٌّ</strong></span></h4>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
“<em>Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka itu tertolak</em>.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<strong><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjU1-3LEWJFVdYuHp6mg30dbE01mi6u25Fkfaw7k9bCaeGMzOQlWm0YqnuMq-0Cq2YyMQdOArXJNHJgFWrjFI7uHHErWqmVhoUDdUV41MRycO9JXgZ8kNuHXQ-ElCOgvL0eF6yWBuTZmu6q/s1600/kabah-725x375.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="165" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjU1-3LEWJFVdYuHp6mg30dbE01mi6u25Fkfaw7k9bCaeGMzOQlWm0YqnuMq-0Cq2YyMQdOArXJNHJgFWrjFI7uHHErWqmVhoUDdUV41MRycO9JXgZ8kNuHXQ-ElCOgvL0eF6yWBuTZmu6q/s320/kabah-725x375.jpg" width="320" /></a></strong></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<strong>Apa yang Membedakan?</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Di sebuah majelis, salah seorang hadirin bertanya, <em>“Ada orang yang</em> <em>mengatakan bahwa agama Islam dan</em> <em>agama musyrikin sama saja. Buktinya,</em> <em>kaum musyrikin menyembah berhala-berhala</em> <em>dari batu, sementara kaum</em> <em>muslimin juga mengelilingi batu (Ka’bah)</em> <em>dan menciumnya (Hajar Aswad).”</em></div>
<div style="text-align: justify;">
Pertanyaan yang muncul dari seorang
muslim ini sangat menyedihkan. Inilah kenyataan pahit. Kebodohan melanda
umat. Banyak kaum muslimin tidak bisa membedakan antara dua amalan yang
secara lahiriah sama, yaitu mencium, mengusap, atau mengelilingi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Seorang pendeta Nasrani berkata dalam sebuah bukunya untuk menghujat Islam, <em>“Pada kenyataannya sebagian besar</em> <em>pengikut agama bangsa Arab (yakni</em> <em>Islam </em>–pen.<em>) tidak mengetahui dan</em> <em>tidak menyadari bahwa yang disembah</em> <em>dan dipuja pada hakikatnya batu hitam</em> <em>Hajar Aswad. Penyembahan pada batu</em> <em>Hajar Aswad ini baru disadari pada</em> <em>waktu pengikut agama bangsa Arab</em> <em>ini melakukan rukun Islam yang kelima</em> <em>yaitu pergi ke Ka’bah di Makkah dan</em> <em>harus menyembah dan mencium batu</em> <em>hitam Hajar Aswad tersebut. Pada saat</em> <em>mencium batu hitam Hajar Aswad ini</em> <em>barulah orang tersadar bahwa yang</em> <em>dilakukan tidak lain adalah pekerjaan</em> <em>syirik, yaitu mempersekutukan Allah</em> <em>dengan batu hitam tersebut.”</em></div>
<div style="text-align: justify;">
Wajar ketika seorang pendeta, musuh Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>
dan Rasul-Nya menganggap sama antara mencium Hajar Aswad dan mencium
berhala. Demikian pula menganggap sama antara thawaf di kuburan dan
thawaf di Ka’bah. Akan tetapi, menjadi tidak wajar ketika seorang muslim
tidak bisa membedakan antara mencium Hajar Aswad dan mencium kuburan
para wali.</div>
<div style="text-align: justify;">
Perbedaan antara keduanya sebenarnya sangat jelas. Mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad diperintahkan oleh Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> dan Rasul-Nya. Adapun mengelilingi kuburan para wali sama sekali tidak diperintahkan oleh Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> dan Rasul-Nya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar
Aswad tidak diiringi dengan keyakinan bahwa kedua makhluk ini memberikan
manfaat atau mudarat. Berbeda halnya dengan mereka yang mengelilingi
kuburan para wali.</div>
<div style="text-align: justify;">
Mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad bukan kesyirikan, melainkan bentuk pengagungan dan peribadatan kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>.</div>
<div style="text-align: justify;">
Apa pendapat Anda ketika Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> memerintah kita untuk menempelkan tujuh anggota sujud<a href="http://asysyariah.com/beda-tawaf-dan-mencium-hajar-aswad-dengan-amalan-musyrikin/#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a>
ke tanah saat kita sujud? Apa niat kita ketika bersujud dan menempelkan
muka ke tanah? Menyembah tanah yang kita cium atau mengagungkan Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> dengan melaksanakan perintah-Nya?!</div>
<div style="text-align: justify;">
Siapakah yang dikatakan beribadah kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>, orang yang tunduk pada perintah Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> untuk menempelkan mukanya ke tanah dalam shalat ataukah yang enggan melaksanakan perintah tersebut?</div>
<div style="text-align: justify;">
Sama halnya dengan thawaf dan mencium
Hajar Aswad. Tidak untuk menyembah Ka’bah dan Hajar Aswad, tetapi
semata-mata melaksanakan perintah Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> dan Rasul-Nya. Seandainya kita mengingkari perintah tersebut, niscaya kita tergolong orang yang kafir kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sungguh, Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> telah mewajibkan kita menunaikan Haji ke Ka’bah. Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> berfirman,</div>
<h3 style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><strong>إِنَّ أَوَّلَ بَيۡتٖ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكٗا وَهُدٗى لِّلۡعَٰلَمِينَ</strong></span> ٩٦<span style="color: green;"> <strong>فِيهِ
ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ
ءَامِنٗاۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ
إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ
ٱلۡعَٰلَمِينَ</strong></span> ٩٧</h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Sesungguhnya
rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah
Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk
bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di
antaranya) maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah itu)
menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya
Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” </em><strong>(Ali Imran: 96—97)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> pula yang memerintahkan kita untuk mengelilingi Ka’bah. Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> berfirman,</div>
<h3 style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><strong>وَلۡيَطَّوَّفُواْ بِٱلۡبَيۡتِ ٱلۡعَتِيقِ</strong></span> ٢٩</h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“… dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” </em><strong>(al-Hajj: 29)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Perintah dari Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> dan Rasul-Nya untuk mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad demikian jelas. Pantaskah seorang hamba menolak perintah Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> ini?</div>
<div style="text-align: justify;">
Kita tentu ingat kisah penciptaan Adam <em>‘alaihissalam</em>. Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> memerintah para malaikat untuk sujud kepada Adam. Sujud yang dimaksud tentu saja sujud penghormatan. Demikianlah syariat Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>.</div>
<div style="text-align: justify;">
Akan tetapi, Iblis enggan memberi sujud penghormatan kepada Adam. Jadilah ia kafir karena tidak melaksanakan perintah Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>. Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> berfirman,</div>
<h3 style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><strong>وَإِذۡ
قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ
إِبۡلِيسَ أَبَىٰ وَٱسۡتَكۡبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ</strong></span> ٣٤</h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>Dan (ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam,”
maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir. </em><strong>(al-Baqarah: 34)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Samakah sujudnya malaikat kepada Adam dengan sujudnya para penyembah berhala di hadapan berhala yang mereka sembah?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<strong><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTogckQPkYVwahCPbFkCMePRmVhSHpFY7gTfh4E_Anjh_ZX4MqaFzHuWetnL1vtFsIVpD76LziiRc4Ri3y5ssE52N2t07A13OPoyPGWDr2ePv2bVxkFCd0_hyF6Q4pM7LOyNdKYF6AqNjc/s1600/Hajar-Aswad.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTogckQPkYVwahCPbFkCMePRmVhSHpFY7gTfh4E_Anjh_ZX4MqaFzHuWetnL1vtFsIVpD76LziiRc4Ri3y5ssE52N2t07A13OPoyPGWDr2ePv2bVxkFCd0_hyF6Q4pM7LOyNdKYF6AqNjc/s320/Hajar-Aswad.jpg" width="227" /></a></strong></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Bukan Karena Hajar Aswad Memberi Manfaat</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Seorang muslim mencium Hajar Aswad dan mengelilingi Ka’bah sematamata karena mengikuti perintah Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>
dan Rasul-Nya. Itulah hakikat tauhid. Ia tidak menciumnya lantaran
meyakini bahwa makhluk yang berupa batu hitam tersebut bisa memberi
manfaat atau mudarat. Sama sekali tidak!</div>
<div style="text-align: justify;">
Perhatikan ucapan Umar bin al-Khaththab <em>radhiallahu ‘anhu</em>,</div>
<h4 style="text-align: right;">
<strong>إِنِّي</strong> <strong>لَأَعْلَمُ</strong> <strong>أَنَّكَ</strong> <strong>حَجَرٌ</strong> <strong>لَا</strong> <strong>تَنْفَعُ</strong> <strong>وَلاَ</strong> <strong>تَضُرُّ،</strong> <strong>وَلَوْلَا</strong> <strong>أَنِّي</strong> <strong>رَأَيْتُ</strong> <strong>رَسُولَ</strong> <strong>اللهِ يُقَبِّلُكَ</strong> <strong>مَا</strong> <strong>قَبَّلْتُكَ</strong></h4>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Sungguh aku tahu engkau adalah batu, yang tidak bisa memberi manfaat dan mudarat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah </em><em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> <em>menciummu, aku tidak akan menciummu.”</em></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahkan, seorang yang masih berada di atas fitrah akan menilai bahwa semua amaliah ibadah haji adalah untuk mentauhidkan Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>, dan mengesakan peribadatan untuk-Nya. Inilah inti ibadah haji.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di akhir makalah ini, mari kita ikuti perjalanan haji Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>.
Orang yang mencermatinya akan mengetahui bahwa semua bagian ibadah
haji, termasuk thawaf dan mengusap Hajar Aswad, tidaklah dilakukan
kecuali untuk mengagungkan Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari Madinah Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menuju Dzul Hulaifah. Dari <em>miqat </em>inilah, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> memulai ihramnya dan memperbanyak talbiyah,</div>
<h3 style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><strong>لَبَّيْكَ</strong> <strong>اللَّهُمَّ</strong> <strong>لَبَّيْكَ،</strong> <strong>لَبَّيْكَ</strong> <strong>لَا</strong> <strong>شَرِيكَ</strong> <strong>لَكَ</strong> <strong>لَبَّيْكَ،</strong> <strong>إِنَّ</strong> <strong>الْحَمْدَ</strong> <strong>وَالنِّعْمَةَ</strong> <strong>لَكَ</strong> <strong>وَالْمُلْكَ</strong> <strong>لَا</strong> <strong>شَرِيكَ</strong> <strong>لَكَ</strong></span></h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Aku sambut
panggilan-Mu ya Allah, aku sambut panggilan-Mu. Tidak ada sekutu
bagi-Mu, aku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat
adalah kepunyaan-Mu, demikian pula kekuasaan, tiada sekutu bagi-Mu.”</em></div>
<div style="text-align: justify;">
Inilah syiar yang selalu dikumandangkan
oleh orang yang menuju Masjidil Haram untuk menunaikan haji atau umrah.
Sebuah kalimat yang demikian agung.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sesampainya beliau di Ka’bah, beliau
mengusap Hajar Aswad, lalu thawaf, mengelilingi Ka’bah dengan berlari
kecil tiga putaran, dan berjalan biasa empat putaran.</div>
<div style="text-align: justify;">
Maksud dari thawaf adalah mengagungkan Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> dengan melaksanakan perintah-Nya <em>subhanahu wa ta’ala</em>. Saat thawaf, antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> berdoa kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> memohon kepada-Nya,</div>
<h3 style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><strong>رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ</strong></span> ٢٠١</h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” </em><strong>(al-Baqarah: 201)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Inilah syiar seorang muslim saat thawaf, mengagungkan Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> dan memohon kepada-Nya <em>subhanahu wa ta’ala</em> dengan penuh ketundukan; tidak memohon kepada Ka’bah atau Hajar Aswad.</div>
<div style="text-align: justify;">
Betapa jauh perbedaan antara seorang
muslim saat mengelilingi Ka’bah dan para penyembah kuburan saat
menundukkan mata di hadapan kuburan wali. Mereka menangis dengan penuh
harap kepada yang dikubur, thawaf mengelilingi kuburan seraya berkata,
“Wahai Sayyid Badawi, tolonglah kami!”</div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah thawaf, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menuju Maqam Ibrahim, lalu menunaikan shalat dua rakaat dengan membaca surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlash.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dua surat yang beliau baca ini menunjukkan kesempurnaan sifat Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>, pengagungan terhadap-Nya <em>subhanahu wa ta’ala</em>, dan pengingkaran kepada peribadatan kepada selain-Nya <em>subhanahu wa ta’ala</em>.</div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah shalat beliau kembali lagi ke
Hajar Aswad dan mengusapnya. Kemudian beliau keluar dari pintu menuju
Shafa. Ketika sudah mendekati Shafa, beliau membaca,</div>
<h3 style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><strong>إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ</strong></span></h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk syi’ar-syiar Allah.” </em><strong>(al-Baqarah: 158)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
dan mengucapkan,</div>
<h4 style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><strong>أَبْدَأُ</strong> <strong>بِمَا</strong> <strong>بَدَأَ</strong> <strong>اللهُ</strong> <strong>بِهِ</strong></span></h4>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Aku mulai dengan apa yang Allah </em><em>subhanahu wa ta’ala</em> <em>mulai dengannya</em>.”</div>
<div style="text-align: justify;">
Di bukit Shafa, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menghadap Ka’bah, lalu membaca kalimat tauhid dan takbir, seraya mengucapkan,</div>
<h4 style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><strong>لاَ</strong> <strong>إِلَهَ</strong> <strong>إِلاَّ</strong> <strong>للهُ</strong> <strong>وَحْدَهُ</strong> <strong>لَا</strong> <strong>شَرِيكَ</strong> <strong>لَهُ،</strong> <strong>لَهُ</strong> <strong>الْمُلْكُ</strong> <strong>وَلَهُ</strong> <strong>الْحَمْدُ</strong><strong> )</strong><strong>يُحْيِي</strong> <strong>وَيُمِيتُ</strong><strong>( </strong><strong>وَهُوَ</strong> <strong>عَلَى</strong> <strong>كُلِّ</strong> <strong>شَيْءٍ</strong> <strong>قَدِيرٌ،</strong> <strong>لاَ</strong> <strong>إِلَهَ</strong> <strong>إِلاَّ</strong> <strong>اللهُ</strong> <strong>وَحْدَهُ</strong> <strong>لَا</strong> <strong>شَرِيكَ</strong> <strong>لَهُ</strong> <strong>أَنْجَزَ</strong> <strong>وَعْدَهُ</strong> <strong>وَنَصَرَ</strong> <strong>عَبْدَهُ</strong> <strong>وَهَزَمَ</strong></span> <strong>الْأَحْزَابَ</strong> <strong>وَحْدَهُ</strong></h4>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Tiada ilah yang
hak selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala
kerajaan, bagi-Nya segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Tiada ilah yang hak selain Allah Yang Esa, yang menepati janji-Nya,
menolong hamba-Nya, dan menghancurkan golongan-golongan musuh
sendirian.”</em></div>
<div style="text-align: justify;">
Doa seperti itu beliau ulangi tiga kali.
Kemudian beliau turun menuju Marwah. Beliau lakukan seperti apa yang
beliau lakukan di Shafa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di hari Tarwiyah, 8 Dzulhijjah tahun 10 H, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan para sahabat berangkat menuju Mina. Beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menunaikan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh.</div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah subuh di Mina, 9 Dzulhijjah,
beliau berhenti sejenak hingga matahari terbit, lalu berangkat menuju
Arafah. Dalam semua perjalanan, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan para sahabat terus mengumandangkan talbiyah, kalimat tauhid.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di Arafah, beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> wukuf sejak tergelincir matahari hingga terbenamnya. Selama itu beliau berdoa kepada Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>, menengadahkan kedua tangan seraya memperbanyak kalimat tauhid,</div>
<h4 style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><strong>لاَ</strong> <strong>إِلَهَ</strong> <strong>إِلاَّ</strong> <strong>للهُ</strong> <strong>وَحْدَهُ</strong> <strong>لَا</strong> <strong>شَرِيكَ</strong> <strong>لَهُ،</strong> <strong>لَهُ</strong> <strong>الْمُلْكُ</strong> <strong>وَلَهُ</strong> <strong>الْحَمْدُ</strong> <strong>وَهُوَ</strong> <strong>عَلَى</strong> <strong>كُلِّ</strong> <strong>شَيْءٍ</strong> <strong>قَدِيرٌ</strong></span></h4>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Tiada ilah yang
hak selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala
kerajaan, bagi-Nya segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”</em></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari Arafah beliau menuju Muzdalifah.
Selama perjalanan beliau terus mengumandangkan syiar tauhid, talbiyah.
Di Mudzalifah, beliau menunaikan shalat Maghrib dan Isya’ dengan sekali
azan dan dua kali <em>iqamat</em>. Beliau tidak melakukan shalat apa pun
di antara keduanya. Kemudian beliau berbaring hingga fajar terbit dan
menunaikan shalat Subuh di Muzdalifah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah shalat Subuh di Muzdalifah,
tepatnya di Masy’aril Haram, beliau berdiri lama menghadap kiblat,
berdoa, bertakbir, dan bertahlil. Beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>
tetap berada di tempat itu hingga terang benderang. Setelah itu, beliau
bertolak sebelum matahari terbit menuju Mina untuk menunaikan amalan di
hari Nahr.</div>
<div style="text-align: justify;">
Beliau mengawali amalan hari Nahr dengan
melempar Jumrah Aqabah, tujuh kali lemparan dengan batu-batu kecil.
Setiap lemparan beliau iringi dengan takbir, mengagungkan Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>.</div>
<div style="text-align: justify;">
Selanjutnya beliau menuju tempat penyembelihan. Pada hari itu, beliau menyembelih 100 ekor unta untuk Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>.
Sejumlah 63 ekor unta beliau sembelih dengan tangan beliau yang mulia,
sedangkan 37 ekor lainnya beliau wakilkan penyembelihannya kepada Ali
bin Abi Thalib <em>radhiallahu ‘anhu</em>.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pembaca, inilah hamba Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> yang paling tunduk di hadapan-Nya. Beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menunaikan semua peribadatan untuk Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>. Beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menunaikan amalan menyembelih <em>hadyu </em>untuk Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em> yang Dia <em>subhanahu wa ta’ala</em> perintahkan,</div>
<h3 style="text-align: right;">
<span style="color: green;"><strong>إِنَّآ أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ</strong></span> ١ <span style="color: green;"> <strong>فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ</strong></span> ٢</h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<em>“Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dari itu,
dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” </em><strong>(al-Kautsar: 1—2)</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
Lalu beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> menaiki kendaraan menuju Baitullah untuk melakukan thawaf <em>ifadhah </em>dan shalat Zhuhur di Makkah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Saudaraku, haji adalah sebuah ibadah yang sangat agung untuk Allah <em>subhanahu wa ta’ala</em>. Coba renungkan kembali perjalanan haji Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> di atas.</div>
<div style="text-align: justify;">
Adakah orang yang berakal mengatakan
bahwa ibadah haji seperti perbuatan kaum musyrikin, karena di dalamnya
ada thawaf mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad? Tidak ada yang
mengatakan seperti itu kecuali seorang yang tidak mengerti tauhid.</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>Allahul musta’an.</em></div>
<h4 style="text-align: right;">
<strong>وَصَلَّى</strong> <strong>اللهُ</strong> <strong>عَلَى</strong> <strong>مُحَمَّدٍ</strong> <strong>وَعَلَى</strong> <strong>آلِهِ</strong> <strong>وَصَحْبِهِ</strong> <strong>وَسَلَّمَ</strong> <strong>وَالْحَمْدُ</strong> <strong>رَبِّ</strong> <strong>الْعَالَمِينَ</strong></h4>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Ditulis oleh<strong> al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal Lc.</strong></div>
Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-36100584068423572062017-05-13T05:25:00.003+07:002017-05-13T05:28:54.657+07:00Bersumpah Dengan Selain Nama Allah Termasuk Syirik<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDvx9KUhT1SPalbBpVH70njrqsk-XbJIQcdGXZjLXC3HUpqd_oxJBW0sONc5sICHTMTHKF4dyUV9hK-2EBVvCAerJPr4KFdQC5wWxu5l2ojyEy4CT5ovWbEJp7egBJ7t7xSh-7T4ps4x8Z/s1600/1680_Archery-150x150.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDvx9KUhT1SPalbBpVH70njrqsk-XbJIQcdGXZjLXC3HUpqd_oxJBW0sONc5sICHTMTHKF4dyUV9hK-2EBVvCAerJPr4KFdQC5wWxu5l2ojyEy4CT5ovWbEJp7egBJ7t7xSh-7T4ps4x8Z/s1600/1680_Archery-150x150.jpg" /></a></div>
Mengagungkan Allah ta’ala dengan sebenar-benarnya adalah sebuah
kewajiban bagi setiap muslim. Ia dituntut untuk mengagungkan Allah
dengan kalbu, lisan dan anggota tubuhnya.<br />
Salah satu bentuk pengagungan kepada Allah adalah bersumpah dengan
menggunakan Nama-Nya. Karena, definisi sumpah adalah menguatkan konteks
pembicaraan dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan. Sumpah ini dalam
ungkapan Arab disampaikan dengan redaksi yang khusus yaitu dengan
menggunakan salah satu huruf <i>qasam</i> (sumpah) yaitu ba’ (bi), wawu (wa) atau ta’ (ta). Yakni misalnya dengan mengatakan <i>Wallahi</i> (menggunakan wawu), <i>Tallahi</i> (menggunakan ta’) atau <i>Billahi</i> (menggunakan ba’) yang artinya adalah demi Allah. Tatkala seseorang menyatakan, “<i>Wallahi</i>
(Demi Allah), saya benar-benar tidak melakukannya.” Berarti Ia
bermaksud menguatkan keabsahan berita yang disampaikan dengan
menyebutkan Nama Allah ta’ala yang ia agungkan dan muliakan.<br />
<a name='more'></a><br />
<b>Sementara penganggungan merupakan salah satu amal ibadah, yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah.</b>
Dari sinilah, kita mengetahui bahwa bersumpah dengan nama Allah
merupakan ibadah. Sehingga, bersumpah dengan selain nama Allah merupakan
perbuatan syirik. Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dalam haditsnya, <i>“Barang siapa bersumpah dengan selain Allah maka ia telah kafir atau berbuat syirik.”</i> [<b>H.R. Abu Dawud</b> dengan sanad yang shahih].<br />
<b>Syirik Kecil Atau Besar?</b><br />
Pada asalnya, kesyirikan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah <i>syirik asghar</i>
(syirik kecil). Karena bersumpah dengan selain Allah termasuk
kesyirikan yang dilakukan dengan lafazh atau lisan. Secara umum orang
yang mengucapkannya tidak mempunyai niatan dalam hatinya untuk
mengagungkan selain Allah sebagaimana pengagungan terhadap-Nya.<br />
Akan tetapi, terkadang bersumpah dengan selain nama Allah bisa
menjadi syirik besar. Jika pelakunya dalam hatinya mengagungkan selain
Allah sebagaimana pengagungannya kepada Allah, bahkan lebih, maka ia
telah terjatuh dalam <i>syirik akbar</i> (syirik besar). Karena, pengagungan orang ini tidak sebatas di lisannya saja, bahkan sampai di dalam kalbunya.<br />
<blockquote>
<hr />
<div style="padding-left: 300px;">
Pada asalnya, kesyirikan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah <b><i>syirik asghar</i> </b>(syirik
kecil). Karena bersumpah dengan selain Allah termasuk kesyirikan yang
dilakukan dengan lafazh atau lisan. Secara umum orang yang
mengucapkannya tidak mempunyai niatan dalam hatinya untuk mengagungkan
selain Allah sebagaimana pengagungan terhadap-Nya.</div>
<div style="padding-left: 300px;">
Akan tetapi, terkadang bersumpah dengan selain nama Allah bisa menjadi <i><b>syirik besar</b></i>.
Jika pelakunya dalam hatinya mengagungkan selain Allah sebagaimana
pengagungannya kepada Allah, bahkan lebih, maka ia telah terjatuh dalam <i>syirik akbar</i> (syirik besar). Karena, pengagungan orang ini tidak sebatas di lisannya saja, bahkan sampai di dalam kalbunya.</div>
<hr />
</blockquote>
<b>Jangan Remehkan Syirik Kecil!</b><br />
Bersumpah dengan selain Allah adalah salah satu fenomena yang tidak
jarang terjadi di tengah kaum muslimin. Ada seseorang yang bersumpah
dengan nama orang tuanya, dengan nama Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam , malaikat atau makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Sebagian
orang berpandangan bahwa sumpah dengan selain Allah diperbolehkan karena
dalam sekian banyak ayat Al Quran Allah bersumpah dengan
makhluk-makhluk-Nya. Ini merupakan pandangan yang keliru, karena sumpah
tersebut adalah kekhususan bagi Allah ta’ala semata. Sebagai pencipta
seluruh alam semesta ini, Allah berhak untuk bersumpah dengan apapun
sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian hal itu tidak berlaku bagi
manusia dan bahkan termasuk perbuatan syirik sebagaimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam tegaskan dalam haditsnya di atas.<br />
Seorang muslim tidak sepantasnya meremehkan dosa ini meskipun
termasuk syirik kecil. Karena syirik kecil itu tidak lebih ringan dari
dosa besar. Bagaimana pun, kesyirikan dengan segala bentuknya harus
diwaspadai dan dijauhi.<br />
Perhatikanlah ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berikut
ini, “Aku bersumpah dengan nama Allah dalam keadaan dusta lebih aku
sukai daripada bersumpah secara jujur dengan menyebut nama selain
Allah.” Bukan maksud Ibnu Mas’ud membolehkan kedua perkara yang beliau
perbandingkan di atas. Jelas beliau sangat mengetahui bahwa keduanya
adalah perbuatan terlarang dalam Islam. Bahkan bersumpah dengan nama
Allah untuk mendukung suatu kedustaan adalah dosa besar. Namun demikian,
dosanya lebih ringan daripada bersumpah dalam keadaan jujur namun
dengan menyebut selain Allah. Hal ini selaras dengan pernyataan sebagian
sahabat bahwa dosa syirik kecil lebih besar daripada dosa-dosa besar.
Karena dosa syirik tidak akan terampuni ketika pelakunya meninggal dalam
keadaan belum bertobat kepada Allah. hal ini berdasarkan firman Allah
ta’ala yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik
dan mengampuni dosa selainnya.”<br />
Adapun dosa-dosa besar yang bukan kesyirikan di bawah kehendak Allah
subhanahu wata’ala. Dalam arti jika Allah berkehendak maka akan diampuni
namun jika tidak maka akan diazab sesuai dengan dosanya.<br />
Hadits di atas memberikan faedah tentang kesungguhan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam untuk menjaga kemurnian tauhid dari segala bentuk
kesyirikan. Tindakan preventif untuk menjaga kesucian tauhid tidak hanya
dalam hal keyakinan dan tindak tanduk saja. Namun dalam bertutur kata
sekalipun seseorang harus memerhatikan adab-adabnya. Jangan sampai
seseorang mengucapkan sesuatu tanpa dipertimbangkan terlebih dahulu
akibat atau dampak buruknya. Sehingga hal itu bisa membuahkan penyesalan
di dunia terlebih di akhirat nanti. Semoga Allah menggolongkan kita
sebagai hamba-hamba-Nya yang bertauhid dan menjauhkan kita dari
kesyirikan dengan segala bentuknya. Amin ya Mujibas Sailin.<br />
<b>[Ustadz Abu Hafy Abdullah]</b><br />
<b> http://tashfiyah.com</b>Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-60645907848523196952017-05-04T05:04:00.001+07:002017-05-04T05:04:08.645+07:00Sekuntum Mawar di Atas AwanSEBUAH RENUNGAN BAGI PARA PENDAKI GUNUNG<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXQczbfEktptPAGrSCxy048ULFkLO0Xy2Rz9PovNpCbg0haYvoY4vGMMly3Czfl0Ds-OlDZQBcNpuTkUYDAHXK4esrWi1Ijf9qKiQ21ktslovIfm8XA6j9eu8Cfi9BrF0fiwqy7fRCF-B1/s1600/3-150x150.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXQczbfEktptPAGrSCxy048ULFkLO0Xy2Rz9PovNpCbg0haYvoY4vGMMly3Czfl0Ds-OlDZQBcNpuTkUYDAHXK4esrWi1Ijf9qKiQ21ktslovIfm8XA6j9eu8Cfi9BrF0fiwqy7fRCF-B1/s1600/3-150x150.jpg" /></a></div>
<br />
<div style="text-align: right;">
<strong>“Di mana sih enaknya?” Pertanyaan
itu sering terlontar dari sebagian kawan yang penasaran. Dilihat di satu
sisi, mendaki gunung memang bukan hal yang begitu menarik; menyita
waktu, membuat badan linu-linu, dingin malam menusuk tulang, terik
mentari panas menghajar, belum lagi badai dan cuaca yang tak menentu.
Kalau lagi menjadi-jadi yang akan terlintas di benakmu adalah sebungkus
nasi kucing hangat di bawah temaram sinar lampu petromaks, atau selimut
tebal plus bantal empuk yang menemani hangatnya malam di kamar.</strong></div>
Namanya hobi memang nggak bisa diinterupsi. Jangan heran meski
sedemikian ‘sadis’ kondisi, para petualang sejati tak kenal kata kapok
mendaki. Sulit diungkapkan kenapa rasa rindu itu terus ada. Padahal
bukan hal mudah menyabar-nyabarkan kaki untuk terus melangkah naik dan
naik.<br />
<a name='more'></a><br />
Mendaki bukan sekadar mengolah badan. Kata orang, mendaki itu adalah
perjalanan hati. Banyak pelajaran dan inspirasi baru di setiap nafas
yang tersengal, kaki yang terluka, dan detik demi detik menghirup
kebebasan sementara. Mungkin inilah yang membuat keinginan mendaki terus
ada selepas ‘turun ke bumi’.<br />
<br />
<strong>Alam Mengajakmu Berbicara</strong><br />
Sejuknya udara, hijau segarnya pepohonan, dan kicauan burung hutan
menyambut awal perjalanan. Saat di mana semangat itu sedang menggebu,
saat kamu melihat tanda-tanda kebesaran-Nya. Saat itu segala yang kamu
rasakan begitu selaras. Mata ini merasa sejuk dengan hijaunya alam, dada
ini serasa begitu luas dan puas menghirup udara bebas, dan telinga ini
merasakan keheningan luar biasa, yang tak akan kamu dapatkan dengan
hanya duduk di kamar.<br />
Saat itu kamu bisa rasakan alam ini berbisik tentang kemuliaan Allah, memuji-Nya, dan bertasbih kepada-Nya.<br />
<em>“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih
kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan
memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”</em> <strong>[Q.S. Al-Isra: 44]</strong><br />
“Baik dari makhluk hidup yang bisa bicara atau tidak, dari pepohonan,
tumbuhan dan benda-benda, baik yang hidup atau pun yang mati, “Tak ada
suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,” dengan <em>lisanul hal</em> (bahasa tubuh) dan <em>lisanul maqal</em>
(suara). “Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka”, yaitu
tasbih makhluk-makhluk yang berbeda bahasa dengan kalian, Allah Yang
Maha Mengetahui alam gaib, mengetahuinya.” (As-Sa’di, Taisir Karimir
Rahman)<br />
“Allah mengumumkan (kepada hamba) dengan pengaturan-Nya yang
menakjubkan dan keadaan-keadaan yang demikian sempurna pada makhluk-Nya,
bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Dia. [Inilah di antara
bentuk tasbih semua makhluk di muka bumi]” (ucapan Ibnu Kaisan, dikutip
dalam Syarh Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz)<br />
Ya, alam ini mengajakmu berbicara, mengingatkanmu bahwa Allah saja
satu-satunya Pencipta. Mengajakmu bertasbih dan bersyukur atas
karunia-Nya, mengajakmu bersujud dan beribadah untuk-Nya saja.<br />
<hr />
<div style="padding-left: 270px; text-align: right;">
<span style="font-size: 16px;"><strong>“Baik
dari makhluk hidup yang bisa bicara atau tidak, dari pepohonan,
tumbuhan dan benda-benda, baik yang hidup atau pun yang mati, “Tak ada
suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,” dengan <em>lisanul hal</em> (bahasa tubuh) dan <em>lisanul maqal</em>
(suara). “Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka”, yaitu
tasbih makhluk-makhluk yang berbeda bahasa dengan kalian, Allah Yang
Maha Mengetahui alam gaib, mengetahuinya.”</strong></span></div>
<div style="padding-left: 270px; text-align: right;">
<span style="font-size: 16px;"><strong>(As-Sa’di, Taisir Karimir Rahman)</strong></span></div>
<hr />
<br />
<strong>Bumi Allah Masih Luas, Kawan</strong><br />
Diam di tempat membuat pikiranmu sempit, terlebih jika datang
waktu-waktu sulit. Problema hidup yang datang silih berganti dan
kegagalan-kegagalan yang kadang menorehkan luka hati, seringkali membuat
bumi ini terasa begitu sempit. Pikiran-pikiran negatif pun bermunculan
saat berbagai solusi dirasa tersumbat dan tak mungkin dilakukan.<br />
Manusia memang sering lupa. Kebahagiaan hebat bisa membuatnya lupa
bahwa itu hanya sementara. Ujian sekejap dalam hidupnya bisa membuatnya
lupa segala kebahagiaan yang pernah dia rasa. Solusi-solusi positif pun
terusir; tersisa ‘pintu belakang’ menuju lorong gelap yang penuh dengan
dosa dan cela.<br />
Di tengah pendakian, kamu akan melihat bahwa bumi Allah benar-benar
luas, langit yang menjulang, hamparan bukit yang hijau, aliran sungai,
dan bunga-bunga abadi di tengah padang rerumputan.<br />
<em>“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu;
karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal
kamu mengetahui.” </em><strong>[Q.S. Al Baqarah:22]</strong><br />
Masih begitu banyak jalan-jalan halal untuk menyelesaikan masalah.
Kamu hanya butuh berhenti sejenak; menghela nafas, mengencangkan tali
sepatumu, dan maju lagi dengan optimisme dan yakinmu akan
pertolongan-Nya.<br />
<br />
<strong>“Semangat! Tinggal Dua Tingkat Lagi, Kok…”</strong><br />
Kalimat kawan sejalan itu benar-benar menghibur, meski puncak masih
sejauh mata memandang. Teman yang solid memang keindahan lain yang
melengkapi alam ini. Darinya kita belajar tentang sebuah persahabatan,
kerjasama, dan solidaritas pertemanan. Teman adalah yang selalu ada saat
kamu membutuhkan tangannya, di mana pun posisinya; yang membantumu naik
dengan menarikmu dari atas atau dengan mendorongmu dari bawah.<br />
Tentu bukan hanya kerjasama tak bermakna, tapi kerjasama menuju arah
yang benar; membahu bersamamu menuju puncak tinggi, bukan menyeret dan
mendorongmu tersungkur di jurang curam tak bertepi.<br />
“Carilah saudara-saudara yang jujur, kamu bisa hidup dalam perhatian
mereka. Mereka adalah penghias bahagia dan bekal di saat duka.
Positiflah selalu dalam memandang baik saudaramu, sampai benar-benar ada
faktor yang mengharuskanmu membencinya. Tinggalkan musuhmu dan
hati-hati dari temanmu yang tidak amanah! Tidak ada yang amanah kecuali
yang takut kepada Allah. Jangan bersahabat dengan seorang fajir (buruk
amalannya) sehingga kamu belajar dari keburukannya. Jangan biarkan dia
mengetahui rahasiamu. Dan bicarakanlah masalahmu kepada mereka yang
takut kepada Allah”. (Umar bin Al- Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dikutip
dari kitab <em>Muhkhtasar Minhajil Qasidin</em>).<br />
<br />
<strong>Di Atas Puncak Masih Ada Langit</strong><br />
Sampai di puncak bukanlah akhir dari perjalanan. Karena itu bukan
satu-satunya tujuan utama pendakian. Sedemikian tinggi, kokoh, dan
kerasnya sebuah gunung, ada tantangan yang lebih terjal dari jurangnya,
lebih curam dari tebingnya, dan lebih keras dari bukit cadasnya; yaitu
hati kita. Hati manusia yang tak mengenal Pencipta-Nya, hati manusia
yang sombong untuk patuh dan mengingat-Nya, hati manusia yang buta dan
terlena dengan riuhnya dunia.<br />
<em>“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan
lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang
mengalir sungai-sungai dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang
terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan di antaranya sungguh
ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. dan Allah
sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.”</em> <strong>[Q.S. Al Baqarah:74]</strong><br />
<br />
<strong>Sekuntum Mawar Di Atas Awan</strong><br />
Ibarat sekuntum mawar, dari satu sudut pandang bisa membuat jemarimu
terluka, terlebih jika kamu tak berhati-hati memetiknya. Namun di balik
durinya yang tajam, rona merahnya melambangkan tantangan dan keberanian,
kelembutannya adalah ketenangan, dan wanginya menjadi inspirasi para
petualang sejati. Jangan biarkan mawar itu layu, petiklah dengan jiwa
ragamu!<br />
Ingat, kawan. Mendaki gunung bisa menjadi hal yang inspiratif
tergantung bagaimana kamu memandangnya dan menjalaninya. Jangan kotori
kegiatan positif itu dengan melanggar batas agama. Nggak ragu lagi,
meski jauh dari keramaian kota, kegiatan mendaki sering jadi ajang
meremehkan dosa; dari foto bersama, ikhtilath, khalwat, pacaran, bahkan
pergaulan bebas, dan zina, na’udzubillah.<br />
Percuma kamu taklukkan gunung tinggi, kalau kamu hancurkan dirimu sendiri. <em>“It is not the mountain we conquer but ourselves.”</em> Bukan gunung yang harus kita taklukan, melainkan diri kita sendiri.<br />
<strong>[Ustadz Abu Hanifah Fauzi]</strong>Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-3517870037984681552017-04-17T05:42:00.000+07:002017-04-17T05:42:18.860+07:00Iseng Bercanda Kelewatan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVmhFeFRnoxncceo5PqjuXrNQWGW_t11WxMvjY28nbF3hyqqxJd__2C5Y2eXZGHa60zKyQcWiUKDxqG-PFUJZLgrnbNuf3YYX2Gura9jJylzgksz9afjLvWmmaOx_inlHSb6cVIGYFIF6J/s1600/pukulhbjagh-150x150.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVmhFeFRnoxncceo5PqjuXrNQWGW_t11WxMvjY28nbF3hyqqxJd__2C5Y2eXZGHa60zKyQcWiUKDxqG-PFUJZLgrnbNuf3YYX2Gura9jJylzgksz9afjLvWmmaOx_inlHSb6cVIGYFIF6J/s200/pukulhbjagh-150x150.jpg" width="200" /></a></div>
<em>Seorang bocah seumuran anak TK, pulang ke rumahnya setengah
terisak. Dengan ekspresi bingung campur takut, si bocah meninggalkan
teman-temannya. Rupanya sebagian temannya telah menjailinya dengan
menyembunyikan sandal miliknya. Karena tidak ketemu setelah sekian waktu
mencari, si bocah pun ngambek dan mengadukan hal ini kepada ayahnya.
Sementara itu, teman-teman si bocah Justru merasa kegirangan dan
menganggap lucu kebingungan sang bocah. Berhasil nih ngerjain orang…</em><br />
<br />
Sobat muda, rupanya berbuat jail kepada orang lain sudah menjadi
kebiasaan di masyarakat kita. Semakin gede umurnya, semakin gede pula
jailnya. Dari sekadar ngumpetin sandal sampai jail ngerjain teman
sendiri yang berbuntut kematian. Wah, parah nih kalau sampai seperti
ini. Ada saja berita tentang kasus-kasus yang terjadi dikarenakan iseng
yang kelewatan. Kalau sudah begitu, permasalahan pun menjadi runyam. Apa
mau dikata, sesal pun sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur.<br />
<a name='more'></a><br />
Contoh-contoh sikap jail ini dalam kehidupan sehari-hari begitu
beragam. Sebagian kita menganggap bahwa sikap ini adalah bagian dari
canda yang mubah. Tak ada unsur dosa dan pelanggaran syariat di
dalamnya. Bahkan di sebagian media hiburan, candaan-candaan yang berisi
kejailan dan keisengan menjadi topik hiburan yang memiliki rating yang
tinggi. Seolah-olah, ini menjadi bagian yang tak lepas untuk memberi
refreshing bagi diri yang penat menjalani rutinitas sehari-hari.
Begitukah kenyataannya?<br />
Sobat muda, kalau kita mau meluangkan waktu membaca hadis-hadis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita akan dapatkan lengkapnya
bimbingan Islam dalam mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan umat
manusia. Termasuk bahasan tentang sikap sebagian manusia yang senang
berbuat iseng dan jail kepada yang saudaranya. Semuanya tak luput dari
bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Nah bagaimana sih
rambu pergaulan muslim?<br />
<br />
Contoh sikap jail yang terlarang adalah mengacungkan senjata kepada
saudaranya dengan niat bercanda. Maunya sih hanya guyonan dan sekadar
iseng. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang hal
ini sebagai bentuk pencegahan terhadap hal-hal membahayakan yang
mungkin sekali terjadi. Ya, bukan hanya bahaya buat yang dijaili namun
sekaligus yang menjaili. Yang dijaili bisa terkena senjatanya, yang
menjaili bisa masuk neraka karena menzalimi saudaranya. Dalam hadisnya,
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:<br />
<h2 style="text-align: right;">
لاَ يُشِيرُ أَحَدُكُمْ عَلَى أَخِيهِ
بِالسِّلاَحِ ، فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِعُ فِي
يَدِهِ فَيَقَعُ فِي حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ</h2>
“Janganlah salah seorang kalian mengacungkan kepada saudaranya dengan
senjata, karena dia tidak tahu, bisa jadi setan mencabut dari
tangannya, lalu dia terjerumus ke dalam neraka.” [Muttafaqun ‘alaih dari
Abu Hurairah z]<br />
Lebih jelas lagi tentang larangan mengacungkan senjata atau yang semisal
adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya,
“Barang siapa mengacungkan besi kepada saudaranya, para malaikat akan
melaknatnya, meskipun ia saudara kandungnya.” [<strong>H.R. Muslim dan At-Tirmidzi</strong> dari Abu Harairah radhiyallahu ‘anhu]<br />
Sobat muda, jangan kita bermudah-mudahan dan menyepelekan laknat para
malaikat. Mereka adalah makhluk yang senantiasa taat kepada Allah dan
makhluk yang didekatkan kepada-Nya, sehingga doa mereka adalah doa yang
mustajab. Terlebih lagi tidaklah para malaikat melaknat orang tersebut
kecuali pasti karena pelanggaran syariat yang ia lakukan.<br />
Ah, itu ‘kan untuk jail yang berbahaya, kalau yang nggak membahayakan
orang dan tidak ada kemungkinan melukainya ‘kan nggak apa-apa. Iseng
sedikit nggak apa apalah.<br />
Untuk menjawabnya, cukuplah dengan kita merenungi kandungan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini,<br />
<h2 style="text-align: right;">
لَا يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ
أَخِيْهِ لَاعِبًا وَلَا جِدًا، وَإِذَا أَخَذَ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيْهِ
فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْهِ</h2>
<em>“Janganlah salah seorang kalian mengambil barang temannya (baik)
bermain-main maupun serius. Meskipun ia mengambil tongkat temannya,
hendaknya ia kembalikan kepadanya.”</em> <strong>[H.R. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan Al-Hakim.</strong> Asy-Syaikh Al-Albani t menyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’]<br />
Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jelas
melarang mengambil barang orang lain, walaupun nilainya remeh dan sedang
bercanda. Bukankah tongkat itu dianggap barang yang remeh dan tak
berharga? Toh Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita
menyembunyikannya dari pemiliknya. Oleh karenanya, larangan untuk
menjaili teman dengan menyembunyikan barang yang lebih tinggi nilainya
tentu lebih terlarang. Ini menunjukkan bahwa iseng pada suatu perkara,
apabila ia bisa menimbulkan kezaliman walau sedikit kepada orang yang
diisengi hukumnya tetap tidak boleh. Apalagi bila isengnya berlebihan,
tentu lebih dilarang lagi.<br />
<br />
Sobat muda, kita tentu pernah mendengar tentang April Mop bukan? Ya
di negeri Barat sana, hari itu adalah hari diperbolehkannya dusta dan
bohong untuk sekadar menjaili teman. Saat itu dusta dan iseng dianggap
perkara yang dihalalkan dan tak mengapa melakukannya. Allahul mustaan.
Demikianlah adat dan kebiasaan mereka. Sayangnya, sebagian orang negeri
ini justru ikut-ikutan merayakannya dan merasa modern dengan
melakukannya. Padahal sejatinya, ia sedang melanggar larangan dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.<br />
Harusnya para tukang iseng ini bisa memikirkan akan akibat yang akan
ia dapat. Selain menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, ia juga akan
mendapat doa keburukan dari malaikat, lebih-lebih lagi ia terhitung
sedang melakukan kezaliman-kezaliman kepada saudaranya sesama muslim.
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan
kita untuk memperlakukan saudara kita dengan baik seperti halnya kita
diperlakukan. Sebagaimana ucapan Abdullah bin Mas’ud z, “Bergaullah kamu
dengan manusia (namun) agamamu jangan kamu lukai.” [Riwayat Al Bukhari]<br />
Dalam hadis juga disebutkan:<br />
<h2 style="text-align: right;">
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنْ
النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ
أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ</h2>
<em>“Maka siapa yang ingin untuk diselamatkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam jannah maka hendaknya kematian menjemputnya dalam
keadaan ia beriman kepada Allah dan hari akhir. Hendaknya pula ia
memperlakukan orang lain sebagaimana ia suka untuk diperlakukan.”</em> <strong>[H.R. Muslim]</strong><br />
Nah sobat muda, jangan sampai kita berani melanggar larangan Allah
hanya karena ingin dicap sebagai orang yang modern. Biarlah kita
dianggap kolot asalkan sesuai syariat. Nah sobat muda, tetap sopan,
tetap beradab, dan lurus sesuai syariat. Oke?<br />
<div style="text-align: right;">
<strong>[Ustadz Hammam]</strong></div>
<div style="text-align: left;">
<strong>sumber http://tashfiyah.com</strong></div>
Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-12686040392198731592017-03-30T05:46:00.002+07:002017-03-30T05:50:35.621+07:00KISAH WANITA MUKMINAH<div class="msg-body inner undoreset" id="yui_3_16_0_1_1455668254869_2540" tabindex="0">
<div class="email-wrapped" id="yui_3_16_0_1_1455668254869_2600">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div dir="ltr" id="yui_3_16_0_1_1455668254869_2602" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEig6dBhg71c5AySL_kDDRrGwDlIHflGQvqJpeqcW_0eVMcZQwQrSZpx9fSf8X_jJTPN8jq5LSzy1cNrOJRL4GmIayx-2CH2QFfkarmoB-iNkdluSZ4XlIlFRI93KDUV-V9KMdHxb3F4fHM0/s1600/4ae4baea41d3039c017c447f7df7394a.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEig6dBhg71c5AySL_kDDRrGwDlIHflGQvqJpeqcW_0eVMcZQwQrSZpx9fSf8X_jJTPN8jq5LSzy1cNrOJRL4GmIayx-2CH2QFfkarmoB-iNkdluSZ4XlIlFRI93KDUV-V9KMdHxb3F4fHM0/s320/4ae4baea41d3039c017c447f7df7394a.jpg" width="214" /></a></div>
[Asyiah bintu Mazahim -radhiyallahu ‘anha- istri Fir’aun ]</div>
<br />
<div id="yiv1185651416">
<div dir="ltr" id="yui_3_16_0_1_1455668254869_2603" style="text-align: justify;">
Diriwayatkan Abu Ya’la al-Muushili (wafat 307 H) dalam musnadnya, dari jalur Abu Rofi’, dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
أَنَّ
فِرْعَوْنَ، أَوْتَدَ لِامْرَأَتِهِ أَرْبَعَةَ أَوْتَادٍ فِي يَدَيْهَا
وَرِجْلَيْهَا، فَكَانَ إِذَا تَفَرَّقُوا عَنْهَا
ظَلَّلَتْهَا الْمَلَائِكَةُ،</div>
<div dir="rtl" id="yui_3_16_0_1_1455668254869_2612" style="text-align: left;">
“Fir’aun
mengikat istrinya dengan 4 ikatan di kedua tangannya dan kakinya, jika
mereka (fir’aun dan tentaranya) meninggalkannya, maka malaikat
menaunginya, dan ia berkata:</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
{رَبِّ
ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ
وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ} [التحريم: ١١]،</div>
<div dir="rtl" id="yui_3_16_0_1_1455668254869_2614" style="text-align: left;">
“</div>
<a name='more'></a>Yaa
Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan
selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku
dari kaum yang zhalim.”<br />
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
فَكَشَفَ لَهَا عَنْ بَيْتِهَا فِي الْجَنَّةِ</div>
<div dir="rtl" id="yui_3_16_0_1_1455668254869_2616" style="text-align: left;">
Maka Allah singkapkan sebuah rumah di surga untuknya.</div>
<div dir="ltr" id="yui_3_16_0_1_1455668254869_2617" style="text-align: left;">
Diriwayatkan
semisalnya dari Salman al-Farisi -radhiyallahu ‘anhu- sebagaimana
tertera dalam musonnaf Ibnu Abi Syaibah (no. 34656), yang isinya;</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
«كَانَتْ
امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ تُعَذَّبُ بِالشَّمْسِ، فَإِذَا انْصَرَفُوا
عَنْهَا أَظَلَّتْهَا الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا، فَكَانَتْ
تَرَى بَيْتَهَا مِنَ الْجَنَّةِ».</div>
<div dir="rtl" id="yui_3_16_0_1_1455668254869_2619" style="text-align: left;">
“Dahulu
istri fir’aun disiksa di bawah panasnya trik matahari, jika bala
tentara mereka pergi meninggalkannya, maka para malaikat menaunginya
dengan sayap-sayapnya, dan ketika itu ia melihat dari surga rumah
miliknya”</div>
<div dir="ltr" id="yui_3_16_0_1_1455668254869_2620" style="text-align: left;">
Riwayat
lainnya, yang berhenti pada Salman al-Farisi -radhiyallahu ‘anhu-, oleh
Ibnu Jarir ath-Thobari dalam tafsirnya (23/ 115), dalam kitab Mustadrak
al-Hakim (no. 3834) dan selain mereka.</div>
<div dir="ltr" id="yui_3_16_0_1_1455668254869_2621" style="text-align: justify;">
<img alt="✒" class="emoji td-animation-stack-type0-2" draggable="false" height="200" src="https://s.w.org/images/core/emoji/2.2.1/svg/2712.svg" width="199" />Dishahihkan
sanadnya oleh al-Imam al-Albani, dari Abu Hurairah dan Salman al-Farisi
(secara mauquf) dalam kitab beliau “ash-Shahihah” no. 2508.</div>
<div dir="ltr" id="yui_3_16_0_1_1455668254869_2622" style="text-align: justify;">
Disarikan oleh: asy-Syaikh Arafat bin Hasan al-Muhammady -hafidzohullah-</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
diambil dari chanel telegram salafylintas negara</div>
</div>
</div>
</div>
Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-43845704116435289912017-03-28T05:21:00.001+07:002017-03-28T05:21:10.519+07:00Menyelisihi Orang Kafir<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilETtbw-mPceUqEGD3avSm0p574uPGBVRf5lZZS7ooK9kZ1pK6wS5vAC2F7S99w6jkgXVyilmVQm1dZJ-EYFesWMx9RkUX9_HLY2p-0v5zG1PEnOhj0Wi-ZVYdlkPWVd5kRxFI37OZl8_1/s1600/change_of_seasons-1519681-150x150.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilETtbw-mPceUqEGD3avSm0p574uPGBVRf5lZZS7ooK9kZ1pK6wS5vAC2F7S99w6jkgXVyilmVQm1dZJ-EYFesWMx9RkUX9_HLY2p-0v5zG1PEnOhj0Wi-ZVYdlkPWVd5kRxFI37OZl8_1/s200/change_of_seasons-1519681-150x150.jpg" width="200" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam setiap rakaat salat, setiap muslim berdoa kepada Allah agar
ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang
telah diberi nikmat oleh Rabb mereka dari kalangan para Nabi, shiddiqin,
syuhada dan shalihin. Bukan jalannya orang-orang yang Allah murkai dan
orang-orang yang sesat. Tatkala Anda membaca surat Al-Fatihah yang
merupakan salah satu rukun salat, maka renungilah kandungan makna
ayat-ayat tersebut dan bagaimana konsekuensinya. Tiada lain kandungannya
adalah perintah untuk mencontoh Rasul n dan berpegang teguh dengan
syariat yang dibawanya. Keteladanan tersebut meliputi segala aspek
kehidupan perihal muamalah, adab, akhlak, dan yang lainnya. Demikian
pula sebaliknya terkandung perintah menyelisihi semua perkara yang
menjadi ciri khas nan identik dengan orang-orang kafir.</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Begitu banyak kaum muslimin yang tidak mengetahui atau meremehkan
permasalahan ini. Ya, bodoh serta meremehkan perintah dalam meneladani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyelisihi kaum kafir.
Tidak heran jika fenomena ini merajalela di tengah-tengah kaum muslimin.
Kaum tua dan kaum muda dengan bangga meniru tokoh-tokoh barat yang
menjadi idola mereka. Mereka enggan mengenakan atribut Islami bahkan
malu dan merasa martabatnya jatuh jika memakainya. Padahal akibatnya
bisa sangat fatal karena kesamaan secara dzahir terhadap orang kafir
bisa memunculkan kecintaan dalam batin terhadap mereka. Oleh karenanya
sangat banyak dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan sunnah tentang perintah
untuk menyelisihi mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sejak empat belas abad yang silam
telah mengingatkan akan munculnya fenomena ini. Ini sekaligus menjadi
tanda kenabian beliau karena apa yang beliau sampaikan saat itu
benar-benar terjadi. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti tradisi umat-umat
terdahulu bagaikan bulu pada anak panah (maksudnya mengikuti mereka
sampai benar-benar serupa). Sampai sekalipun mereka masuk ke lubang
hewan Dhab, niscaya kalian akan memasukinya.” Para sahabat pun bertanya,
“Wahai Rasulullah, apakah umat-umat terdahulu yang dimaksud adalah
orang-orang Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan
mereka?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Apa yang yang beliau sabdakan di atas sungguh bisa kita saksikan
realitanya di zaman ini. Betapa banyak gaya hidup kaum muslimin yang
meniru orang-orang ahli kitab. Baik dalam hal ucapan, pakaian,
penampilan dan lain sebagainya. Apabila diuraikan secara terperinci akan
banyak sekali contohnya. Di antaranya adalah perbuatan sebagian kaum
muslimin yang memelihara kumis dan memotong jenggot. Padahal Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sekian banyak hadisnya telah
memerintahkan kaum lelaki supaya memotong kumis dan membiarkan jenggot
tumbuh. Bahkan hal ini merupakan syariat nabi-nabi terdahulu sebagaimana
dikisahkan dalam Al-Qur’an.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan hal ini sebagai
bentuk penyelisihan terhadap kaum musyrikin. Karena kebiasaan mereka
adalah memotong jenggot dan memelihara kumis. Menurut tinjauan medispun,
terbukti memotong kumis memberikan beberapa manfaat. Di antaranya
adalah untuk kebersihan mulut agar tidak menjadi sarang kotoran yang
keluar dari hidung. Di samping itu jika kumis terlalu panjang dan
menyentuh bibir, maka bisa mengotori minuman atau makanan yang
terkonsumsi. Sebagaimana kumis yang panjang akan memperburuk penampilan
seorang muslim. Meskipun hal ini dianggap baik oleh sebagian orang yang
tidak tahu agama atau terpengaruh budaya barat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di antara fenomena fanatik terhadap budaya barat adalah kebiasaan
sebagian orang yang berbicara dengan bahasa mereka tanpa adanya
keperluan. Para ulama menjelaskan bahwa hukum membiasakan diri memakai
bahasa orang-orang kafir tanpa ada keperluan adalah makruh. Apalagi
sampai mengalahkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
mengucapkan salam atau tuntunan beliau yang lainnya. Tidak jarang pula
yang mempelajari bahasa-bahasa asing untuk tujuan-tujuan yang tidak
bermanfaat atau bahkan terlarang. Sementara bahasa arab yang merupakan
bahasa Al-Qur’an dan Sunnah ditinggalkan secara total. Tidak pernah ada
upaya dan keinginan untuk mempelajarinya. Belajar bahasa Arab sangat
penting karena menjadi faktor pendukung dalam memahami Al-Qur’an dan
Sunnah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lebih dari itu, kalau kita telusuri di antara fenomena tersebut
adalah taklid terhadap orang-orang kafir dalam peribadatan mereka. Di
antaranya adalah sikap mengekor mereka dalam berbagai kesyirikan seperti
membangun tempat ibadah di atas kuburan. Padahal Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dengan tegas telah melarangnya, “Allah melaknat
orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menjadikan kuburan-kuburan
nabi mereka sebagai masjid.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Sungguh
syirik besar ini benar-benar terjadi di tengah umat karena sikap
berlebihan terhadap kuburan orang saleh. Tidak lain semua ini diadopsi
dari adat kebiasaan orang Yahudi dan Nasrani.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian halnya acara-acara bid’ah atau kesyirikan dalam berbagai
perayaan hari besar seperti perayaan maulid Nabi, perayaan Isra dan
Mi’raj, perayaan hari ulang tahun, Valentine, dan masih banyak yang
lainnya. Dalam Islam hanya ada dua hari raya yaitu Idul Fitri dan Idul
Adha. Tanpa disadari ternyata semua itu merupakan sikap taklid terhadap
adat kebiasaan orang-orang kafir. Maka seorang muslim yang baik tidak
silau dan terkecoh dengan banyaknya orang-orang yang melakukannya.
Sebagaimana Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Janganlah engkau merasa
rendah diri karena menempuh jalan yang benar meskipun sedikit orang yang
menempuhnya. Dan janganlah kamu tertipu dengan kebatilan meskipun
banyak orang yang melakukannya.” Apa yang kami sebutkan di atas hanya
sekadar contoh dan masih banyak fenomena yang lain di tengah kaum
muslimin. Semoga Allah ta’ala mengokohkan kita di atas kebenaran dan
menjaga kita dari segala tipu daya orang kafir. Allahu a’lam.</div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>[Ustadz Abu Hafy Abdullah] </strong></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Sumber http://tashfiyah.com</strong></div>
Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-251949009773358352017-03-13T05:48:00.002+07:002017-03-13T05:48:39.490+07:00PELAJARAN BERHARGA DARI KISAH MENINGGALNYA ABU THOLIB<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6fVcPFoXJL_1202kKk3I6ju_WvXyEJZQsZmAAgcBXB4V2553Bv3ABWod56o9K7j7WIGLffbGlOh-2RdIbCeH0q0uqId_hpdKAZECvNWdN_PydA_438ze4heH_DagjWn-V5_Zk1IQEqS8x/s1600/pelajaran-kisah-nabi-hud.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6fVcPFoXJL_1202kKk3I6ju_WvXyEJZQsZmAAgcBXB4V2553Bv3ABWod56o9K7j7WIGLffbGlOh-2RdIbCeH0q0uqId_hpdKAZECvNWdN_PydA_438ze4heH_DagjWn-V5_Zk1IQEqS8x/s320/pelajaran-kisah-nabi-hud.jpg" width="320" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<strong> </strong>Di tulis oleh al ustadz Abu Utsman Kharisman</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
عَنِ
ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ
وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو
جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ
أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ
لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا
كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ
أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا
أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ
الْجَحِيمِ } وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إِنَّكَ لَا
تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ }</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>Dari Ibnu Syihab beliau berkata:
telah mengkhabarkan kepadaku Sa’id bin al-Musayyab dari ayahnya beliau
berkata: Ketika Abu Tholib menjelang wafat datanglah Rasulullah
shollallahu alaihi wasallam kemudian beliau mendapati di sisi Abu Tholib
ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughiroh. Maka
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berkata: Wahai pamanku,
ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah, suatu kalimat yang aku akan bersaksi
untukmu nanti di sisi Allah. </em></div>
<a name='more'></a><em>Kemudian Abu Jahl dan Abdullah bin Abi
Umayyah berkata: Wahai Abu Tholib, apakah engkau benci agama Abdul
Muththolib?! Terus menerus Rasulullah shollallahu alaihi wasallam
mengajak mengucapkan ucapan itu dan mengulanginya hingga akhir ucapan
Abu Tholib adalah ia tetap berada di atas agama Abdul Muththolib dan
enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah. Maka Rasulullah shollallahu
alaihi wsallam kemudian berkata: Demi Allah, sungguh aku akan memintakan
ampunan untukmu kepada Allah selama aku tidak dilarang. Kemudian turun
firman Allah Azza Wa Jalla: << Tidak boleh bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman untuk memohon ampunan bagi kaum musyrikin
meskipun mereka adalah kerabat dekat setelah nampak jelas bagi mereka
bahwa mereka adalah penghuni al-Jahiim (Neraka)(Q.S atTaubah ayat
113)>> dan Allah Ta’ala turunkan firmanNya tentang Abu Tholib.
Allah berfirman kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam : <<
Sesungguhnya engkau tidaklah (bisa) memberikan hidayah kepada orang
yang engkau cintai akan tetapi Allah memberi hidayah kepada siapa saja
yang dikehendakiNya dan Dialah Yang Paling Tahu siapa orang-orang yang
berhak mendapatkan hidayah >> (Q.S al-Qoshosh ayat 56)>>
(H.R al-Bukhari dan Muslim)</em><br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<strong>Penjelasan:</strong></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Faidah dan penjelasan dari hadits ini adalah:</div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Rasulullah <em>shollallahu alaihi wasallam </em>tidak mampu untuk
memberikan hidayah kepada pamannya yang berjuang membela beliau saat
dimusuhi oleh musyrikin Quraisy, namun tetap dalam kesyirikan. Hidayah <em>taufiq </em>hanyalah
di Tangan Allah. Karena hanya Allah satu-satunya yang bisa memberikan
hidayah taufiq ini, maka Dialah satu-satunya yang berhak disembah/
diibadahi.</li>
</ol>
<ol start="2" style="text-align: justify;">
<li>Kedekatan hubungan kekerabatan seseorang dengan Nabi tidak bisa
menyelamatkannya dari adzab Allah kalau ia tidak mentauhidkan Allah.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Meski itu adalah paman Nabi. Bahkan, ayah Nabi juga meninggal dalam keadaan kafir, di anNaar. Ibu Nabi <em>shollallahu alaihi wasallam </em>juga
meninggal dalam keadaan kafir, di anNaar. Ini adalah sesuatu hal yang
menyedihkan, membikin pilu hati orang beriman, sebagaimana Nabi juga
menangis, namun kaum beriman harus beriman terhadap hadits-hadits shahih
dari Nabi yang mulya Muhammad <em>shollallahu alaihi wasallam, </em>menerima takdir Allah, dan beramal sesuai tuntunan Allah<em>. </em>Bukannya
menentang dalil yang jelas shahih dan membantahnya dengan hadits-hadits
yang lemah dan palsu agar terkesan membela Nabi, padahal pada dasarnya
membela hawa nafsunya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalil yang menunjukkan ayah Nabi di <em>anNaar </em>adalah hadits:</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي
النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي
النَّارِ</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>Dari Anas (bin Malik) radhiyallahu
anhu bahwa seseorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah di mana ayahku
(yang sudah meninggal). Nabi menyatakan : di anNaar. Ketika laki-laki
itu akan berlalu, Nabi memanggilnya dan bersabda: Sesungguhnya ayahku
dan ayahmu di anNaar (H.R Muslim)</em></div>
<div style="text-align: justify;">
Sedangkan berkaitan dengan ibunda Nabi, terdapat penjelasan dalam hadits yang shohih, Nabi bersabda :</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>“Aku memohon ijin kepada Tuhanku
untuk memohon ampunan bagi ibuku, tetapi tidaklah diijinkan untukku, dan
aku mohon ijin untuk berziarah ke kuburannya, dan diijinkan”(H.R Muslim
dari Abu Hurairah)</em></div>
<div style="text-align: justify;">
dalam riwayat Ahmad :</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
إِنِّي
سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي الِاسْتِغْفَارِ لِأُمِّي فَلَمْ
يَأْذَنْ لِي فَدَمَعَتْ عَيْنَايَ رَحْمَةً لَهَا مِنَ النَّارِ</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>“Sesungguhnya aku meminta kepada
Tuhanku ‘Azza Wa Jalla untuk memohon ampunan bagi ibuku, namun tidak
diijinkan, maka akupun menangis sebagai bentuk belas kasihan baginya
dari adzab anNaar” (hadits riwayat Ahmad dari Buraidah, al-Haitsamy
menyatakan bahwa rijaal hadits ini adalah rijaalus shohiih).</em></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam riwayat lain :</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
عَنْ
أبِي رَزِينٍ، قَالَ: قُلْتَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيْنَ أُمِّي؟،
قَالَ:”أُمُّكَ فِي النَّارِ”، قَالَ: فَأَيْنَ مَنْ مَضَى مِنْ أَهْلِكَ؟،
قَالَ:”أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ أُمُّكَ مَعَ أُمِّي</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>” dari Abu Roziin beliau berkata :
Aku berkata : Wahai Rasulullah, di mana ibuku? Nabi menjawab : ‘Ibumu di
an-Naar’. Ia berkata : Maka di mana ora</em><em>n</em><em>g-orang
terdahulu dari keluargamu? Nabi bersabda : Tidakkah engkau ridla bahwa
ibumu bersama ibuku” (H.R Ahmad dan atThobarony, dan al-Haitsamy
menyatakan bahwa perawi-perawi hadits ini terpercaya (tsiqoot)).</em></div>
<div style="text-align: justify;">
Maka hubungan nasab dan kekerabatan
tidak bisa menyelamatkan dari adzab Allah jika seseorang tidak beriman.
Sebagaimana juga ayah Nabi Ibrohim yang meninggal dalam kekafiran.</div>
<ol start="3" style="text-align: justify;">
<li>Hadits ini merupakan dalil yang tegas bahwa Abu Tholib meninggal
dalam keadaan kafir. Sedangkan kaum Syiah dan orang-orang yang
terpengaruh dengan pemahaman Syiah akan berusaha menegaskan bahwa Abu
Tholib adalah seorang mukmin. Dengan hujjah yang sangat lemah dan
diada-adakan, dan mereka menolak hadits-hadits yang jelas <em>shahih </em>dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.</li>
</ol>
<ol start="4" style="text-align: justify;">
<li>Nabi <em>shollallahu alaihi wasallam </em>tidak bisa memberi syafaat untuk mengeluarkan pamannya Abu Tholib dari <em>anNaar, </em>namun beliau bisa memberikan syafaat sehingga Abu Tholib diringankan siksanya di <em>anNaar, </em>sehingga hanya di siksa di permukaan dangkal anNaar, dan merupakan penghuni <em>anNaar </em>yang paling ringan siksanya.</li>
</ol>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
عَنْ
عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ
نَفَعْتَ أَبَا طَالِبٍ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ
لَكَ قَالَ نَعَمْ هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ لَوْلَا أَنَا لَكَانَ
فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>Dari Abbas bin Abdil Muththolib
beliau berkata: Wahai Rasulullah, apakah engkau bisa memberi manfaat
kepada Abu Tholib dengan sesuatu. Karena dia menjagamu dan marah (kepada
pihak yang memusuhimu). Nabi menyatakan: Ya. Abu Tholib berada di
permukaan dangkal di anNaar, kalaulah tidak (dengan sebab) aku niscaya
ia berada di dasar paling bawah anNaar (Neraka)(H.R al-Bukhari dan
Muslim)</em></div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو طَالِبٍ وَهُوَ مُنْتَعِلٌ
بِنَعْلَيْنِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhu-
bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Penduduk anNaar
yang paling ringan siksanya adalah Abu Tholib. Dia memakai dua sandal
yang menyebabkan otaknya mendidih (H.R Muslim)</em></div>
<ol start="5" style="text-align: justify;">
<li>Abu Tholib sebenarnya dalam hatinya mengakui kebenaran dakwah Nabi Muhammad <em>shollallahu alaihi wasallam</em> tapi ia enggan terang-terangan menerima al-haq, tidak mau mengucapkan syahadat <em>Laa Ilaaha Illallaah</em> karena takut cercaan dan ejekan kaumnya.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Abu Tholib mengungkapkan bait-bait syair:</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
وَعُرِضْتُ دِيْنًا قًدْ عَرَفْتُ بِأَنَّهُ مِنْ خَيْرِ أَدْيَانِ الْبَرِيَّةِ دِيْنًا</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>Dan aku telah ditunjukkan pada sebuah Dien yang sungguh aku tahu bahwa itu termasuk agama bumi yang terbaik</em></div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
لَوْلَا الْمَلَامَة أَوْ حَذَارِي سَبَّة لَوَجَدْتَنِي سَمْحًا بِذَاكَ مُبِيْنًا</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>Kalaulah bukan celaan atau takut cercaan, niscaya engkau akan dapati aku dengan senang hati dan jelas menerimanya </em></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
(diriwayatkan al-Baihaqiy dalam
Dalaailun Nubuwwah no 495, disebutkan Ibnu Katsir dalam as-Siiroh
anNabawiyyah, al-Qurthubiy dalam Tafsirnya, al-Baghowy dalam Tafsirnya)</div>
<ol start="6" style="text-align: justify;">
<li>Orang-orang yang membujuk dan mengajak Abu Tholib untuk tidak
mengucapkan syahadat itu ada yang tetap dalam kekafiran dan ada juga
yang masuk Islam, menunjukkan hidayah <em>taufiq </em>hanya di Tangan Allah.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Abu Jahl meninggal dalam kekafiran,
sedangkan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughiroh meninggal sebagai
seorang muslim dan termasuk Sahabat Nabi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Abdullah bin Abi Umayyah adalah sepupu
sekaligus saudara ipar Nabi. Beliau adalah anak ‘Atikah bintu Abdil
Muththolib, bibi Nabi. Beliau juga saudara kandung seayah dengan Ummu
Salamah, istri Nabi. Beliau dulunya sangat keras permusuhan dan
kebenciannya terhadap Rasulullah <em>shollallahu alaihi wasallam. </em>Namun
beliau masuk Islam sebelum Fathu Makkah, dan ikut perang Hunain, serta
gugur dalam pertempuran di Thaif. Semoga Allah meridhai beliau.</div>
<ol start="7" style="text-align: justify;">
<li>Pengaruh buruk pergaulan dengan orang-orang yang buruk dan bahaya mendahulukan perasaan (takut dicerca) dalam menjalankan Dien.</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
Abu Tholib bergaul dengan kaum
musyrikin, hingga Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah menemani beliau
hingga menjelang meninggal dunia dan mempengaruhi agar jangan
mengucapkan <em>Laa Ilaaha Illallah. </em>Itulah akibat pergaulan yang
buruk. Abu Tholib juga merasa sungkan dan takut akan cercaan orang,
hingga harus mati dalam keadan kafir demi menghindar dari cercaan itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Padahal semestinya seseorang yang
menginginkan kebahagiaan di akhirat haruslah mendahulukan ridha Allah
dibandingkan ridha manusia. Jangan takut celaan para pencela ketika
berjalan di jalan Allah. Sedangkan keridhaan manusia adalah tujuan yang
tidak akan pernah bisa dicapai. Semoga Allah memberikan kepada kita
taufiq dan kekokohan dalam menjalankan hal itu.</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
مَنِ
الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ
وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ
سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاس</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>Barangsiapa yang mencari keridhaan
Allah dengan mendapatkan kemarahan manusia, maka Allah Ta’ala akan ridha
kepadanya dan menjadikan manusia ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang
mencari keridhaan manusia dengan mendapat kemurkaan Allah, maka Allah
akan murka kepadanya dan akan menjadikan manusia murka kepadanya (H.R
Ibnu Hibban dalam shahihnya dari Aisyah)</em></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
عَنْ
عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ
وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ
أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ
لَوْمَةَ لَائِمٍ</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>dari Ubadah bin as-Shoomit
radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam
membaiat kami untuk bersikap mendengar dan taat (kepada waliyyul amr)
dalam keadaan lapang ataupun sempit. Dan janganlah kami menentang
kepemimpinan pada ahlinya dan agar kami berbuat atau berkata al-haq
(kebenaran) di manapun kami berada tidak takut celaan siapapun yang
mencela, ketika berjalan di jalan Allah (H.R al-Bukhari)</em></div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ قَالَ أَمَرَنِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِسَبْعٍ أَمَرَنِي بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ
وَأَمَرَنِي أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِي وَلَا أَنْظُرَ إِلَى
مَنْ هُوَ فَوْقِي وَأَمَرَنِي أَنْ أَصِلَ الرَّحِمَ وَإِنْ أَدْبَرَتْ
وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أَسْأَلَ أَحَدًا شَيْئًا وَأَمَرَنِي أَنْ أَقُولَ
بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أَخَافَ فِي اللَّهِ
لَوْمَةَ لَائِمٍ وَأَمَرَنِي أَنْ أُكْثِرَ مِنْ قَوْلِ لَا حَوْلَ وَلَا
قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَإِنَّهُنَّ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>Dari Abu Dzar –radhiyallahu anhu-
beliau berkata: Kekasihku (Nabi) shollallahu alaihi wasallam
memerintahkan kepadaku pada 7 hal, ia memerintahkan kepadaku untuk
mencintai orang-orang miskin, dan mendekat kepada mereka. Beliau
memerintahkan kepadaku untuk melihat kepada orang yang di bawahku dan
agar aku tidak melihat kepada orang yang di atasku. Dan beliau
memerintahkan kepadaku untuk menyambung silaturrahmi meski kerabat itu
menjauh (dariku). Dan beliau memerintahkan kepadaku agar aku tidak
meminta apapu kepada siapapun. Dan beliau memerintahkan kepadaku untuk
mengucapkan kebenaran meski pahit. Dan beliau memerintahkan kepadaku
untuk tidak takut celaan para pencela di (jalan) Allah. Dan beliau
memerintahkan kepadaku untuk memperbanyak mengucapkan Laa hawla walaa
quwwata illaa billaah karena itu adalah perbendaharaan di bawah ‘Arsy
(H.R Ahmad, atThobaroniy, dan lainnya, dishahihkan al-Albaniy dalam
Shahih atTarghib)</em></div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Imam asy-Syafii <em>rahimahullah </em>menyatakan kepada muridnya ar-Rabi’ bin Anas:</div>
<div dir="rtl" style="direction: rtl; font-family: Traditional Arabic; font-size: 27px; line-height: 50px; text-align: justify;">
يَا رَبِيْع رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لَاتُدْرَك فَعَلَيْكَ بِمَا يُصْلِحُكَ فَالْزَمْهُ فَإِنَّهُ لَاسَبِيْلَ إِلَى رِضَاهُمْ</div>
<div style="text-align: justify;">
<em>Wahai Rabi’, keridhaan manusia
adalah tujuan yang tidak akan tercapai. Maka wajib bagimu mencari hal
yang memperbaiki keadaanmu. Berpegangteguhlah dengannya. Karena tidak
ada jalan untuk mencapai ridha mereka (manusia)(Shifatus Shofwah
(2/254))</em></div>
<ol start="8" style="text-align: justify;">
<li>Larangan memohonkan ampunan untuk orang kafir, musyrik, atau munafiq akbar </li>
</ol>
Sumber : www.salafy.or.id Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-58948778612701826012017-03-13T05:37:00.003+07:002017-03-13T05:39:30.927+07:00Jadwal Kajian Kebumen dan Gombong<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj98DJzjh2YPXVeWiNvh2i5EozmFSSez92UbFCjICK-jXed_ZjMw0OCONBOxq-cT0GymX3DTOsD9bIvlVmhUiJWoYyzn11YbTVJ335aWygGezP7cirnQIgpSV_XYGj1hXXqpovaZr0bQOo_/s1600/Jadwal+Kajian+Gombong.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj98DJzjh2YPXVeWiNvh2i5EozmFSSez92UbFCjICK-jXed_ZjMw0OCONBOxq-cT0GymX3DTOsD9bIvlVmhUiJWoYyzn11YbTVJ335aWygGezP7cirnQIgpSV_XYGj1hXXqpovaZr0bQOo_/s200/Jadwal+Kajian+Gombong.jpg" width="130" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhirJDXiB6SF8ARJLrndYH1oCnM10zuOLFlfgzZccwKvwMg83jNhEcOCACs4C25hwxPzpSo0CS840bIMXlYXvV2b8sshTdNFt9ZIKehKcsRek1WhcXgxQjo2yC5nttqGv5f018b9htlsHa-/s1600/Jadwal+Kajian+Kebumen.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="177" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhirJDXiB6SF8ARJLrndYH1oCnM10zuOLFlfgzZccwKvwMg83jNhEcOCACs4C25hwxPzpSo0CS840bIMXlYXvV2b8sshTdNFt9ZIKehKcsRek1WhcXgxQjo2yC5nttqGv5f018b9htlsHa-/s320/Jadwal+Kajian+Kebumen.jpg" width="320" /></a></div>
<br />Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-60587767446319177822017-02-18T05:42:00.001+07:002017-02-18T05:43:06.093+07:00Nabi Nuh Dan Sang Anak<div style="text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAkyKD4_ZS9Qet0zSvbn5odx9ML2aQ4Fs_7jVHBiVeh5pTe1x57LYoTwhOOYLu6kG3C313cNWKvSYuO_E89MVF8fhua0MQ7vVlQy7_EcJofheMfWcUT2Pd2VQP5O4UugPay7Z75mdo4hYr/s1600/are-you-chasing-your-storm-150x150.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAkyKD4_ZS9Qet0zSvbn5odx9ML2aQ4Fs_7jVHBiVeh5pTe1x57LYoTwhOOYLu6kG3C313cNWKvSYuO_E89MVF8fhua0MQ7vVlQy7_EcJofheMfWcUT2Pd2VQP5O4UugPay7Z75mdo4hYr/s1600/are-you-chasing-your-storm-150x150.jpg" /></a>Nabiyullah Nuh benar-benar seorang rasul pilihan. Beliau adalah salah
satu dari ulul azmi dari kalangan para rasul. Berbagai kisah heroik
pernah mengiringi kehidupan beliau di dalam berdakwah, mengajak kaumnya
untuk meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan memurnikan segala
bentuk peribadahan hanya untuk Allah semata. Kisah-kisah yang sarat
faedah dan makna</div>
<a name='more'></a>bagi siapa pun yang mau memahami dan mencernanya. Dan
cukuplah menunjukan bahwa kisah perjalanan dakwah Nabi Nuh merupakan
kisah yang sangat perlu untuk dipelajari ialah ketika Allah menyebutkan
kisah perjalanan dakwah beliau berulang, pada beberapa tempat di dalam
Al Quran pada momen dan keadaan yang berbeda.<br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Nabiyullah Nuh bersabar selama 950 tahun lamanya, mendakwahi dan
menyeru kaumnya. Namun mayoritas kaum Nabi Nuh terus saja membangkang
dan tidak mau mengikuti seruan dan ajakan dakwah Nabi Nuh. Maka beliau
pun berdoa memohon kepada Allah agar Ia menurunkan azab dan siksa untuk
mereka, <i>“Duhai Rabbku, janganlah Engkau biarkan satu rumah milik
orang kafir pun ada di muka bumi ini. Sesungguhnya jika Engkau
membiarkan mereka, maka mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan
tidaklah lahir dari mereka kecuali orang-orang yang jahat lagi kafir”</i> [Q.S. Nuh: 26-27]</div>
<div style="text-align: justify;">
Inilah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Nuh. Beliau memohon kepada
Allah agar membinasakan dan mematikan semua orang kafir yang ada di muka
bumi saat itu, tanpa terkecuali. Dikarenakan keberadaan orang kafir di
muka bumi, walaupun hanya seorang, akan menimbulkan berbagai kejelekan.
Maka beliau pun memohon kepada Allah agar membinasakan seluruh orang
yang kafir saat itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Allah pun benar-benar mengabulkan doa Nabi Nuh. Allah kirimkan azab
dan hukuman yang besar yang benar-benar akan membinasakan seluruh
orang-orang kafir di masa itu. Namun, sebelum azab yang Allah janjikan
tiba, Allah perintahkan Nabi Nuh untuk membuat bahtera besar yang mampu
menampung orang-orang yang beriman dan segala makhluk
berpasang-pasangan. Sebuah bahtera besar yang akan membawa mereka jika
azab Allah tiba.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Nabi Nuh pun segera mematuhi titah Rabb-nya. Ia dan para pengikutnya
bersama-sama membuat perahu yang besar. Berbagai ejekan, celaan, dan
hinaan yang datang bertubi-tubi terhadap Nabi Nuh dan para pengikutnya
kala membuat kapal tersebut tidaklah beliau acuhkan. Yang beliau
pikirkan hanya bagaimana agar beliau dan para pengikutnya bisa selamat
kala azab Allah datang.</div>
<div style="text-align: justify;">
Saat itu pun tiba. Allah perintahkan langit untuk memuntahkan air
yang begitu banyak. Demikian pula Allah perintahkan bumi untuk
memancarkan mata air yang begitu deras. Langit mencurahkan hujan besar
yang memenuhi penjuru bumi. Tanah-tanah pun memancarkan mata air yang
begitu deras. Bumi kini dipenuhi air. Banjir bandang yang besar pun tak
terelakkan. Tidak ada satu bagian permukaan bumi pun yang terlepas dan
tidak terbenam karenanya. Bahkan permukaan bumi hilang dipenuhi air.
Bumi menjadi lautan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun orang-orang yang beriman, mereka telah selamat dengan segera
masuk dan naik ke dalam bahtera yang telah mereka buat. Tak lupa pula
berbagai hewan pun mereka bawa berpasang-pasangan. Hanya doa dan doa
yang terus mereka kumandangkan agar diselamatkan dari kemurkaan Allah
yang dahsyat tersebut. Orang-orang kafir pun berusaha menyelamatkan
diri-diri mereka. Mereka berusaha mendaki bagian tertinggi yang bisa
mereka capai. Usaha sia-sia yang tidak akan menyelamatkan mereka dari
azab Allah. Dalam keadaan yang demikian kalut, mencekam , dan penuh
kengerian.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat itulah, Nabi Nuh sempat melihat bagaimana perjuangan salah satu
putranya, Yam atau Kan’an namanya, untuk menyelamatkan diri dari azab
Allah. Yam atau Kan’an adalah putra Nabi Nuh yang tidak mau menuruti dan
mengikuti dakwah serta ajaran beliau. Sebagai orang tua yang sayang
kepada putranya, dalam kondisi yang demikian mencekam, walaupun anaknya
adalah anak yang durhaka, yang sepanjang hidupnya tidak mau mengikuti
dan mendengar seruan ayahnya, hal itu tidak menghalangi Nabi Nuh untuk
tetap mengajak dan memanggil putranya agar naik ke atas bahtera.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Wahai anakku, lekas naik ke atas perahu bersama kami dan janganlah
kamu menjadi orang yang kafir.” [Q.S Hud: 42] Nabi Nuh mengajak penuh
harap.</div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku akan naik gunung yang tinggi yang bisa menyelamatkanku dari air bah ini” [Q.S. Hud: 43] jawabnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
“Hari ini, tidak ada yang bisa menyelamatkanmu dari azab Allah
kecuali orang yang Allah sayangi” [Q.S. Hud: 43] Nabi Nuh melanjutkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kiranya percakapan keduanya harus berakhir kala ombak yang demikian
besar menggulung dan memisahkan ayah dan anaknya ini. Yam atau Kan’an
pun mati tenggelam akibat kekafiran dan pembangkangannya. Inilah azab
Allah. Jika Ia telah menetapkannya, maka tidak ada seorang pun yang
dapat menyelamatkan diri darinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada sepenggal kisah dakwah Nabi Nuh kepada anaknya untuk mau beriman
dan bergabung dengan kaum muslimin naik ke atas bahtera ini terdapat
suatu faedah yang besar. Yaitu, orang tua dituntut untuk terus berusaha
menyelamatkan putra-putrinya dari azab Allah. Orang tua tidak boleh
berputus asa dalam mendakwahi anaknya. Walaupun penentangan dan
kedurhakaan yang mereka balas, hal itu tidak membuatnya untuk kemudian
berhenti dan tidak lagi mau mengajak mereka untuk bisa kembali kepada
Allah. Tak lupa, doa dan doa pun senantiasa ia pajatkan kepada Allah
untuk kebaikan anak-anaknya. Dalam sujudnya ia terus memohon kepada
Allah agar Ia menyadarkan dan mengembalikan alur kehidupan anaknya yang
telah salah arah. Terus dan terus, tidak pernah berputus asa memohon dan
mengadu kepada Allah yang Mahakasih-sayang. Walau dalam keadaan
menjelang kematiannya, ia tentu tidak ingin anaknya, buah hatinya, yang
segala-galanya telah ia korbankan untuknya, di akhir hidupnya harus mati
dalam keadaan suul khatimah, akhir yang jelek.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maka ia pun semestinya tetap berusaha dan berupaya memberikan yang
terbaik untuk anaknya tersebut menjelang kematiannya. Mengajak dan
membimbing anaknya untuk tunduk dan bertobat kepada Allah. Harapan dia,
jika ternyata Allah masih memberikan kesempatan hidup kepadanya dan ia
telah mengakui kesalahannya, siap bertobat kembali ke arah-Nya maka itu
tentu merupakan kebaikan yang besar baginya. Dengan kehidupan barunya,
ia bisa tutup kesalahannya di masa lalu dengan berbagai amal dan
ketaatan yang bisa ia amalkan. Minimalnya, ketika ternyata Allah
menghendaki untuk mematikannya setelah itu, maka ia mati dalam keadaan
husnul khatimah. Mati berpredikat sebagai seorang yang tengah kembali
kepada Allah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Intinya, orang tua yang baik benar-benar mengharapkan kebaikan untuk
anaknya. Ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menyelamatkan
anaknya yang telah salah jalan. Berbagai upaya dan cara akan ia tempuh
untuk menyadarkannya. Jika satu cara tidak berhasil maka ia mengupayakan
cara yang lain yang kiranya bisa mengembalikan anaknya ke arah yang
lurus.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Satu kesalahan besar yang sering dilakukan oleh orang tua, ketika ia
mendapati anak-anaknya telah melenceng dari jalan-Nya. Hidup bergelimang
dengan dosa dan dosa. Ketika ia berusaha mengembalikan anaknya ke jalan
yang benar, namun ia mendapatkan penentangan dalam upayanya tersebut,
dia pun berputus asa hingga kemudian pasrah. Dia kemudian membiarkan
anak-anaknya semakin tenggelam dalam dunianya. Bahkan, terkadang ia
putuskan hubungan dan tidak mau mengakuinya sebagai anak. Tidak mungkin!
Pengakuan yang tidak benar! Bagaimana pun keadaannya, ia adalah
anaknya, buah hatinya, bagaimana ia bisa berlepas diri darinya?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Cobalah mengambil ibrah dan pelajaran dari Nabi Nuh di atas. Walaupun
sepanjang waktu anaknya terus saja membangkang dan tidak mau menuruti
ajakannya, hal itu tidak membuat Nabi Nuh berputus asa dan pasrah begitu
saja membiarkan anaknya tenggelam dalam dosa. Bahkan di saat-saat akhir
kehidupannya, masih saja Nuh mengajak anaknya turut serta bersama
orang-orang yang beriman untuk naik bahtera menyelamatkan jiwanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Orang tua harus senantiasa ingat bahwa anak adalah amanah dan titipan
yang Allah berikan kepadanya. Ketika ia menyadari hal ini, ia akan
berusaha menjaga amanah tersebut dan memeliharanya sesuai dengan apa
yang Allah gariskan. Sedari kecil hingga ia dewasa, perhatiannya tidak
akan pernah hilang dan meredup. Justru ketika anaknya sudah dewasa, maka
semestinya perhatian kedua orang tuanya lebih besar. Bukan malah ia
biarkan anaknya berjalan tanpa arah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tugas orang tua adalah terus berusaha menyelamatkan dan meluruskan
keadaan anak-anaknya. Adapun hasil, maka semuanya ia serahkan kepada
Allah. Allah yang menentukan dan ia sebagai orang tua yang mengusahakan
dan mengupayakannya. Maka kita memohon kepada Allah agar mengaruniakan
kepada kita anak-anak saleh yang kelak bisa membahagiakan kita dengan
kesalehannya dan ketakwaannya. <i>Wallahu a’lam.</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>[Ustadz Abu Ruhmaa Sufyan Alwi]</b><br />
<b>(Sumber: http://tashfiyah.com)</b></div>
Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4160997826377756380.post-64760234062885648972017-02-14T05:26:00.001+07:002017-02-26T05:44:32.768+07:00BOM WAKTU KOMUNISME<div class="entry-content">
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzQKtxqdiHTy6DuuK0bUm2LvfZEZJmFkywn_oop2guIYLmWSoSMyhF2GZnZC5Ez6c2XOmjcrz3dbt-UDZdYgm2qguQk4qmaD_7EtiudZnEz6KmmFsreLazi8zDd334_fpQSm9u7O3wCVU9/s1600/images.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzQKtxqdiHTy6DuuK0bUm2LvfZEZJmFkywn_oop2guIYLmWSoSMyhF2GZnZC5Ez6c2XOmjcrz3dbt-UDZdYgm2qguQk4qmaD_7EtiudZnEz6KmmFsreLazi8zDd334_fpQSm9u7O3wCVU9/s1600/images.jpg" /></a></div>
<span class="published">Feb 13, 2017</span> | <a href="http://asysyariah.com/category/majalah-islam-asy-syariah-edisi-113/" rel="category tag">Asy Syariah Edisi 113</a>, <a href="http://asysyariah.com/category/manhaji/" rel="category tag">Manhaji</a> </div>
<div style="text-align: justify;">
Komunis adalah sebuah kata yang tabu di telinga mayoritas rakyat
Indonesia, terlebih kaum muslimin. Bahkan, sebagian orang mungkin
sangat trauma ketika mendengar kata-kata komunis, karena dapat membuka
luka lama dan mengingatkan rekam jejak orang-orang komunis yang sadis,
kejam, dan tak berperikemanusiaan. Dengan kendaraan Partai Komunis
Indonesia (PKI), mereka bergerak. Berbagai operasi berdarah pun mereka
lakukan atas nama revolusi.</div>
<div style="text-align: justify;">
Menelisik sejarahnya, orang-orang komunis di negeri ini tak pernah
patah arang mewujudkan cita-cita jahat mereka, yaitu merebut kekuasaan
tertinggi di bumi Nusantara ini dan menjadikannya sebagai negara
komunis. Makar dan kekuatan terselubung senantiasa mereka himpun.
Kader-kader setia mereka, baik sipil maupun militer, didoktrin siaga
untuk menjalankan komando atasan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada saatnya mereka akan bergerak dengan cepat. Bila demikian, segala
cara akan mereka halalkan. Meskipun harus membunuh, menyiksa, dan
berjalan di atas darah mayat-mayat manusia yang mati bergelimpangan.
Sebagaimana yang terjadi di Uni Soviet, induk semang PKI baik di masa
Vladimir Ilyich Lenin maupun Joseph Stalin.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada November 1926, PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan
kolonial Belanda di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan
terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dapat dihancurkan secara
brutal oleh penguasa kolonial dan pada 1927 PKI dinyatakan terlarang.
Walau demikian PKI tak putus asa. Sebagai kekuatan komunisme terbesar
nomor tiga dunia saat itu setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat
Tiongkok (RRT), PKI terus bergerak di bawah tanah.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a>Pada 1945, setelah Jepang menyerah, PKI muncul kembali di panggung
politik dan secara aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan
dari Belanda. Banyak unit bersenjata berada di bawah kontrol atau
pengaruh PKI.<br />
<div style="text-align: justify;">
Pada 11 Agustus 1948 Musso (salah seorang tokoh senior PKI) kembali
ke Jakarta setelah dua belas tahun tinggal di Uni Soviet. Politbiro PKI
direkonstruksi, termasuk D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Njoto. Pada 5
September 1948 Musso memberikan pidato anjuran agar Indonesia merapat
kepada Uni Soviet. Anjuran itu akhirnya berujung pada peristiwa
pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika bangsa Indonesia dalam keadaan genting, sedang bersiap-siap
menghadapi kemungkinan agresi Belanda II, PKI berkhianat terhadap bangsa
dan negara dengan melakukan pemberontakan di Kota Madiun, Jawa Timur.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada 18 September 1948, PKI mengumumkan proklamasi ‘Republik Soviet
Indonesia’ dengan Musso sebagai Presiden dan Amir Syarifuddin sebagai
Perdana Menteri. Namun, dengan pertolongan dari Allah <i>subhanahu wa ta’ala, </i>pada
30 September Madiun bisa diambil alih oleh Tentara Nasional Indonesia
(TNI) dari Divisi Siliwangi. Musso dan beberapa pemimpin PKI lainnya
berhasil ditangkap dan dieksekusi pada 31 Oktober 1948.</div>
<div style="text-align: justify;">
PKI bangkit kembali pada tahun 1950. Berbagai kegiatannya mulai aktif, termasuk penerbitan dengan organ utamanya <i>Harian Rakjat </i>dan <i>Bintang</i> <i>Merah</i>.
Di bawah kepemimpinan D.N. Aidit, PKI berkembang sangat pesat. Di
samping kaderisasi ke dalam terus dilakukan, pendekatan kepada kaum
nasionalis dan agamis pun digalakkan. Tak heran, pada era 1960-an
dicetuskan istilah NASAKOM (Nasionalisme, Agama, Komunisme) oleh
Presiden Soekarno. Sekian tahun lamanya, PKI dapat mengambil hati
presiden. Tokoh-tokohnya pun banyak yang menduduki jabatan strategis
pemerintahan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada 14 September 1965, D.N. Aidit mengalamatkan kepada gerilyawan
PKI untuk mendesak anggota agar waspada dari berbagai kemungkinan yang
akan datang. Pada 30 September 1965, Pemuda Rakyat dan Gerwani—dua
organisasi PKI—menggelar unjuk rasa massal di Jakarta terkait dengan
inflasi yang melanda.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal senior
Indonesia dibunuh dan mayat mereka dibuang ke dalam sumur. Pembunuh para
jenderal mengumumkan keesokan harinya bahwa Dewan Revolusi baru telah
merebut kekuasaan. Mereka menyebut diri sebagai Gerakan 30 September
(G30S).</div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan pertolongan dari Allah <i>subhanahu wa ta’ala</i> kemudian
kerja sama yang baik antara TNI dengan rakyat terutama kaum muslimin,
pemberontakan G30S/PKI ini dapat dihancurkan dan dinyatakan sebagai
partai terlarang pada tahun berikutnya. (Disadur dari <a href="https://id.m.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia/">https://id.m.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia/</a> dengan beberapa tambahan)</div>
<div style="text-align: justify;">
Demikianlah Partai Komunis Indonesia alias PKI, mereka sangat
berambisi untuk menguasai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
menjadikannya sebagai negara komunis. Walau sudah puluhan tahun dibatasi
ruang gerak mereka, namun geliat gerakan bawah tanahnya terus berjalan.
Secara senyap mereka bermetamorfosa menjadi bentuk baru, dan menyusup
ke berbagai lini tanpa disadari.</div>
<div style="text-align: justify;">
Manakala banyak tokoh pelaku sejarah yang kontra-PKI telah meninggal
dunia, mereka pun mulai bangkit secara nyata dan sok tampil sebagai
penuntut keadilan dengan memutar fakta sejarah seolah-olah mereka adalah
korban. Terkait hal di atas, KASAD TNI Jenderal Mulyono pada 30
September 2015 lalu memberikan peringatan waspada kepada seluruh rakyat
Indonesia sebagaimana berikut.</div>
<div style="text-align: justify;">
“Komunis akan bermetamorfosa menjadi bentuk baru, gerakannya makin sulit dikenali dan menyusup ke berbagai lini tanpa disadari.”</div>
<div style="text-align: justify;">
“Kebangkitan ideologi komunis makin terlihat nyata, ada kelompok yang
ingin memutar fakta sejarah seolah mereka adalah korban.” (<a href="http://m.detik.com/news/berita/3032290/ksad-kebangkitan-ideologi-komunis-semakin-nyata-waspada/">http://m.detik.com/news/berita/3032290/ksad-kebangkitan-ideologi-komunis-semakin-nyata-waspada/</a>)</div>
<div style="text-align: justify;">
Bila demikian, PKI dan ideologi komunisme dengan segala bentuknya
ibarat bom waktu yang setiap saat siap meledak di Negara Kesatuan
republik Indonesia (NKRI) ini. Maka dari itu, wajib bagi seluruh warga
negara terutama kaum muslimin untuk waspada. Dengan memohon pertolongan
kepada Allah <i>subhanahu wa ta’ala</i>, berpegang teguh dengan Kitab
Suci al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya yang mulia dengan pemahaman para
sahabat yang mulia, serta bahu-membahu dengan pemerintah, baik sipil
maupun militer.</div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, tak kalah pentingnya bagi kita untuk mengetahui kesesatan
komunisme selaku ideologi. Sebab, dari situlah semua gerakan mereka
berawal: di ranah politik, sosial, agama, berbangsa, dan bernegara.
Harapannya, dengan mengetahui kesesatan ideologinya akan lebih kokoh
dalam membentengi diri, keluarga, bangsa dan negara dari bahaya laten
komunis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Komunisme dan Latar Belakangnya</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam <i>Kamus Besar Bahasa Indonesia </i>(KBBI) disebutkan bahwa
komunisme adalah paham atau ideologi (di bidang politik) yang menganut
ajaran Karl Marx dan Fredrich Engels yang bermaksud menghapus hak milik
perseorangan dan menggantikannya dengan milik bersama yang dikontrol
oleh negara.</div>
<div style="text-align: justify;">
Merunut asal usulnya, komunisme merupakan buah dari akar-akar
ideologi sosialisme yang digulirkan oleh seorang keturunan Yahudi Jerman
yang bernama Karl Marx. Dalam <i>Kamus Besar Bahasa</i> <i>Indonesia </i>(KBBI)
disebutkan, sosialisme adalah ajaran atau paham kenegaraan dan ekonomi
yang berusaha supaya harta benda, industri, dan perusahaan menjadi milik
negara.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari sisi latar belakang, ideologi sosialisme-komunisme muncul ketika
kalangan atas alias borjuis banyak menguasai permodalan usaha dan tak
memedulikan kalangan bawah (proletar). Dengan kata lain,
sosialisme-komunisme muncul untuk menumbangkan kapitalisme-imperialisme
barat yang saat itu sedang berjaya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kaum sosialis-komunis bercita-cita agar kalangan bawah (proletar)
yang mayoritasnya adalah buruh dan petani bisa sejahtera dan berkuasa.
Menurut anggapan mereka, hanya dengan sosialisme-komunisme cita-cita
tersebut akan tercapai.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di antara langkah yang harus ditempuh adalah memasukkan harta benda,
industri, dan perusahaan ke dalam kepemilikan negara, tidak boleh
dimiliki oleh perseorangan (swasta). Dengan demikian, tidak ada
kesempatan bagi kalangan borjuis untuk menguasai modal dan menimbun
harta. Dengan itulah—menurut mereka—kapitalisme dapat ditumbangkan dan
keadilan dapat ditegakkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pemantik utama bergulirnya
sosialisme adalah perbedaan kelas atau tingkat sosial kemasyarakatan
yang dinilai dengan standar materi dan pembelaan terhadap kalangan bawah
(proletar). Adapun komunisme merupakan penerapan radikal dari
sosialisme dalam lapangan politik. Untuk pertama kalinya, komunisme
diterapkan dalam lapangan politik di Uni Soviet oleh Vladimir Ilyich
Lenin.</div>
<div style="text-align: justify;">
Asy-Syaikh al-Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhali y ketika mengkritisi
paham sosialis yang ada pada Sayyid Quthb mengatakan, “Tidak
tersembunyi bahwa ini adalah argumentasi orang-orang komunis dan
sosialis untuk menguasai harta manusia dan menjadikannya milik bersama
dengan isu keadilan, persamaan, dan kepentingan bersama.</div>
<div style="text-align: justify;">
Itulah argumentasi orang-orang komunis dan sosialis, padahal itu
adalah kezaliman, kecurangan, pendiskreditan umat manusia dan berbagai
kepentingan mereka, serta menjadikan orang-orang kaya di antara mereka
dan orang-orang miskin sebagai budak-budak yang hina setelah harta
mereka dirampas.</div>
<div style="text-align: justify;">
Berbagai jaminan palsu yang dipromosikan oleh orang-orang sosialis
itu pun pasti akan menguap dan sirna. Cukuplah rekam jejak
pemerintahan-pemerintahan sosialis-komunis sebagai pelajaran terbesar
bagi orang-orang yang dapat mengambil pelajaran.” (<i>Adhwa’</i> <i>Islamiyyah ala Aqidah Sayyid Quthb wa</i> <i>Fikrihi</i>, hlm. 215—216)</div>
<div style="text-align: justify;">
Islam menolak komunisme dan kapitalisme. Islam berada di antara
keduanya dan tidak membutuhkan keduanya. Komunisme memasung hakhak
kalangan atas. Kapitalisme memasung hak-hak kalangan bawah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Islam tidak memasung hak-hak keduanya, justru memerhatikannya.
Kalangan atas dan kalangan bawah, sama-sama mendapatkan haknya secara
adil, sesuai kapasitas dan porsinya. Islam tidak menjadikan kalangan
atas dan kalangan bawah sebagai dua tingkatan yang bermusuhan. Bahkan,
Islam berupaya merapatkan keduanya dalam tatanan kehidupan sosial
kemasyarakatan yang indah dan menjadikan keduanya sebagai dua kekuatan
yang saling melengkapi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam.</i></div>
<div style="text-align: justify;">
Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> menyandingkan
sahabat yang kaya dengan yang miskin dalam majelis-majelis beliau.
Bahkan, dalam shalat berjamaah lima waktu yang merupakan momen
bermunajat kepada Allah paling mulia dalam Islam, nyaris tak terbedakan
antara si kaya dan si miskin. Semua berdiri sama tinggi dan sama rendah
menghadap Allah <i>subhanahu wa ta’ala. </i>Nilai kemuliaan seseorang tidak terletak pada materi atau tingkatan sosialnya, tetapi pada ketakwaannya kepada Allah <i>subhanahu wa ta’ala.</i></div>
<div style="text-align: justify;">
Di dalam Islam, kekayaan berupa harta benda, industri, perusahaan dan lain-lain merupakan rezeki yang datang dari Allah <i>subhanahu wa ta’ala. </i>Dengan keadilan-Nya yang Mahasempurna, Allah <i>subhanahu wa ta’ala</i>
mengatur pembagian rezeki tersebut kepada siapa saja yang Dia kehendaki
sesuai dengan porsinya masing-masing. Ada yang diberi kelapangan dan
ada pula yang diberi kesempitan. Semua itu sebagai tanda kekuasaan-Nya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Allah <i>subhanahu wa ta’ala</i> berfirman,</div>
<h3 style="text-align: justify;">
<span style="color: green;"><b>أَوَ
لَمۡ يَعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ
وَيَقۡدِرُۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ</b></span> ٥٢</h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i>“Tidakkah mereka mengetahui bahwa
Allah melapangkan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang
dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.” </i><b>(az-Zumar: 52)</b></div>
<h3 style="text-align: justify;">
<span style="color: green;"><b>وَٱللَّهُ فَضَّلَ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ فِي ٱلرِّزۡقِۚ</b></span></h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i>“Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rejeki.” </i><b>(an-Nahl: 71)</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Islam selalu merekatkan hubungan antara kalangan atas dan kalangan
bawah, si kaya dan si miskin. Tidak seperti kapitalisme yang
memposisikan kalangan atas pada posisi yang tinggi, sementara kalangan
bawah menjadi orang rendahan yang tak mungkin disandingkan. Tidak pula
seperti komunisme yang memosisikan kalangan atas sebagai musuh yang
harus diperangi dan diambil hartanya, sementara kalangan bawah menjadi
kaum tertindas yang harus dibela dan diperjuangkan haknya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di antara bentuk bimbingan Islam yang indah dalam merekatkan hubungan
antara kalangan atas dengan kalangan bawah adalah adanya zakat, infak,
dan sedekah dengan berbagai jenisnya; zakat mal (harta), zakat
peternakan, zakat hasil pertanian, <i>rikaz</i>, dan lain-lain. Ia
dikeluarkan oleh si kaya lalu disalurkan kepada yang berhak
mendapatkannya, termasuk orang-orang fakir dan miskin. Bahkan, tidaklah
zakat fitrah disalurkan melainkan untuk kalangan bawah fakir dan miskin
semata.</div>
<div style="text-align: justify;">
Adanya <i>kaffarah </i>(denda) karena pelanggaran tertentu dalam
agama dengan cara membebaskan budak atau memberi makan fakir dan miskin
juga merupakan sentuhan langsung terhadap kalangan bawah. Tuntunan
memasak daging dengan kuah yang banyak supaya bisa berbagi dengan
tetangga, menyantuni anak-anak yatim dan para janda, larangan membunuh
anak-anak, wanita, dan orang lanjut usia (lansia) dalam pertempuran,
hingga anjuran tebar senyum sebagai bentuk sedekah; merupakan bukti
tentang perhatian Islam terhadap kalangan bawah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di sisi lain, Islam memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk
mencari rezeki. Segala yang dihasilkan dari jerih payah tersebut berupa
harta benda, industri, perusahaan dan lain-lain pun sah menjadi hak
miliknya. Dia berkewenangan untuk mengelolanya dan menikmati hasilnya.
Ini menunjukkan bahwa Islam memerhatikan kalangan atas.</div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, Islam mengharamkan kezaliman dan tindakan semena-mena. Islam
tidak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dan meraup
keuntungan. Maka dari itu Islam mengharamkan riba, suap, monopoli
perdagangan, kecurangan, penimbunan barang dagangan agar harga
melambung, dan tindakan liar lainnya. Ini menunjukkan bahwa Islam
kontra-kapitalisme.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Pokok-Pokok Ideologi Komunis</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Banyak orang mengira bahwa sosialisme-komunisme hanyalah sebatas
ideologi yang berkaitan dengan sistem ekonomi dan politik yang bermaksud
menghapus milik perseorangan dan menggantikannya dengan milik bersama.
Sebuah ideologi yang kontra total dengan kapitalisme dan berusaha
mengangkat derajat kalangan bawah. Padahal masalahnya tak sebatas itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sosialisme-komunisme mempunyai pokok-pokok ideologi kufur yang sangat
bertentangan dengan Islam bahkan semua agama samawi. Pokok-pokok
ideologi komunis tersebut antara lain,</div>
<ol style="text-align: justify;">
<li>Tidak ada tuhan, dan hidup adalah materi (materialistis)</li>
<li>Ingkar terhadap hari kiamat</li>
<li>Ingkar terhadap al-Jannah (surga) dan an-Naar (neraka)</li>
<li>Menentang semua agama</li>
</ol>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Asy-Syaikh al-Allamah Abdul Aziz bin Baz <i>rahimahullah</i> berkata, “Di antara akidah kufur yang bertentangan dengan akidah yang benar dan menyelisihi agama yang dibawa oleh para rasul <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam </i>adalah
keyakinan kaum ateis masa kini pengikut Karl Marx, Vladimir Ilyich
Lenin, dan para penyeru ateis dan kekufuran selain mereka, baik mereka
beri nama dengan sosialisme, komunisme, <i>ba’ts</i>, atau yang selainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di antara pokok-pokok ideologi mereka antara lain; tidak ada tuhan,
dan hidup adalah materi (materialistis), ingkar terhadap hari kiamat,
ingkar terhadap al-Jannah dan an-Naar, dan menentang semua agama.</div>
<div style="text-align: justify;">
Barang siapa meneliti buku-buku referensi mereka dan mengkaji
pokok-pokok ideologi mereka, niscaya ia akan tahu dengan penuh keyakinan
dan tanpa keraguan bahwa akidah ini bertentangan dengan semua agama
samawi. Dia juga akan yakin bahwa akidah ini akan mengantarkan
penganutnya kepada kesudahan terburuk di dunia dan di akhirat.” (<i>al-Aqidah ash-Shahihah wama</i> <i>Yudhadduha</i>, hlm. 12—13)</div>
<div style="text-align: justify;">
Ideologi mereka bahwa tidak ada tuhan, dan hidup adalah materi
(materialistis); sungguh merupakan kekufuran yang nyata. Ideologi bahwa
tidak ada tuhan (baca: Rabb) yang menciptakan alam semesta dan seisinya
adalah ideologi ateis yang membinasakan. Ia bertentangan dengan Kitab
Suci dan fitrah yang suci. Allah <i>subhanahu wa ta’ala</i> berfirman,</div>
<h3 style="text-align: justify;">
<span style="color: green;"><b>أَمۡ خُلِقُواْ مِنۡ غَيۡرِ شَيۡءٍ أَمۡ هُمُ ٱلۡخَٰلِقُونَ</b> ٣٥ <b>أَمۡ خَلَقُواْ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَۚ بَل لَّا يُوقِنُونَ</b></span> ٣٦</h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i>“Apakah mereka diciptakan tanpa
sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?
Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? sebenarnya mereka
tidak meyakini (apa yang mereka katakan).” </i><b>(ath-Thur: 35—36)</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Asy-Syaikh al-Allamah Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di <i>rahimahullah</i>
berkata, “Ini merupakan bentuk penyajian argumen, dengan sesuatu yang
mau tidak mau mereka harus tunduk kepada kebenaran atau keluar dari
konsekuensi akal dan agama. Penjelasannya adalah bahwa mereka
mengingkari <i>tauhidullah</i> dan mendustakan Rasul-Nya yang mengharuskan pengingkaran bahwa Allah yang menciptakan mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sungguh, telah ditetapkan sebagai hukum akal dan syariat bahwa hal ini tidak keluar dari tiga keadaan, yaitu</div>
<div style="text-align: justify;">
(1) bisa jadi mereka tercipta dengan sendirinya, yakni tanpa ada Sang
Pencipta yang menciptakan mereka, tetapi ada dengan sendirinya. Ini
tentunya sangat mustahil. Atau</div>
<div style="text-align: justify;">
(2) mereka menciptakan diri mereka sendiri. Ini juga mustahil. Jika
dua kemungkinan itu batil dan mustahil terjadi, tinggal kemungkinan
ketiga bahwa</div>
<div style="text-align: justify;">
(3) Allah yang menciptakan mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
Jika hal ini telah diakui maka dapatlah diketahui bahwa Allah-lah
satu-satunya Dzat yang patut diibadahi dan tidaklah pantas suatu ibadah
diberikan kecuali hanya kepada-Nya.” (<i>Taisir al-Karimir</i> <i>Rahman</i>, hlm. 816)</div>
<div style="text-align: justify;">
Setiap manusia yang mengarungi kehidupan ini pasti mempunyai problem.
Terkadang problem itu amat berat dan sulit dipecahkan. Saat itulah
jiwanya terfitrah mencari tempat bersandar dan mengadu yang di atas
manusia, bahkan yang menciptakan manusia dan seluruh jagat raya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Ideologi mereka bahwa hidup adalah materi (materialistis) sangat
bertentangan dengan prinsip Islam yang menekankan bahwa hidup adalah
berserah diri dan menghamba kepada Allah <i>subhanahu wa ta’ala. </i>Tunduk dan patuh kepada-Nya dengan menjalankan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Materi adalah bagian dari kehidupan dunia yang fana. Ia adalah fitnah
yang dapat menjadikan pemiliknya semena-mena dan melampaui batas. Allah
<i>subhanahu wa ta’ala</i> berfirman,</div>
<h3 style="text-align: justify;">
<span style="color: green;"><b>كَلَّآ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ</b> ٦ <b>أَن رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ</b></span> ٧</h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i>“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena Dia melihat dirinya serba cukup.” </i><b>(al-Alaq: 6—7)</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Kehidupan materialistis tak ubahnya kehidupan binatang. Itulah kehidupan orang-orang kafir di muka bumi ini. Allah <i>subhanahu wa ta’ala</i> berfirman,</div>
<h3 style="text-align: justify;">
<span style="color: green;"><b>إِنَّ
ٱللَّهَ يُدۡخِلُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ
يَتَمَتَّعُونَ وَيَأۡكُلُونَ كَمَا تَأۡكُلُ ٱلۡأَنۡعَٰمُ وَٱلنَّارُ
مَثۡوٗى لَّهُمۡ</b> </span>١٢</h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i>“Sesungguhnya Allah memasukkan
orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam al-Jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai. Orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia)
dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan Jahannam adalah tempat
tinggal mereka.” </i><b>(Muhammad: 12)</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Ideologi mengingkari hari kiamat, al-Jannah dan an-Naar merupakan
kekufuran yang nyata. Beriman kepada hari kiamat, al-Jannah, dan an-Naar
merupakan salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh setiap muslim.
Barang siapa mengingkarinya, dia kafir. Allah <i>subhanahu wa ta’ala</i> berfirman,</div>
<h3 style="text-align: justify;">
<span style="color: green;"><b>يَوۡمَ تَمُورُ ٱلسَّمَآءُ مَوۡرٗا</b></span> ٩ <span style="color: green;"> <b>وَتَسِيرُ ٱلۡجِبَالُ سَيۡرٗا</b></span> ١٠ <span style="color: green;"><b>فَوَيۡلٞ يَوۡمَئِذٖ لِّلۡمُكَذِّبِينَ</b></span> ١١ <span style="color: green;"><b>ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي خَوۡضٖ يَلۡعَبُونَ</b></span> ١٢<span style="color: green;"> <b>يَوۡمَ يُدَعُّونَ إِلَىٰ نَارِ جَهَنَّمَ دَعًّا</b></span> ١٣ <span style="color: green;"><b>هَٰذِهِ ٱلنَّارُ ٱلَّتِي كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ</b></span>١٤</h3>
<div style="padding-left: 30px; text-align: justify;">
<i>“Pada hari ketika langit benar-benar
bergoncang, dan gunung benar-benar berjalan. Maka kecelakaan yang
besarlah di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu)
orang-orang yang bermain-main dalam kebatilan. Pada hari mereka didorong
ke neraka Jahannam dengan sekuat- kuatnya. (Dikatakan kepada mereka),
‘Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakannya’.” </i><b> (ath-Thur: 9—14)</b></div>
<div style="text-align: justify;">
Ideologi mereka menentang semua agama merupakan bukti nyata bahwa
orang-orang komunis itu liar dan tak mau diatur oleh aturan agama.
Menurut bapak komunisme dunia, Karl Marx, agama adalah opium alias
candu. Maksudnya, agama tidak membawa kebaikan dan hanya mendatangkan
malapetaka. Agama hanya menipu dan menyesatkan masyarakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
Maka dari itu, orang-orang komunis sangat membenci orang yang taat
beragama, terkhusus muslim. Tak heran, di kala mereka mempunyai
kekuasaan dan merajalela, tokoh-tokoh muslimlah yang pertama kali
menjadi target kekejaman dan kebengisan mereka.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari paparan di atas dapatlah disimpulkan bahwa komunisme sangat
berbahaya bagi kehidupan umat manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia
pada khususnya. Maka dari itu, komunisme tak boleh hidup di Indonesia.
Pokok-pokok ideologinya yang notabene kekufuran nyata dapat
menghancurkan kehidupan beragama kita. Sistem ekonomi dan politiknya
yang radikal terhadap kepemilikan swasta dapat merusak tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pembelaan yang berlebihan terhadap kalangan
bawah alias proletar dan kebencian yang akut terhadap kalangan atas
alias borjuis dapat menimbulkan konflik internal yang berkepanjangan di
tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Komunisme adalah bahaya laten yang harus senantiasa dipantau,
diwaspadai, dan dipangkas akarnya. Komunisme bagaikan bom waktu yang
harus segera dijinakkan. Untuk menjinakkannya membutuhkan ilmu,
keberanian, ketangkasan, dan penanganan yang tepat. Kalau tidak, bukan
suatu hal yang mustahil peristiwa 1948 di Madiun dan G30S/PKI 1965
terulang kembali. <i>Na’udzu billahi min</i> <i>dzalik…</i></div>
<div style="text-align: justify;">
Mudah-mudahan Allah <i>subhanahu wa ta’ala</i> melindungi bangsa
dan negara Indonesia dari rongrongan dan makar jahat PKI, menjaga para
pemimpin bangsa dan rakyat dari pokok-pokok ideologi komunis yang sesat
dan menyesatkan, dan mencurahkan limpahan barakah kepada segenap insan
muslim yang berteguh diri di atas bimbingan Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> dan para sahabatnya yang mulia. Amiin….</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ditulis oleh <b>al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.</b></div>
</div>
Anwarussunnahpth.comhttp://www.blogger.com/profile/14749569418960087887noreply@blogger.com0