Nabi Nuh Dan Sang Anak

Nabiyullah Nuh benar-benar seorang rasul pilihan. Beliau adalah salah satu dari ulul azmi dari kalangan para rasul. Berbagai kisah heroik pernah mengiringi kehidupan beliau di dalam berdakwah, mengajak kaumnya untuk meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan memurnikan segala bentuk peribadahan hanya untuk Allah semata. Kisah-kisah yang sarat faedah dan makna
bagi siapa pun yang mau memahami dan mencernanya. Dan cukuplah menunjukan bahwa kisah perjalanan dakwah Nabi Nuh merupakan kisah yang sangat perlu untuk dipelajari ialah ketika Allah menyebutkan kisah perjalanan dakwah beliau berulang, pada beberapa tempat di dalam Al Quran pada momen dan keadaan yang berbeda.

Nabiyullah Nuh bersabar selama 950 tahun lamanya, mendakwahi dan menyeru kaumnya. Namun mayoritas kaum Nabi Nuh terus saja membangkang dan tidak mau mengikuti seruan dan ajakan dakwah Nabi Nuh. Maka beliau pun berdoa memohon kepada Allah agar Ia menurunkan azab dan siksa untuk mereka, “Duhai Rabbku, janganlah Engkau biarkan satu rumah milik orang kafir pun ada di muka bumi ini. Sesungguhnya jika Engkau membiarkan mereka, maka mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan tidaklah lahir dari mereka kecuali orang-orang yang jahat lagi kafir” [Q.S. Nuh: 26-27]
Inilah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Nuh. Beliau memohon kepada Allah agar membinasakan dan mematikan semua orang kafir yang ada di muka bumi saat itu, tanpa terkecuali. Dikarenakan keberadaan orang kafir di muka bumi, walaupun hanya seorang, akan menimbulkan berbagai kejelekan. Maka beliau pun memohon kepada Allah agar membinasakan seluruh orang yang kafir saat itu.
Allah pun benar-benar mengabulkan doa Nabi Nuh. Allah kirimkan azab dan hukuman yang besar yang benar-benar akan membinasakan seluruh orang-orang kafir di masa itu. Namun, sebelum azab yang Allah janjikan tiba, Allah perintahkan Nabi Nuh untuk membuat bahtera besar yang mampu menampung orang-orang yang beriman dan segala makhluk berpasang-pasangan. Sebuah bahtera besar yang akan membawa mereka jika azab Allah tiba.

Nabi Nuh pun segera mematuhi titah Rabb-nya. Ia dan para pengikutnya bersama-sama membuat perahu yang besar. Berbagai ejekan, celaan, dan hinaan yang datang bertubi-tubi terhadap Nabi Nuh dan para pengikutnya kala membuat kapal tersebut tidaklah beliau acuhkan. Yang beliau pikirkan hanya bagaimana agar beliau dan para pengikutnya bisa selamat kala azab Allah datang.
Saat itu pun tiba. Allah perintahkan langit untuk memuntahkan air yang begitu banyak. Demikian pula Allah perintahkan bumi untuk memancarkan mata air yang begitu deras. Langit mencurahkan hujan besar yang memenuhi penjuru bumi. Tanah-tanah pun memancarkan mata air yang begitu deras. Bumi kini dipenuhi air. Banjir bandang yang besar pun tak terelakkan. Tidak ada satu bagian permukaan bumi pun yang terlepas dan tidak terbenam karenanya. Bahkan permukaan bumi hilang dipenuhi air. Bumi menjadi lautan.
Adapun orang-orang yang beriman, mereka telah selamat dengan segera masuk dan naik ke dalam bahtera yang telah mereka buat. Tak lupa pula berbagai hewan pun mereka bawa berpasang-pasangan. Hanya doa dan doa yang terus mereka kumandangkan agar diselamatkan dari kemurkaan Allah yang dahsyat tersebut. Orang-orang kafir pun berusaha menyelamatkan diri-diri mereka. Mereka berusaha mendaki bagian tertinggi yang bisa mereka capai. Usaha sia-sia yang tidak akan menyelamatkan mereka dari azab Allah. Dalam keadaan yang demikian kalut, mencekam , dan penuh kengerian.

Saat itulah, Nabi Nuh sempat melihat bagaimana perjuangan salah satu putranya, Yam atau Kan’an namanya, untuk menyelamatkan diri dari azab Allah. Yam atau Kan’an adalah putra Nabi Nuh yang tidak mau menuruti dan mengikuti dakwah serta ajaran beliau. Sebagai orang tua yang sayang kepada putranya, dalam kondisi yang demikian mencekam, walaupun anaknya adalah anak yang durhaka, yang sepanjang hidupnya tidak mau mengikuti dan mendengar seruan ayahnya, hal itu tidak menghalangi Nabi Nuh untuk tetap mengajak dan memanggil putranya agar naik ke atas bahtera.

“Wahai anakku, lekas naik ke atas perahu bersama kami dan janganlah kamu menjadi orang yang kafir.” [Q.S Hud: 42] Nabi Nuh mengajak penuh harap.
“Aku akan naik gunung yang tinggi yang bisa menyelamatkanku dari air bah ini” [Q.S. Hud: 43] jawabnya.
“Hari ini, tidak ada yang bisa menyelamatkanmu dari azab Allah kecuali orang yang Allah sayangi” [Q.S. Hud: 43] Nabi Nuh melanjutkan.
Kiranya percakapan keduanya harus berakhir kala ombak yang demikian besar menggulung dan memisahkan ayah dan anaknya ini. Yam atau Kan’an pun mati tenggelam akibat kekafiran dan pembangkangannya. Inilah azab Allah. Jika Ia telah menetapkannya, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan diri darinya.

Pada sepenggal kisah dakwah Nabi Nuh kepada anaknya untuk mau beriman dan bergabung dengan kaum muslimin naik ke atas bahtera ini terdapat suatu faedah yang besar. Yaitu, orang tua dituntut untuk terus berusaha menyelamatkan putra-putrinya dari azab Allah. Orang tua tidak boleh berputus asa dalam mendakwahi anaknya. Walaupun penentangan dan kedurhakaan yang mereka balas, hal itu tidak membuatnya untuk kemudian berhenti dan tidak lagi mau mengajak mereka untuk bisa kembali kepada Allah. Tak lupa, doa dan doa pun senantiasa ia pajatkan kepada Allah untuk kebaikan anak-anaknya. Dalam sujudnya ia terus memohon kepada Allah agar Ia menyadarkan dan mengembalikan alur kehidupan anaknya yang telah salah arah. Terus dan terus, tidak pernah berputus asa memohon dan mengadu kepada Allah yang Mahakasih-sayang. Walau dalam keadaan menjelang kematiannya, ia tentu tidak ingin anaknya, buah hatinya, yang segala-galanya telah ia korbankan untuknya, di akhir hidupnya harus mati dalam keadaan suul khatimah, akhir yang jelek.

Maka ia pun semestinya tetap berusaha dan berupaya memberikan yang terbaik untuk anaknya tersebut menjelang kematiannya. Mengajak dan membimbing anaknya untuk tunduk dan bertobat kepada Allah. Harapan dia, jika ternyata Allah masih memberikan kesempatan hidup kepadanya dan ia telah mengakui kesalahannya, siap bertobat kembali ke arah-Nya maka itu tentu merupakan kebaikan yang besar baginya. Dengan kehidupan barunya, ia bisa tutup kesalahannya di masa lalu dengan berbagai amal dan ketaatan yang bisa ia amalkan. Minimalnya, ketika ternyata Allah menghendaki untuk mematikannya setelah itu, maka ia mati dalam keadaan husnul khatimah. Mati berpredikat sebagai seorang yang tengah kembali kepada Allah.
Intinya, orang tua yang baik benar-benar mengharapkan kebaikan untuk anaknya. Ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menyelamatkan anaknya yang telah salah jalan. Berbagai upaya dan cara akan ia tempuh untuk menyadarkannya. Jika satu cara tidak berhasil maka ia mengupayakan cara yang lain yang kiranya bisa mengembalikan anaknya ke arah yang lurus.

Satu kesalahan besar yang sering dilakukan oleh orang tua, ketika ia mendapati anak-anaknya telah melenceng dari jalan-Nya. Hidup bergelimang dengan dosa dan dosa. Ketika ia berusaha mengembalikan anaknya ke jalan yang benar, namun ia mendapatkan penentangan dalam upayanya tersebut, dia pun berputus asa hingga kemudian pasrah. Dia kemudian membiarkan anak-anaknya semakin tenggelam dalam dunianya. Bahkan, terkadang ia putuskan hubungan dan tidak mau mengakuinya sebagai anak. Tidak mungkin! Pengakuan yang tidak benar! Bagaimana pun keadaannya, ia adalah anaknya, buah hatinya, bagaimana ia bisa berlepas diri darinya?

Cobalah mengambil ibrah dan pelajaran dari Nabi Nuh di atas. Walaupun sepanjang waktu anaknya terus saja membangkang dan tidak mau menuruti ajakannya, hal itu tidak membuat Nabi Nuh berputus asa dan pasrah begitu saja membiarkan anaknya tenggelam dalam dosa. Bahkan di saat-saat akhir kehidupannya, masih saja Nuh mengajak anaknya turut serta bersama orang-orang yang beriman untuk naik bahtera menyelamatkan jiwanya.

Orang tua harus senantiasa ingat bahwa anak adalah amanah dan titipan yang Allah berikan kepadanya. Ketika ia menyadari hal ini, ia akan berusaha menjaga amanah tersebut dan memeliharanya sesuai dengan apa yang Allah gariskan. Sedari kecil hingga ia dewasa, perhatiannya tidak akan pernah hilang dan meredup. Justru ketika anaknya sudah dewasa, maka semestinya perhatian kedua orang tuanya lebih besar. Bukan malah ia biarkan anaknya berjalan tanpa arah.

Tugas orang tua adalah terus berusaha menyelamatkan dan meluruskan keadaan anak-anaknya. Adapun hasil, maka semuanya ia serahkan kepada Allah. Allah yang menentukan dan ia sebagai orang tua yang mengusahakan dan mengupayakannya. Maka kita memohon kepada Allah agar mengaruniakan kepada kita anak-anak saleh yang kelak bisa membahagiakan kita dengan kesalehannya dan ketakwaannya. Wallahu a’lam.

[Ustadz Abu Ruhmaa Sufyan Alwi]
(Sumber: http://tashfiyah.com)

Related Posts