Saudaraku, menelusuri jejak
kehidupan orang-orang yang mulia, bermartabat tinggi, dan terhormat dari
kalangan para nabi, kaum shiddiqin, syuhada, dan orang saleh, kita
dapatkan bahwa semua itu mereka dapatkan dan raih dengan pengorbanan
yang sangat besar dan tidak sedikit.
Bahkan, sampai harus mengorbankan darah
dan nyawa. Sungguh, mereka adalah sederetan orang-orang mulia dan
bahagia, kaum yang memiliki jiwa pemberani dan tabah menghadapi berbagai
tantangan dan risiko dalam hidup.
Mereka adalah barisan orang-orang yang
memiliki tingkat kesabaran yang tinggi dalam menghadapi ujian dan cobaan
hidup yang jika disodorkan kepada kita, niscaya kita akan lari dari
agama-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada nabi dan rasul-Nya,
فَٱصۡبِرۡ كَمَا صَبَرَ أُوْلُواْ ٱلۡعَزۡمِ مِنَ ٱلرُّسُلِ
“Bersabarlah engkau sebagaimana bersabarnya ulul ‘azmi dari para rasul.” (al-Ahqaf: 35)
Apakah yang menyebabkan mereka siap
memikul risiko hidup yang sangat besar? Jawabannya adalah apa yang
diceritakan oleh Allah tentang para nabi dan rasul dalam kitab suci-Nya,
فَإِن تَوَلَّيۡتُمۡ فَمَا سَأَلۡتُكُم مِّنۡ أَجۡرٍۖ إِنۡ أَجۡرِيَ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِۖ وَأُمِرۡتُ أَنۡ أَكُونَ مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ٧٢
“Jika kalian
berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta imbalan sedikit pun
dari kalian dan sesungguhnya imbalanku tidak lain hanyalah dari Allah
belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang
berserah diri (kepada-Nya).” (Yunus: 72)
وَيَٰقَوۡمِ لَآ أَسَۡٔلُكُمۡ عَلَيۡهِ مَالًاۖ إِنۡ أَجۡرِيَ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِۚ
Dan (Nabi Nuh
berkata), “Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kalian
(sebagai imbalan) bagi seruanku. Imbalanku hanyalah dari Allah.” (Hud: 29)
وَمَآ أَسَۡٔلُكُمۡ عَلَيۡهِ مِنۡ أَجۡرٍۖ إِنۡ أَجۡرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٢٧
Dan (Hud
berkata), “Sekali-kali aku tidak minta imbalan dari kalian atas ajakan
itu; imbalanku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam.” (asy-Syu’ara: 127)
Dalil-dalil di atas memberitahukan bahwa
mereka menjadi barisan hamba yang sangat tangguh, pemberani, dan sabar
di hadapan ujian dan cobaan hidup yang sangat besar, karena yang mereka
kejar adalah cinta, ridha, kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala, mengharapkan pertemuan serta perjumpaan dengan-Nya, dan masuk ke dalam surga-Nya.
Saudaraku, kita bisa merenungi bahwa
jika yang mereka kejar adalah cinta dari manusia, kedekatan dengan
mereka, dan memiliki kedudukan dalam kalbu setiap insan, sungguh mereka
tidak akan sampai kepada kemuliaan yang setinggi itu, kedudukan yang
sangat berharga. Justru sebaliknya, mereka akan dihinakan, direndahkan,
serta akan menjadi bulan-bulanan banyak pihak.
Sadarlah kita bahwa fitnah, malapetaka,
ujian, dan berbagai cobaan yang menimpa berguna untuk menyaring siapa
yang jujur keimanannya dan yang berdusta. Menyaring siapa yang terbaik
amalnya dan yang paling jelek.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
memasukkan kita ke dalam golongan yang lulus dari saringan dan menjadi
orang yang jujur dalam semua aktivitas ibadah kepada- Nya. Amin.
Kebaikan dan Kejelekan Adalah Ujian
Kebaikan dan kejelekan, kebenaran dan
kebatilan, petunjuk dan kesesatan, tauhid dan kesyirikan, sunnah dan
bid’ah, serta keimanan dan kekafiran, sesungguhnya adalah ujian dari
Allah subhanahu wa ta’ala.
وَنَبۡلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلۡخَيۡرِ فِتۡنَةٗۖ وَإِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ ٣٥
“Dan Kami menguji kalian dengan kebaikan dan kejelekan. Kepada kami kalian akan kembali.” (al-Anbiya’: 35)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
berkata, “Kami menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan, malapetaka
dan kesenangan, sehat dan sakit, kaya dan fakir, halal dan haram,
ketaatan dan kemaksiatan, serta petunjuk dan kesesatan.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Ketika diuji dengan kebaikan dan
kejelekan, ternyata kebanyakan hamba- Nya lebih memilih berjalan di atas
kejelekan dan kesesatan. Hal ini telah difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan mereka, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (al-An’am: 116)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melukiskan hal ini dalam hadits iftiraqul ummah,
وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Umatku akan terpecah menjadi 72 kelompok. Semuanya berada di dalam neraka kecuali satu, yaitu al-jamaah.”
Loyalitas kepada Al-Haq dan Bara’ dari Kebatilan
Prinsip yang mendasar di dalam agama,
aplikasi akidah yang murni, dan penerapan manhaj yang selamat adalah
loyalitas kepada al-haq dan pembawanya, serta berlepas diri dari
kebatilan dan pengusungnya.
Saat seseorang ingin menyelami ilmu
agamanya, dia akan bertemu dengan prinsip ini. Tatkala dia ingin
merealisasikan akidahnya yang lurus dalam kehidupan, dia akan
mendapatkannya.
Apabila dia ingin melangkah di atas
jalan para pendahulunya yang saleh, niscaya dia akan meniti prinsip yang
mendasar ini, yaitu al-wala’ dan al-bara’. Bahkan, sebelum semuanya ini, apabila dia mengkaji dan mendalami al-Qur’an dan as-Sunnah, prinsip al-wala’ dan al-bara’ akan didapatinya.
Loyalitas kepada al-haq dan bara’ dari kebatilan termasuk dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar. Tatkala menerapkan prinsip al-wala’ dan al-bara’, sungguh dia telah melakukan pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, membela, melindungi agama-Nya, serta menyelamatkan kaum muslimin dari berbagai kebatilan dan penyimpangan dalam agama.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam mukadimah Ushul ats-Tsalatsah menjabarkan, “Ketahuilah, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmatimu bahwa wajib atas setiap muslim dan muslimah mengetahui tiga hal dan mengamalkan ketiganya.”
Di antara ketiga hal tersebut, beliau menyebutkan bahwa barang siapa menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala, dia tidak boleh berloyalitas kepada orang yang menentang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, walaupun dia adalah kerabat yang paling terdekat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya),
لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٖ مِّنۡهُۖ وَيُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ أُوْلَٰٓئِكَ حِزۡبُ ٱللَّهِۚ أَلَآ إِنَّ حِزۡبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٢٢
“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah subhanahu wa ta’ala dan
hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang
Allah telah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka
dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dimasukan-Nya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya.
Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap
(limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa
sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (al-Mujadilah: 22)
Dalam kitab yang sama, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menuliskan, “Islam adalah memasrahkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dengan mentauhidkan-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan
melaksanakan ketaatan, serta berlepas diri dari kesyirikan, kebid’ahan,
dan pelakunya.”
As-Sa’di rahimahullah berkata, “Tahqiq attauhid
(merealisasikan tauhid) artinya menjaga dan membersihkannya dari syirik
besar dan kecil, membersihkan dari bid’ah dalam bentuk ucapan,
keyakinan, perbuatan, dan amalan, serta membersihkannya dari perbuatan
maksiat.
Itulah cara menyempurnakan keikhlasan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dalam ucapan, perbuatan, keinginan, dan selamatnya kita dari syirik
besar (yang akan meruntuhkan fondasi tauhid) dan syirik kecil (yang akan
menafikan kesempurnaan tauhid), serta selamat dari kebid’ahan dan
kemaksiatan yang akan menodai tauhid, menghalangi kesempurnaannya, dan
mengganggu buah dari nilai-nilainya.” (al-Qaul as-Sadid, hlm. 13—14)
Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an menceritakan tentang prinsip al-wala’ dan al-bara’ dalam amal nyata salah satu utusan dan rasul-Nya, yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,
وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوۡمِهِۦٓ إِنَّنِي بَرَآءٞ مِّمَّا تَعۡبُدُونَ ٢٦ إِلَّا ٱلَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُۥ سَيَهۡدِينِ ٢٧ وَجَعَلَهَا كَلِمَةَۢ بَاقِيَةٗ فِي عَقِبِهِۦ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٢٨
Dan ingatlah
saat Nabi Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, “Sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kalian sembah kecuali (aku tidak berlepas
diri) dari Dzat yang telah menciptakanku. Sesungguhnya Dialah yang akan
memberiku petunjuk.” Dan (Ibrahim) menjadikan sebagai kalimat yang abadi
pada anak keturunannya agar mereka kembali (kepada Allah). (Az-Zukhruf: 26—28)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Ushul ats-Tsalatsah menjadikan ayat ini dan ayat 64 surat Ali ‘Imran sebagai ayat yang menafsirkan kalimat, “La ilaha illallah.” Dari sini kita ketahui bahwa kalimat tauhid adalah kalimat al-wala’ dan albara’.
Mana Wala’-mu Terhadap Kebenaran?
Di mana bentuk ittiba’-mu kepada al-haq dan ahlinya? Di mana kejujuranmu dalam mengikuti al-haq saat berhadapan dengan keinginan hawa nafsumu dan hawa nafsu orang lain?
Saudaraku, engkau tidak akan sempurna mengikuti al-haq berlepas diri dari hawa nafsu. Engkau pun tidak mampu loyal kepada al-haq dan ahli al-haq sampai melepaskan diri dari belenggu hawa nafsu.
Betapa sering al-haq itu dihakimi tatkala al-haq tidak mendukung langkah dan pemikiran kita. Betapa sering alhaq
dipermainkan untuk diperjualbelikan dengan mendapatkan dunia yang hina,
mendapatkan posisi di hati manusia, menjadi orang yang terkenal,
tersohor, dan orang yang dikatakan pemberani.
Betapa sering kita mengangkat individu dan pendapat seseorang di atas al-haq. Betapa sering pula al-haq menjadi batu loncatan untuk mencapai keinginan dunia yang disembunyikan di dalam dada.
Al-Imam Ahmad rahimahullah menjelaskan dalam salah satu risalah beliau, Ushul as-Sunnah, “As-Sunnah di sisi kami adalah riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
As- Sunnah menafsirkan al-Qur’an dan menjelaskannya. Tidak ada qiyas di
dalam as-Sunnah, tidak boleh didatangkan contoh (untuk menentangnya),
dan tidak akan bisa digapai oleh akal dan hawa nafsu. Sesungguhnya,
sikap yang ada adalah mengikuti (as-Sunnah) dan melepaskan diri dari
hawa nafsu.”
Syaikhul Islam rahimahullah
berkata, “Barang siapa berpaling dari kebenaran yang telah dia ketahui
guna mengikuti hawa nafsunya, sesungguhnya hal itu akan melahirkan
kejahilan dan kesesatan. Akibatnya, hatinya buta dari kebenaran yang
sudah jelas sebagaimana firman Allah, ‘Saat mereka berpaling, Allah memalingkan hati mereka,’ (ash-Shaff).” (Majmu’ Fatawa, 10/10)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ ١٤٧
“Kebenaran itu datang dari Rabbmu. Janganlah kamu ragu-ragu.” (Al- Baqarah: 147)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Ayat ini termasuk tatsbit (pengokohan) terhadap diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin. Selain itu, ayat ini memberitahukan kepada mereka bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-haq yang tidak ada keraguan padanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Kebenaran itu datang dari Rabbmu, janganlah ragu-ragu’.” (Tafsir Ibnu Katsir)
As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Inilah al-haq yang pantas untuk dinamakan haq dari semua sisi. Sebab, al-haq
mencakup semua keinginan yang tinggi, urusan yang baik, penyucian jiwa,
serta dorongan untuk bisa memperolehnya dan menolak segala yang
merusaknya; karena al-haq datang dari Rabbmu. Termasuk dari
bentuk pendidikan-Nya kepadamu adalah diturunkannya al-Qur’an yang
mengandung pendidikan terhadap akal, jiwa, dan semua kemaslahatan.” (Tafsir as-Sa’di)
Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak meninggalkan sedikit pun apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali telah aku kerjakan. Aku takut apabila meninggalkan perintahnya, aku akan tersesat.”
Ucapan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu dikomentari oleh al-Imam ad-Dzahabi rahimahullah,
“Wahai saudaraku, inilah ash-Shiddiq yang besar (Abu Bakr). Dia
mengkhawatirkan penyimpangan pada dirinya apabila menyelisihi apa yang
datang dari Nabinya. Bagaimana lagi dengan zaman kita ini, yang
generasinya mencela Nabi mereka, mencela perintahnya, merasa bangga
dengan menyelisihi Nabinya, dan menghinakannya sunnahnya?! Kita meminta
kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar menjaga kita dari ketergelinciran dan menyelamatkankita dari kejelekan amal kita.” (al-Ibanah, 1/246)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam ad-Durar as- Saniyyah (1/37-38), menegaskan, “Segala pujian dan nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala dan pemilik kekuatan. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah memberiku hidayah kepada jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam; dan dia bukan termasuk orang yang menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala.
Alhamdulillah, aku tidak
mengajak kepada mazhab Sufi, kepada seorang fakih tertentu, kepada
seorang ahli kalam, atau salah satu imam yang aku muliakan.
Akan tetapi, aku menyeru kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata dan mengajak manusia menuju sunnah Rasulullah; mengajak umat yang pertama dan yang terakhir menuju sunnahnya.
Aku berharap tidak menolak kebenaran apabila datang kepadaku. Bahkan, aku mengangkat persaksian di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala,
para malaikat, dan seluruh makhluk-Nya, apabila kalimat yang benar dari
kalian datang kepadaku, niscaya aku akan tetap menerimanya sepenuhnya.
Akan kubuang ucapan imam mana pun yang menyelisihi kebenaran, selain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak berkata kecuali perkataan yang benar.”
Mana Bara’-mu dari Kebatilan?
Konsekuensi membela dan berwala’terhadap
kebenaran adalah berlepas dari segala bentuk kebatilan dan ahli batil;
berlepas diri dari berbagai kesyirikan dan pelakunya, kebid’ahan dan
para penyerunya, kemaksiatan dan para dalangnya, dan sebagainya.
Sikap bara’ dari kebatilan merupakan sikap yang diajarkan oleh al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah diaplikasikan oleh para pendahulu kita yang saleh dari umat ini. Sikap bara’ dari kebatilan itu tercermin pada:
- Mengingkari kebatilan tersebut
- Memperingatkan umat dari bahayanya
- Menyikapi para pelaku kebatilan tersebut, dengan tidak menyapanya, tidak mengucapkan salam kepadanya, tidak menjawab salamnya, meninggalkannya, tidak berteman dengannya, tidak menjenguknya apabila sakit, dan tidak mengiringi jenazahnya.
Diberitahukan kepada Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma
bahwa di kota Bashrah ada seseorang yang bernama Ma’bad al-Juhani yang
mengingkari takdir. Meskipun dia dan pengikutnya gemar membaca al-Qur’an
dan belajar ilmu, namun mereka menolak takdir dan mengatakan bahwa
urusan ini unuf (terjadi tanpa diketahui oleh Allah subhanahu wa ta’ala kecuali setelah terjadinya).
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma
berkata (meski tidak pernah bertemu dengan Ma’bad al-Juhani, namun
cukup mendengar kejelekan dan kebatilan tersebut dari orang yang
tepercaya), “Apabila kalian bertemu dengannya, beritahukanlah bahwa aku
berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku.
Demi Allah, yang Ibnu Umar bersumpah
dengan-Nya, sekiranya mereka memiliki emas sebesar Gunung Uhud dan
menyedekahkannya, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menerimanya sampai mereka beriman kepada takdir.” (Shahih Muslim, no. 1)
Umar ibnul Khahthtab radhiallahu ‘anhu
pernah menghukum Shabigh bin ‘Asl saat datang ke kota Madinah, Dia
membawa banyak kitab lantas bertanya kepada penduduk Madinah tentang
ayat-ayat mutasyabihat. Sampailah berita tersebut kepada diri Umar radhiallahu ‘anhu. Beliau radhiallahu ‘anhu memanggil Shabigh dan menyiapkan manggar kurma seraya bertanya kepadanya, “Siapa kamu?”
Dia menjawab, “Aku hamba Allah, Shabigh.”
Umar radhiallahu ‘anhu menimpali, “Dan aku hamba Allah, Umar,” sembari memukul kepalanya sampai bercucuran darah.
Setelah itu, Shabigh berkata, “Cukup, wahai Amirul Mukminin. Sungguh, telah hilang apa yang aku rasakan di kepalaku.”
Umar lantas memerintahkan agar Shabigh
dibawa ke negerinya dan memperingatkan manusia agar tidak mendekatinya
sampai meninggal dunia dalam keadaan rendah, padahal sebelumnya dia
adalah pemimpin kaumnya. (asy-Syari’ah hlm. 75, al- Ajurri)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdur Rahman