Di tulis oleh al ustadz Abu Utsman Kharisman
عَنِ
ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ
وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو
جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ
أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ
لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا
كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ
أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا
أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ
الْجَحِيمِ } وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إِنَّكَ لَا
تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ }
Dari Ibnu Syihab beliau berkata:
telah mengkhabarkan kepadaku Sa’id bin al-Musayyab dari ayahnya beliau
berkata: Ketika Abu Tholib menjelang wafat datanglah Rasulullah
shollallahu alaihi wasallam kemudian beliau mendapati di sisi Abu Tholib
ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughiroh. Maka
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berkata: Wahai pamanku,
ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah, suatu kalimat yang aku akan bersaksi
untukmu nanti di sisi Allah.
Kemudian Abu Jahl dan Abdullah bin Abi
Umayyah berkata: Wahai Abu Tholib, apakah engkau benci agama Abdul
Muththolib?! Terus menerus Rasulullah shollallahu alaihi wasallam
mengajak mengucapkan ucapan itu dan mengulanginya hingga akhir ucapan
Abu Tholib adalah ia tetap berada di atas agama Abdul Muththolib dan
enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah. Maka Rasulullah shollallahu
alaihi wsallam kemudian berkata: Demi Allah, sungguh aku akan memintakan
ampunan untukmu kepada Allah selama aku tidak dilarang. Kemudian turun
firman Allah Azza Wa Jalla: << Tidak boleh bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman untuk memohon ampunan bagi kaum musyrikin
meskipun mereka adalah kerabat dekat setelah nampak jelas bagi mereka
bahwa mereka adalah penghuni al-Jahiim (Neraka)(Q.S atTaubah ayat
113)>> dan Allah Ta’ala turunkan firmanNya tentang Abu Tholib.
Allah berfirman kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam : <<
Sesungguhnya engkau tidaklah (bisa) memberikan hidayah kepada orang
yang engkau cintai akan tetapi Allah memberi hidayah kepada siapa saja
yang dikehendakiNya dan Dialah Yang Paling Tahu siapa orang-orang yang
berhak mendapatkan hidayah >> (Q.S al-Qoshosh ayat 56)>>
(H.R al-Bukhari dan Muslim)
Penjelasan:
Faidah dan penjelasan dari hadits ini adalah:
- Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tidak mampu untuk memberikan hidayah kepada pamannya yang berjuang membela beliau saat dimusuhi oleh musyrikin Quraisy, namun tetap dalam kesyirikan. Hidayah taufiq hanyalah di Tangan Allah. Karena hanya Allah satu-satunya yang bisa memberikan hidayah taufiq ini, maka Dialah satu-satunya yang berhak disembah/ diibadahi.
- Kedekatan hubungan kekerabatan seseorang dengan Nabi tidak bisa menyelamatkannya dari adzab Allah kalau ia tidak mentauhidkan Allah.
Meski itu adalah paman Nabi. Bahkan, ayah Nabi juga meninggal dalam keadaan kafir, di anNaar. Ibu Nabi shollallahu alaihi wasallam juga
meninggal dalam keadaan kafir, di anNaar. Ini adalah sesuatu hal yang
menyedihkan, membikin pilu hati orang beriman, sebagaimana Nabi juga
menangis, namun kaum beriman harus beriman terhadap hadits-hadits shahih
dari Nabi yang mulya Muhammad shollallahu alaihi wasallam, menerima takdir Allah, dan beramal sesuai tuntunan Allah. Bukannya
menentang dalil yang jelas shahih dan membantahnya dengan hadits-hadits
yang lemah dan palsu agar terkesan membela Nabi, padahal pada dasarnya
membela hawa nafsunya.
Dalil yang menunjukkan ayah Nabi di anNaar adalah hadits:
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي
النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي
النَّارِ
Dari Anas (bin Malik) radhiyallahu
anhu bahwa seseorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah di mana ayahku
(yang sudah meninggal). Nabi menyatakan : di anNaar. Ketika laki-laki
itu akan berlalu, Nabi memanggilnya dan bersabda: Sesungguhnya ayahku
dan ayahmu di anNaar (H.R Muslim)
Sedangkan berkaitan dengan ibunda Nabi, terdapat penjelasan dalam hadits yang shohih, Nabi bersabda :
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي
“Aku memohon ijin kepada Tuhanku
untuk memohon ampunan bagi ibuku, tetapi tidaklah diijinkan untukku, dan
aku mohon ijin untuk berziarah ke kuburannya, dan diijinkan”(H.R Muslim
dari Abu Hurairah)
dalam riwayat Ahmad :
إِنِّي
سَأَلْتُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي الِاسْتِغْفَارِ لِأُمِّي فَلَمْ
يَأْذَنْ لِي فَدَمَعَتْ عَيْنَايَ رَحْمَةً لَهَا مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya aku meminta kepada
Tuhanku ‘Azza Wa Jalla untuk memohon ampunan bagi ibuku, namun tidak
diijinkan, maka akupun menangis sebagai bentuk belas kasihan baginya
dari adzab anNaar” (hadits riwayat Ahmad dari Buraidah, al-Haitsamy
menyatakan bahwa rijaal hadits ini adalah rijaalus shohiih).
Dalam riwayat lain :
عَنْ
أبِي رَزِينٍ، قَالَ: قُلْتَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيْنَ أُمِّي؟،
قَالَ:”أُمُّكَ فِي النَّارِ”، قَالَ: فَأَيْنَ مَنْ مَضَى مِنْ أَهْلِكَ؟،
قَالَ:”أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ أُمُّكَ مَعَ أُمِّي
” dari Abu Roziin beliau berkata :
Aku berkata : Wahai Rasulullah, di mana ibuku? Nabi menjawab : ‘Ibumu di
an-Naar’. Ia berkata : Maka di mana orang-orang
terdahulu dari keluargamu? Nabi bersabda : Tidakkah engkau ridla bahwa
ibumu bersama ibuku” (H.R Ahmad dan atThobarony, dan al-Haitsamy
menyatakan bahwa perawi-perawi hadits ini terpercaya (tsiqoot)).
Maka hubungan nasab dan kekerabatan
tidak bisa menyelamatkan dari adzab Allah jika seseorang tidak beriman.
Sebagaimana juga ayah Nabi Ibrohim yang meninggal dalam kekafiran.
- Hadits ini merupakan dalil yang tegas bahwa Abu Tholib meninggal dalam keadaan kafir. Sedangkan kaum Syiah dan orang-orang yang terpengaruh dengan pemahaman Syiah akan berusaha menegaskan bahwa Abu Tholib adalah seorang mukmin. Dengan hujjah yang sangat lemah dan diada-adakan, dan mereka menolak hadits-hadits yang jelas shahih dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.
- Nabi shollallahu alaihi wasallam tidak bisa memberi syafaat untuk mengeluarkan pamannya Abu Tholib dari anNaar, namun beliau bisa memberikan syafaat sehingga Abu Tholib diringankan siksanya di anNaar, sehingga hanya di siksa di permukaan dangkal anNaar, dan merupakan penghuni anNaar yang paling ringan siksanya.
عَنْ
عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ
نَفَعْتَ أَبَا طَالِبٍ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ
لَكَ قَالَ نَعَمْ هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ لَوْلَا أَنَا لَكَانَ
فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ
Dari Abbas bin Abdil Muththolib
beliau berkata: Wahai Rasulullah, apakah engkau bisa memberi manfaat
kepada Abu Tholib dengan sesuatu. Karena dia menjagamu dan marah (kepada
pihak yang memusuhimu). Nabi menyatakan: Ya. Abu Tholib berada di
permukaan dangkal di anNaar, kalaulah tidak (dengan sebab) aku niscaya
ia berada di dasar paling bawah anNaar (Neraka)(H.R al-Bukhari dan
Muslim)
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو طَالِبٍ وَهُوَ مُنْتَعِلٌ
بِنَعْلَيْنِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ
dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhu-
bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Penduduk anNaar
yang paling ringan siksanya adalah Abu Tholib. Dia memakai dua sandal
yang menyebabkan otaknya mendidih (H.R Muslim)
- Abu Tholib sebenarnya dalam hatinya mengakui kebenaran dakwah Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam tapi ia enggan terang-terangan menerima al-haq, tidak mau mengucapkan syahadat Laa Ilaaha Illallaah karena takut cercaan dan ejekan kaumnya.
Abu Tholib mengungkapkan bait-bait syair:
وَعُرِضْتُ دِيْنًا قًدْ عَرَفْتُ بِأَنَّهُ مِنْ خَيْرِ أَدْيَانِ الْبَرِيَّةِ دِيْنًا
Dan aku telah ditunjukkan pada sebuah Dien yang sungguh aku tahu bahwa itu termasuk agama bumi yang terbaik
لَوْلَا الْمَلَامَة أَوْ حَذَارِي سَبَّة لَوَجَدْتَنِي سَمْحًا بِذَاكَ مُبِيْنًا
Kalaulah bukan celaan atau takut cercaan, niscaya engkau akan dapati aku dengan senang hati dan jelas menerimanya
(diriwayatkan al-Baihaqiy dalam
Dalaailun Nubuwwah no 495, disebutkan Ibnu Katsir dalam as-Siiroh
anNabawiyyah, al-Qurthubiy dalam Tafsirnya, al-Baghowy dalam Tafsirnya)
- Orang-orang yang membujuk dan mengajak Abu Tholib untuk tidak mengucapkan syahadat itu ada yang tetap dalam kekafiran dan ada juga yang masuk Islam, menunjukkan hidayah taufiq hanya di Tangan Allah.
Abu Jahl meninggal dalam kekafiran,
sedangkan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughiroh meninggal sebagai
seorang muslim dan termasuk Sahabat Nabi.
Abdullah bin Abi Umayyah adalah sepupu
sekaligus saudara ipar Nabi. Beliau adalah anak ‘Atikah bintu Abdil
Muththolib, bibi Nabi. Beliau juga saudara kandung seayah dengan Ummu
Salamah, istri Nabi. Beliau dulunya sangat keras permusuhan dan
kebenciannya terhadap Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Namun
beliau masuk Islam sebelum Fathu Makkah, dan ikut perang Hunain, serta
gugur dalam pertempuran di Thaif. Semoga Allah meridhai beliau.
- Pengaruh buruk pergaulan dengan orang-orang yang buruk dan bahaya mendahulukan perasaan (takut dicerca) dalam menjalankan Dien.
Abu Tholib bergaul dengan kaum
musyrikin, hingga Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah menemani beliau
hingga menjelang meninggal dunia dan mempengaruhi agar jangan
mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Itulah akibat pergaulan yang
buruk. Abu Tholib juga merasa sungkan dan takut akan cercaan orang,
hingga harus mati dalam keadan kafir demi menghindar dari cercaan itu.
Padahal semestinya seseorang yang
menginginkan kebahagiaan di akhirat haruslah mendahulukan ridha Allah
dibandingkan ridha manusia. Jangan takut celaan para pencela ketika
berjalan di jalan Allah. Sedangkan keridhaan manusia adalah tujuan yang
tidak akan pernah bisa dicapai. Semoga Allah memberikan kepada kita
taufiq dan kekokohan dalam menjalankan hal itu.
مَنِ
الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ
وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ
سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاس
Barangsiapa yang mencari keridhaan
Allah dengan mendapatkan kemarahan manusia, maka Allah Ta’ala akan ridha
kepadanya dan menjadikan manusia ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang
mencari keridhaan manusia dengan mendapat kemurkaan Allah, maka Allah
akan murka kepadanya dan akan menjadikan manusia murka kepadanya (H.R
Ibnu Hibban dalam shahihnya dari Aisyah)
عَنْ
عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ
وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ
أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ
لَوْمَةَ لَائِمٍ
dari Ubadah bin as-Shoomit
radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam
membaiat kami untuk bersikap mendengar dan taat (kepada waliyyul amr)
dalam keadaan lapang ataupun sempit. Dan janganlah kami menentang
kepemimpinan pada ahlinya dan agar kami berbuat atau berkata al-haq
(kebenaran) di manapun kami berada tidak takut celaan siapapun yang
mencela, ketika berjalan di jalan Allah (H.R al-Bukhari)
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ قَالَ أَمَرَنِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِسَبْعٍ أَمَرَنِي بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ
وَأَمَرَنِي أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِي وَلَا أَنْظُرَ إِلَى
مَنْ هُوَ فَوْقِي وَأَمَرَنِي أَنْ أَصِلَ الرَّحِمَ وَإِنْ أَدْبَرَتْ
وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أَسْأَلَ أَحَدًا شَيْئًا وَأَمَرَنِي أَنْ أَقُولَ
بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أَخَافَ فِي اللَّهِ
لَوْمَةَ لَائِمٍ وَأَمَرَنِي أَنْ أُكْثِرَ مِنْ قَوْلِ لَا حَوْلَ وَلَا
قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَإِنَّهُنَّ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ
Dari Abu Dzar –radhiyallahu anhu-
beliau berkata: Kekasihku (Nabi) shollallahu alaihi wasallam
memerintahkan kepadaku pada 7 hal, ia memerintahkan kepadaku untuk
mencintai orang-orang miskin, dan mendekat kepada mereka. Beliau
memerintahkan kepadaku untuk melihat kepada orang yang di bawahku dan
agar aku tidak melihat kepada orang yang di atasku. Dan beliau
memerintahkan kepadaku untuk menyambung silaturrahmi meski kerabat itu
menjauh (dariku). Dan beliau memerintahkan kepadaku agar aku tidak
meminta apapu kepada siapapun. Dan beliau memerintahkan kepadaku untuk
mengucapkan kebenaran meski pahit. Dan beliau memerintahkan kepadaku
untuk tidak takut celaan para pencela di (jalan) Allah. Dan beliau
memerintahkan kepadaku untuk memperbanyak mengucapkan Laa hawla walaa
quwwata illaa billaah karena itu adalah perbendaharaan di bawah ‘Arsy
(H.R Ahmad, atThobaroniy, dan lainnya, dishahihkan al-Albaniy dalam
Shahih atTarghib)
Al-Imam asy-Syafii rahimahullah menyatakan kepada muridnya ar-Rabi’ bin Anas:
يَا رَبِيْع رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لَاتُدْرَك فَعَلَيْكَ بِمَا يُصْلِحُكَ فَالْزَمْهُ فَإِنَّهُ لَاسَبِيْلَ إِلَى رِضَاهُمْ
Wahai Rabi’, keridhaan manusia
adalah tujuan yang tidak akan tercapai. Maka wajib bagimu mencari hal
yang memperbaiki keadaanmu. Berpegangteguhlah dengannya. Karena tidak
ada jalan untuk mencapai ridha mereka (manusia)(Shifatus Shofwah
(2/254))
- Larangan memohonkan ampunan untuk orang kafir, musyrik, atau munafiq akbar