Para pembaca yang mulia, buletin kali ini adalah sajian khusus
untuk kaum wanita di bulan Ramadhan. Namun bukan berarti hanya khusus
dibaca oleh mereka saja, karena faedahnya bisa diambil oleh selainnya.
Bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, bulan yang dirindukan oleh
para pencari kebaikan. Pada bulan inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala
membuka pintu-pintu al-Jannah (surga) dan menutup pintu-pintu an-Naar
(neraka), serta membelenggu syaithan, setelah itu diserukan:
“…Wahai para pencari kebaikan, sambutlah…” (HR. at-Tirmidzi no. 682 dan yang lainnya)
Sore hari, seorang ibu rumah tangga sibuk menyiapkan hidangan buka
puasa untuk keluarganya. Malam harinya menjelang sahur, ia pun bangun
lebih awal untuk menyiapkan hidangan makan sahur. Kesibukan semakin
bertambah di kala pekan terakhir menjelang Idul Fitri, sang ibu sibuk
merancang aneka masakan ataupun kue untuk dihidangkan pada hari yang
berbahagia itu. Ia juga memikirkan baju baru untuk anak-anaknya. Semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tambahan hidayah kepada para ibu
dan balasan yang baik atas amalan yang mereka lakukan.
Nasehatku untuk para ibu dan kaum wanita, walaupun kalian memikul
tugas dan kewajiban yang berat, namun jangan sampai lalai untuk
mempelajari ibadah puasa yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, terkhusus yang terkait dengan kalian
sendiri. Laksanakanlah ibadah puasa dengan sebenar-benarnya, karena ia
sebagai wasilah (perantara) untuk meraih derajat takwa, suatu bekal yang
paling baik dan paling berharga untuk bertemu dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Amalan-amalan Mubah
Ada beberapa masalah yang disangka membatalkan puasa ternyata tidak membatalkan. Di antaranya:
1. Dalam hal memasak
Tidak mengapa mencicipi masakan bila diperlukan selama tidak ditelan
dengan sengaja. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah atsar Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanad dengan lengkap) bahwa beliau berkata:
“Tidaklah mengapa (bagi orang yang berpuasa) mencicipi masakan atau sesuatu yang lain.”
(Lihat Fathul Bari hadits no. 1930)
Kemudahan yang diberikan oleh agama ini manfaatkanlah dengan tanpa
berlebihan. Masalah ini kelihatannya sepele, namun bisa menjadi penting
dan berarti, karena jika masakan yang disajikan itu enak rasanya tentu
lebih disukai oleh keluarga.
Nasehatku, di saat kalian memasak janganlah berlebihan dalam hidangan
berbuka atau sahur dengan berbagai macam masakan dan minuman.
Perhatikanlah waktu dengan sebaik-baiknya. Di kala sore hari saat
memasak jangan lupa sisakan waktu untuk berdzikir (dzikir petang),
karena itu adalah amalan yang besar apalagi di bulan Ramadhan.
Demikian pula di malam hari saat menyiapkan makan sahur sisakan waktu
untuk berdoa, karena waktu sahur termasuk di antara waktu-waktu yang
mustajab.
2. Berhias atau berdandan
Tidaklah mengapa kalian berdandan di depan suami atau mahram-nya.
Memakai inai (pacar kuku), parfum (selama tidak untuk keluar rumah),
memotong kuku, mencabut bulu ketiak, atau yang lainnya selama tidak
melanggar batasan syariat.
3. Bercumbu dengan Suami
Di siang hari tidak mengapa kalian bercumbu dan bercengkerama dengan
suami, asalkan tidak dikhawatirkan terjatuh ke dalam amalan yang
diharamkan ketika berpuasa yaitu jimak (bersetubuh). Al-Imam al-Bukhari
dan al-Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Aisyah, beliau berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
mencium dan mencumbu istrinya dalam keadaan beliau berpuasa, namun
beliau adalah orang yang paling mampu mengekang syahwatnya di antara
kalian”. (HR. al-Bukhari no. 1826 dan Muslim no. 1106)
Asy-Syaikh bin Baz berkata, “Ciuman, cumbuan dan sentuhan seorang
suami terhadap istrinya tanpa hubungan jimak dalam keadaan ia berpuasa
semua itu boleh, tidak ada pantangan baginya. Dikarenakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mencium dan mencumbu istrinya dalam
keadaan beliau berpuasa. Namun apabila dikhawatirkan menyebabkan
terjatuh ke dalam hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
karena syahwatnya mudah bangkit, maka hal itu makruh baginya. (Lihat
Fatawa Ramadhan no. 379 dan 380)
Wanita Haid atau Nifas
Haid dan nifas, keduanya adalah pembatal puasa, dengan demikian
seorang wanita yang mengalami haid atau nifas haram baginya berpuasa
dan diwajibkan mengqadha’ (mengganti puasa yang ditinggalkan) di hari
yang lain. Dasarnya adalah hadits Aisyah
radhiyallahu ‘anha,
beliau pernah ditanya oleh Mu’adzah, mengapa seorang wanita yang haid
diwajibkan mengqadha’ puasa namun tidak mengqadha’ shalat? Aisyah
menjawab:
“Dahulu kami di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga
mengalami haid, namun kami (hanya) diperintah mengqadha’ puasa dan tidak
diperintah mengqadha’ shalat. (HR. Muslim no. 335)
Hadits di atas berkenaan dengan wanita yang sedang haid, lalu
bagaimana dengan wanita yang sedang nifas? Para ulama sepakat bahwa
hukum-hukum yang berlaku untuk wanita yang sedang haid berlaku pula
untuk wanita yang sedang nifas. Karenanya, wanita yang sedang nifas
tidak boleh baginya berpuasa namun menggantinya di hari yang lain,
sebagaimana wanita yang mengalami haid.
Permasalahan yang terkait dengan haid dan nifas:
1. Wanita yang datang haidnya menjelang matahari terbenam.
Hendaknya permasalahan ini jangan dianggap ringan atau sepele, karena
sangat mungkin terjadi pada kaum wanita. Jawaban masalah ini telah
difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da`imah, “Jika seorang wanita itu datang
haidnya sebelum matahari terbenam, maka puasanya batal dan wajib atasnya
mengganti di hari yang lain.” (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no.
1034, diketuai oleh Asy-Syaikh Bin Baz)
2. Wanita yang suci dari haid atau nifas pada siang hari Ramadhan.
Wajib baginya untuk segera mandi dan sejak itu diwajibkan
melaksanakan shalat. Adapun yang terkait dengan ibadah puasa, maka ada
sebagian ulama yang berpendapat wajib baginya untuk menahan dari makan,
minum, dan seluruh pembatal puasa dari sisa waktu pada siang hari itu
hingga matahari terbenam, namun tetap wajib atasnya mengqadha’ pada hari
yang lain. Sebagian yang lain berpendapat tidak ada kewajiban menahan
dari semua pembatal puasa, hanya saja diwajibkan mengqadha’ pada hari
yang lain. Karena pada awalnya ia adalah seorang wanita yang sedang haid
yang tidak boleh baginya berpuasa. Pendapat kedua ini yang dipilih oleh
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin. (Lihat soal pertama dari
60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)
3. Wanita yang suci menjelang terbitnya fajar shadiq awal waktu shalat subuh.
Kalau memang wanita itu suci sebelum terbitnya fajar, maka wajib
baginya puasa walaupun ia baru sempat mandi setelah adzan subuh, dan
puasanya sah serta tidak ada kewajiban qadha’ baginya.
4. Wanita yang berhenti (suci) dari nifas kurang dari 40 hari,
maka wajib atasnya untuk mandi kemudian berlaku kembali kewajiban
shalat dan puasa. (Lihat soal ke-4 dari 60 Soal tentang Hukum-hukum
Wanita Haid, karya asy-Syaikh al-’Utsaimin)
5. Wanita yang mengalami istihadhah (darah yang keluar dari rahim, selain darah haid atau nifas),
maka tetap wajib baginya shalat dan puasa sebagaimana hukum wanita yang
suci. Hanya saja untuk ibadah shalat wajib baginya untuk berwudhu
setiap kali akan mengerjakan shalat.
6. Apa hukum meminum obat pencegah haid yang diperkirakan oleh seorang wanita bahwa haidnya akan datang pada bulan Ramadhan?
Asy-Syaikh Muhammad al-Wushabi dan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan
berpendapat tidaklah mengapa selama tidak mendatangkan efek samping yang
membahayakan bagi kesehatan tubuhnya.
Asy-Syaikh al-’Utsaimin menasehatkan kepada kaum wanita, “Saya
memperingatkan agar menjauh dari perbuatan itu. Dikarenakan obat-obat
itu mengandung efek samping yang sangat besar bahayanya, saya
mendapatkan keterangan ini dari para dokter. Maka perlu disampaikan
kepada kaum wanita bahwa masalah haid ini sudah menjadi takdir Allah
Subhanahu wa Ta’ala bagi kaum wanita dari anak-cucu Adam, maka terimalah
ketetapan-Nya dan berpuasalah selama tidak ada yang menghalangimu
(haid). Dan jika kamu mendapati haid tersebut maka berbukalah (jangan
berpuasa) dengan penuh ridha terhadap takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(Lihat soal ke-23 dari 60 Soal tentang Hukum-hukum Wanita Haid, karya
asy-Syaikh al-’Utsaimin)
Wanita Hamil atau Menyusui
Pada dasarnya, hamil atau menyusui bukanlah penghalang bagi wanita
untuk berpuasa. Tetapi agama ini telah memberikan keringanan bagi
keduanya untuk tidak berpuasa jika dengan puasa itu dikhawatirkan akan
membahayakan dirinya dan janin/ bayinya atau salah satunya. Namun apa
konsekuensinya?
Pembahasan masalah ini telah dibahas panjang lebar oleh para ulama.
Ringkasnya, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang
berpendapat bahwa keduanya wajib mengqadha` puasa dan membayar fidyah.
Ada juga yang berpendapat wajib qadha’ saja, dan ada yang berpendapat
wajib membayar fidyah saja, baik karena khawatir kondisi dirinya atau
khawatir terhadap janin atau bayinya.
Wall
ahu a’lam,
pendapat ketiga (terakhir) ini yang penulis pilih, tentu saja dengan
tetap menghormati pendapat yang lain. Dasarnya adalah pernyataan dari
shahabat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma.
Diriwayatkan dalam Tafsir ath-Thabari hadits no. 2759 atsar Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau melihat seorang ibu yang mengandung atau menyusui, beliau berkata:
“Kamu seperti keadaan orang yang tidak ada kemampuan berpuasa, maka
hanyalah wajib bagimu membayar fidyah dengan memberi makan pada setiap
harinya seorang yang miskin dan tidak ada kewajiban qadha’ bagimu.”
Diriwayatkan di dalam Sunan ad-Daruquthni no. 2413 atsar dari shahabat Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhu, suatu saat istrinya yang sedang hamil bertanya kepadanya, maka beliau berkata:
“Berbukalah dan berilah makan pada setiap harinya seorang yang miskin.”
Kedua riwayat di atas dishahihkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam al-Irwa’ 4/18.
Nasehatku, ketika kalian tidak menjalankan ibadah puasa karena
datangnya haid, nifas, hamil, menyusui, atau sebab yang lain, maka
hendaknya kalian menyibukkan dengan ibadah-ibadah yang lain, seperti
menjaga dzikir di waktu pagi dan petang yang dituntunkan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak lupa juga memperbanyak amalan
shadaqah, dan meramaikan rumah kalian dengan berbagai amalan kebaikan
yang lainnya.
Demikian juga di saat kalian tidak berpuasa hendaknya tetap menjaga
lisan dari berbuat ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), mencela,
berkata-kata kotor atau berbuat dengan perbuatan-perbuatan orang bodoh.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’alamenerima amalan kita dan menggolongkan kita termasuk hamba-Nya yang bertakwa.
Wall
ahu a’lamu bish shaw
ab…
Penulis: Ustadz Arif Abdurrahman
Sumber
http://buletin-alilmu.net/2011/08/14/wanita-di-bulan-ramadhan/