(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar)
عَنِ
ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ :قَالَ
رَسُولُ الله ِ: مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ
لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
Dari Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah sekawanan kambing lebih
merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya
untuk mendapatkan harta dan kedudukan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no.
2482) melalui jalan Suwaid bin Nashr, dari Abdullah bin Al-Mubarak,
dari Zakariya bin Abi Zaidah, dari Muhammad bin Abdirrahman, dari Ibn
Ka’b bin Malik, dari ayahnya, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ”Hadits ini diriwayatkan melalui jalan lain dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya dari hadits Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Usamah bin Zaid, Abu Sa’id, dan ‘Ashim bin ‘Adi Al-Anshariradhiallahu ‘anhum.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah (3/456).
Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam Ash-Shahihul Musnad (2/178) dan Asy-Syaikh Al-Albani di dalamShahihul Jami’ (no. 5620).
Al-Qadhi rahimahullah menerangkan,
hadits ini shahih dan sangat masyhur. Kami memperoleh hadits ini lebih
dari satu jalur periwayatan. Secara umum, pada lafadz hadits terdapat
perbedaan kata namun bermakna sama.
Makna Hadits
Makna
hadits ini, kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala lapar
yang dibiarkan bebas di antara sekawanan kambing masih belum seberapa
apabila dibandingkan kerusakan yang muncul karena ambisi seseorang untuk
mendapatkan kekayaan dan kedudukan. Karena, ambisi untuk mendapatkan
harta dan kedudukan akan mendorong seseorang untuk mengorbankan
agamanya. Adapun harta, dikatakan merusak karena ia memiliki potensi
untuk mendorongnya terjatuh dalam syahwat serta mendorongnya untuk
berlebihan dalam bersenang-senang dengan hal-hal mubah. Sehingga akan
menjadi kebiasaannya. Terkadang ia terikat dengan harta lalu tidak dapat
mencari dengan cara yang halal, akhirnya ia terjatuh dalam perkara
syubhat. Ditambah lagi, harta akan melalaikan seseorang dari zikrullah.
Hal-hal seperti ini tidak akan terlepas dari siapapun.
Adapun
kedudukan, cukuplah sebagai bukti kerusakannya bahwa harta dikorbankan
untuk meraih kedudukan. Sementara kedudukan tidak mungkin dikorbankan
hanya untuk mendapatkan harta. Inilah yang dimaksud dengan syirik khafi
(syirik yang tersamar). Dia tenggelam di dalam sikap oportunis,
merelakan prinsipnya hilang, kenifakan, dan seluruh akhlak tercela.
Maka, ambisi terhadap kedudukan lebih merusak dan lebih merusak. (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi)
Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (di
dalam hadits ini) mengabarkan bahwa ambisi untuk memperoleh kedudukan
dapat merusak agama seseorang. Kerusakannya tidak kurang dari kerusakan
yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala terhadap sekawanan kambing.
Agama seorang hamba tidak akan selamat bila ia memiliki ambisi untuk
memperoleh harta dan kedudukan, hanya sedikit yang dapat selamat.
Perumpamaan yang teramat agung ini memberikan pesan untuk benar-benar
waspada dari keburukan ambisi untuk memperoleh harta dan kedudukan di
dunia.”
Beliau rahimahullah juga
berkata, “Ambisi seseorang terhadap kedudukan tentu lebih berbahaya
dibandingkan ambisinya terhadap harta. Karena usaha untuk mendapatkan
kedudukan duniawi, derajat tinggi, kekuasaan atas orang lain, dan
kepemimpinan di atas muka bumi, lebih besar mudaratnya dibandingkan
usaha mencari harta. Sungguh besar mudaratnya. Bersikap zuhud dalam hal
ini begitu sulit.” (Syarh Ibnu Rajab)
Menjaga Agama Adalah Cita-cita Mulia
Di
dalam hadits ini terdapat faedah yang mengingatkan kita bahwa perkara
yang terpenting bagi seorang hamba adalah menjaga agamanya. Serta merasa
rugi apabila muncul kekurangan di dalam menjalankan agama. Cinta
seorang hamba terhadap harta dan kedudukan, upaya yang ia tempuh untuk
mendapatkannya, ambisi untuk meraih harta dan kedudukan, serta kerelaan
bersusah-payah untuk mengalahkan, hanya akan menyebabkan kehancuran
agama dan runtuhnya sendi-sendi agamanya. Simbol-simbol agama akan
terhapus. Bangunan-bangunan agamanya pun akan roboh. Ditambah lagi
bahaya yang akan ia hadapi karena menempuh sebab-sebab kebinasaan.
Apakah Hanya Karena Sebuah Kedudukan Kita Menjatuhkan Diri Dalam Jurang Kehancuran?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
umat Islam untuk meniru akhlak tercela kalangan Yahudi. Karena meniru
akhlak tercela mereka akan berakhir dengan kehancuran dan celaka. Di
antara sekian banyak tingkah laku Yahudi yang harus dijauhi adalah
ambisi untuk mendapatkan kedudukan. Apakah pantas seorang muslim mengaku
memperjuangkan Islam, sementara cara yang digunakan adalah cara-cara
Yahudi? Dengan berebut kursi, meraih suara terbanyak, ingin tampil ke
depan, hendak memimpin, menduduki kursi-kursi kedudukan, dan menjadi
seorang penguasa? Allah Subhanahu wa ta’alaberfirman:
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ
وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullah ketika
menjelaskan ayat di atas menyatakan, “Telah dibuat indah untuk manusia
sifat tertariknya mereka terhadap wanita dan anak keturunan serta segala
hal yang disebutkan. Allah Subhanahu wa ta’alamenyebutkan
hal ini hanyalah untuk menjelaskan sifat buruk orang-orang Yahudi.
Mereka lebih mengutamakan dunia dan ambisi terhadap kekuasaan
dibandingkan harus mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal mereka telah mengetahui kebenarannya.” (Tafsir Ath-Thabari)
Ambisi Untuk Berkuasa Pasti Disertai Sikap Menjelekkan Orang Lain
Adapun orang-orang yang berambisi untuk meraih tampuk kekuasaan, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,
mereka mengejar kekuasaan untuk melampiaskan seluruh keinginan. Yaitu
berkuasa di muka bumi, agar seluruh hati mengarah dan cenderung kepada
mereka, serta membantu mereka di dalam mewujudkan keinginan. Dalam
keadaan merekalah yang menguasai dan mengatur. Sehingga ambisi untuk
meraih kekuasaan hanya akan melahirkan kerusakan-kerusakan yang tidak
mungkin diketahui secara pasti jumlahnya kecuali oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan
muncul dosa, hasad, perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, dengki,
kezaliman, fitnah, fanatik pribadi, tanpa memedulikan lagi hak Allah Subhanahu wa ta’ala. Orang yang terhina di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala akan dimuliakan sementara orang yang dimuliakan AllahSubhanahu wa ta’ala pasti
dihina. Kekuasaan duniawi tidak mungkin sempurna kecuali dengan
cara-cara kotor seperti tersebut di atas. Kekuasaan duniawi tidak akan
tercapai kecuali dengan menempuh langkah-langkah yang penuh dengan
mafsadah, bahkan berkali-kali lipat. Sementara orang-orang yang telah
meraih kekuasaan amatlah buta dengan hal-hal ini. (Ar-Ruh, Ibnul Qayyim rahimahullah)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
“Tidak ada seorang pun yang memiliki ambisi untuk mendapatkan kekuasaan
melainkan ia pasti senang menyebutkan kekurangan dan cela orang lain,
sehingga dialah yang dikenal sebagai orang sempurna. Dia pun tidak
senang apabila ada yang menyebutkan kebaikan orang lain. Barangsiapa
gila kekuasaan maka ucapkan ‘selamat berpisah’ dari
kebaikan-kebaikannya.”
Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Ilmu
Al-Ahnaf bin Qais rahimahullah menjelaskan bahwa penyakit yang akan merusak alim ulama adalah ambisi untuk meraih kekuasaan. (‘Aja’ib Al-Atsar)
Al-Imam Ahmad rahimahullah pernah berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah, “Cinta
kekuasaan lebih disenangi orang dibandingkan emas dan perak.
Barangsiapa berambisi memperoleh kekuasaan ia akan mencari-cari aib
orang lain.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih)
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Kekuasaan lebih disenangi oleh ahli qira’ah dibandingkan emas merah.” (Al-Wara’, Al-Imam Ahmad hal. 91)
Ibnu ‘Abdus rahimahullah berkata,
“Setiap kali bertambah kemuliaan seorang alim dan bertambah tinggi
derajatnya, maka semakin cepat dia merasa ujub. Kecuali orang yang
dijaga oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan taufiq-Nya dan membuang ambisi terhadap kekuasaan dari dirinya.” (Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih 1/142, Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah)
“Ilmu
hadits adalah disiplin ilmu yang mulia. Yang sesuai untuk ilmu ini
hanyalah akhlak mulia dan perilaku yang terpuji. Ilmu ini akan
menghilangkan akhlak buruk dan perilaku tercela. Ilmu hadits adalah ilmu
akhirat, bukan ilmu dunia. Barangsiapa yang ingin mendengarkan
periwayatan hadits atau ingin menyampaikan ilmu hadits, hendaknya ia
berupaya meluruskan dan mengikhlaskan niat. Dia pun harus membersihkan
hatinya dari tujuan-tujuan duniawi dan segenap noda-nodanya. Dia pun
harus berhati-hati dari penyakit dan kotoran dari ambisi terhadap
kekuasaan.” (Muqaddimah Ibnu Shalah)
Salah
satu hal yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat, ulama
dunia senantiasa memerhatikan kekuasaan. Senang akan pujian dan massa.
Sementara ulama akhirat menjauhi hal tersebut. Mereka benar-benar
menjaga diri dari hal itu dan menyayangkan orang-orang yang terkena
penyakit tersebut.
Namun
dikarenakan telah terbiasa dan memiliki ambisi mendapatkan kedudukan,
telah menguasai pemikiran mereka. Tinggallah ilmu hanya terucap melalui
lisan sebagai sebuah adat, bukan untuk diamalkan. (Shaidul Khathir,
Ibnul Jauzirahimahullah)
Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Realisasi Cinta Kepada Allah Subhanahu wa ta’ala
Seringkali
syahwat khafiyyah (tersembunyi) yang masuk pada diri seseorang dapat
merusak realisasi cinta seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Merusak pula penghambaan dan keikhlasan di dalam beragama. Sebagaimana pernyataan Syaddad bin Aus rahimahullah, ”Wahai
sekalian sisa-sisa orang Arab. Sesungguhnya yang paling aku cemaskan
bila menimpa kalian adalah riya’ dan syahwat khafiyyah.”
Ketika ditanya tentang makna syahwat khafiyyah, Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani rahimahullah menjawab, “Syahwat khafiyyah adalah ambisi terhadap kekuasaan.”
Hadits
ini menjelaskan bahwa keyakinan yang benar tentu tidak akan membawa
dirinya untuk berambisi semacam ini. Karena bila hati telah merasakan
manisnya beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, merasakan manisnya mahabbah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, tentu
tidak ada lagi yang lebih ia cintai selain itu sampai ia menemui-Nya.
Dengan sebab inilah, keburukan dan kekejian akan dijauhkan dari orang
yang benar-benar ikhlas kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. AllahSubhanahu wa ta’ala berfirman:
كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ ۚ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah,
agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya
Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)
[Al-'Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah]
Termasuk Golongan Manakah Kita?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan
bahwa ambisi seorang hamba untuk memperoleh harta dan kekuasaan akan
merusak agamanya. Seperti halnya atau bahkan lebih parah dibandingkan
dua ekor serigala yang dibiarkan bebas di tengah-tengah kawanan kambing.
Sungguh, Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan keadaan orang yang mendapatkan catatan amal dengan tangan kirinya. Dia Subhanahu wa ta’ala menyatakan:
مَآ أَغْنَىٰ عَنِّى مَالِيَهْ. هَلَكَ عَنِّى سُلْطَٰنِيَهْ
“Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku.” (Al-Haqqah: 28-29)
Akhir
kehidupan seseorang yang haus akan kekuasaan hanyalah seperti Fir’aun.
Adapun para penumpuk harta, akhir kehidupannya hanyalah seperti Qarun.
Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberitakan keadaan Fir’aun dan Qarun di dalam kitab-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
أَوَلَمْ
يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ
كَانُوا۟ مِن قَبْلِهِمْ ۚ كَانُوا۟ هُمْ أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةًۭ
وَءَاثَارًۭا فِى ٱلْأَرْضِ فَأَخَذَهُمُ ٱللَّهُ بِذُنُوبِهِمْ وَمَا
كَانَ لَهُم مِّنَ ٱللَّهِ مِن وَاقٍۢ
“Dan
apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu
memerhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka
itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak)
bekas-bekas mereka di muka bumi, maka Allah mengazab mereka disebabkan
dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab
Allah.” (Ghafir: 21)
Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
تِلْكَ
الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي
الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri
akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan
(yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)
Sesungguhnya manusia ada empat macam.
Pertama, orang-orang yang menginginkan kekuasaan dan kerusakan di atas muka bumi, yaitu dengan durhaka kepada AllahSubhanahu wa ta’ala. Mereka
adalah para raja dan penguasa yang selalu berbuat kejahatan seperti
Fir’aun dan pengikutnya. Mereka adalah makhluk yang paling buruk. Allah Azza wa jalla berfirman:
إِنَّ
فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ
طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ ۚ
إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Sesungguhnya
Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan
penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka,
menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak
perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (Al-Qashash: 4)
Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
akan masuk Al-Jannah seseorang yang di dalam hatinya terdapat
kesombongan seberat semut kecil. Dan tidak akan masuk neraka seseorang
yang di dalam hatinya keimanan seberat semut kecil.” Kemudian ada
orang bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku merasa senang bila
pakaian dan sandalku bagus. Apakah hal ini termasuk dari kesombongan?”
Rasulullah menjawab, “Tidak,
sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Indah, Dia senang dengan
keindahan. Sombong ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”
Sikap menolak kebenaran dan merendahkan orang lain adalah sikap orang yang menginginkan kekuasaan dan kerusakan.
Kedua,
orang-orang yang menghendaki kerusakan tanpa disertai keinginan untuk
berkuasa. Seperti para pencuri dan penjahat dari kalangan orang-orang
rendahan.
Ketiga,
orang-orang yang menginginkan kekuasaan tanpa disertai kerusakan.
Sebagaimana halnya orang yang memiliki agama namun ingin menguasai yang
lain.
Keempat,
para penduduk Al-Jannah. Yaitu orang-orang yang tidak menginginkan
kekuasaan dan kerusakan di atas muka bumi. Padahal mereka lebih mulia
kedudukannya dibanding yang lain.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah
kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu
orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139)
فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
“Janganlah
kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah-(pun)
beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala)
amal-amalmu.” (Muhammad: 35)
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Padahal
kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang
mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8)
Alangkah
banyak orang yang mengharapkan kekuasaan padahal justru membuat dirinya
semakin terhina. Betapa banyak orang yang diangkat kedudukannya padahal
dirinya tidak berharap kekuasaan dan kerusakan. (As-Siyasah
Asy-Syar’iyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah)
Ulama Islam dan Kedudukan
Kepada
mereka yang mengaku sedang memperjuangkan Islam. Kepada mereka yang
merasa sedang mengibarkan bendera Islam. Apakah mereka lebih baik dari
Salaf, generasi pertama umat Islam? Apakah mereka tidak membaca biografi
para ulama? Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu dalam riwayat Muslim rahimahullah:
يَا
عَبْدَ الرَّحْمَنِ، لاَ تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ
أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ
غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai
Abdurrahman, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena sesungguhnya
bila engkau memperoleh kepemimpinan karena permintaanmu maka engkau
akan dibiarkan. Dan jika engkau memperolehnya tanpa dasar permintaan
engkau akan dibantu.” (Silakan merujuk majalah Asy Syariah Vol I/No.
06/Maret 2004/Muharram 1425 untuk keterangan lebih lengkap tentang
hadits ini, dengan tema Hukum Meminta Jabatan)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah di
dalam Siyar A’lam An-Nubala’ menyebutkan banyak kisah menakjubkan dari
sisi-sisi kehidupan para ulama. Mereka adalah manusia-manusia pilihan
yang berusaha menjauhkan diri dari kedudukan dan kekuasaan. Berikut ini
beberapa contoh yang dapat diambil ibrahnya.
- Manshur bin Al-Mu’tamir As-Sulami rahimahullah menolak
untuk diangkat sebagai seorang qadhi. Maka dikirimlah serombongan
pasukan untuk memaksanya. Kepada Yusuf bin ‘Umar, komandan pasukan
tersebut, dikatakan, ”Walaupun engkau koyak kulit tubuhnya, dia tidak
akan mau untuk menerima tawaran tersebut.” Maka, Manshur pun
ditinggalkan.
- Abu Qilabah Al-Jarmi rahimahullah, salah
seorang tabi’in, lari meninggalkan negerinya dari Bashrah hingga daerah
Yamamah dan meninggal di sana. Beliau lari untuk menghindari tawaran
menjadi seorang qadhi. Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah pernah
menemuinya dan bertanya tentang alasan beliau untuk lari menghindar.
Maka Abu Qilabah menjawab, “Aku tidak melihat sebuah perumpamaan yang
tepat untuk seorang qadhi kecuali seseorang yang tercebur di dalam
lautan yang luas, hingga kapan dia akan mampu berenang? Pasti dia akan
tenggelam.”
- Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyi rahimahullah ketika
menolak untuk diangkat menjadi seorang qadhi, beliau berkata kepada
seseorang yang menanyakan sebab penolakannya, “Apakah engkau tidak
mengerti bahwa para ulama akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama para
nabi? Sementara para qadhi akan dikumpulkan bersama para penguasa?”
- Al-Mughirah bin Abdillah Al-Yasykuri rahimahullah menolak
permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menjadi seorang qadhi. Beliau
beralasan, Sungguh demi Allah, wahai Amirul Mukminin, aku lebih memilih
dicekik oleh setan daripada harus memegang kedudukan qadha’. Ar-Rasyid
lalu berkata, “Tidak ada lagi keinginan selain itu.” Kemudian Harun
Ar-Rasyid pun mengabulkan permintaannya.
- Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata,
“Amirul Mukminin memaksa Sufyan Ats-Tsauri untuk memegang kedudukan
al-qadha’ (yakni menjadi qadhi). Maka, Sufyan pun berpura-pura menjadi
orang bodoh agar terbebas. Setelah Amirul Mukminin mengetahui hal
tersebut, maka Sufyan pun dibebaskan lalu ia melarikan diri.”
Marilah
kita membaca biografi para ulama yang lain, seperti Abu Ja’far Muhammad
bin Jarir Ath-Thabari, Abu ‘Amr Abdurrahman bin ‘Amr Al-Auza’i,
Muhammad bin Wasi’ bin Jabir Al-Akhnas, Abu Sufyan Waki’ ibn Al-Jarrah
Al-Kufi, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, Abu Ya’la Mu’alla bin
Manshur Ar-Razi, Abdullah bin Idris bin Yazid Al-Kufi, dan yang lain.
Mereka berusaha menjauhi kursi kedudukan. Benar-benar mengagumkan.
Apabila
demikian sikap para ulama Islam, maka apakah mereka yang berebut kursi
dan mencari suara terbanyak dapat dikatakan sedang memperjuangkan Islam?
Dusta dan sungguh dusta lisan mereka. Mungkin terbersit dalam benak,
jika kita tidak menduduki kursi-kursi penting maka Islam akan
diinjak-injak? Maka, jawabnya ada pada pendirian seorang Imam Ahlus
Sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Disebutkan
dalam Mihnatul Imam Ahmad (hal. 70-72) beliau berkata, ”Sungguh,
sekali-kali tidak mungkin hal itu akan terjadi! Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala pasti
akan membela agama-Nya. Sesungguhnya ajaran Islam ini memilki Rabb yang
akan menolongnya. Dan sesungguhnya dienul Islam ini sangat kuat dan
kokoh.”
Wallahu a’lam.
Sumber : asysyariah.com