ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa
mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu muncul dari
ketakwaan hati.” [Q.S. Al-Hajj : 32]Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah adalah segala bentuk perintah Allah swt. Sehingga termasuk dalam hal ini adalah perintah untuk memuliakan dan menghidupkan sunnah Nabi `.
Oleh karenanya perbuatan mengolok-olok atau mencela Sunnah Nabi saw termasuk dosa besar. Dan bahkan bisa menghilangkan keimanan seseorang secara total dan menjadi kafir. Karena memperolok-olok Sunnah Nabi ` lebih parah daripada sekedar kufurnya seseorang karena menolak ajaran beliau. Disamping suatu kekufuran, perbuatan mengolok-olok Sunnah juga mengandung unsur penghinaan dan penentangan terhadap ajaran beliau. Orang yang mencela dan mengolok-olok sunah beliau termasuk kafir mu’aridh (orang kafir yang menentang Allah dan Rasul-Nya). Sehingga wajib bagi seorang muslim untuk menjaga lisan dan perbuatannya dari segala bentuk pelecehan terhadap Sunnah Nabi `. Namun sangat disayangkan, masih saja ada sebagian orang yang menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa. Bahkan terkadang Sunnah Nabi saw dijadikan sebagai bahan lelucon dan tertawaan. Padahal perbuatan ini sangat berbahaya bagi pelakunya dalam pandangan syariat Islam.
Di antara bukti yang menunjukkan betapa besar dan berbahayanya perkara tersebut adalah kisah berikut ini. Sebuah kisah yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Muhammad bin Ka’ab dan Zaid bin Aslam. Mereka menuturkan bahwa dalam peristiwa perang Tabuk ada seseorang yang menyatakan, “Aku belum pernah melihat orang-orang seperti para ahli pembaca Al-Qur’an. Mereka adalah orang yang perutnya paling buncit, paling dusta ucapannya dan paling pengecut ketika berperang.” Yang dimaksud olehnya adalah Rasulullah dan para shahabat yang ahli membaca Al-Qur’an. Mendengar pernyataan itu, Auf bin Malik dengan lantang menyatakan, “Engkau pendusta, kamu adalah orang munafik. Sungguh aku akan melaporkannya kepada Rasulullah `.” Maka Auf pergi menghadap Rasulullah ` untuk menyampaikan hal tersebut. Ternyata sebelum ia mengabarkannya kepada Rasulullah, ayat Al-Qur’an telah turun kepada beliau. Orang itu pun datang menemui Rasulullah `, namun beliau telah bangkit dan menaiki untanya. Orang itu mengatakan, “Wahai Rasulullah, Kami hanyalah berbincang-bincang sebagaimana perbincangan orang yang bepergian jauh untuk mengisi waktu luang saja. Ibnu Umar berkata, “Sepertinya aku melihat orang itu berpegangan sabuk pelana unta Rasulullah ` dan kedua kakinya tersandung-sandung batu seraya mengucapkan, “Kami hanyalah bercanda dan bermain-main.” Maka Rasulullah ` bersabda, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Janganlah kamu mencari-cari alasan. Sungguh kalian telah menjadi kafir setelah keimanan kalian.” Nabi ` tidak menoleh dan tidak pula menambah ucapannya. Berdasarkan hadis ini dan yang semisalnya, para ulama menyatakan bahwa barang siapa mengolok-olok dan melecehkan sesuatu dari Al-Qur’an atau Sunnah maka pelakunya telah kafir dan keluar dari Islam.
Para ulama pun berbeda pendapat tentang hukuman bagi orang yang mencela Rasulullah saw. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa pelakunya tetap dibunuh meskipun dia telah bertaubat dan menyesali perbuatannya. Lain halnya dengan seseorang yang mencela Allah ta’ala, Jika dia bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya maka taubatnya diterima dan tidak dibunuh pelakunya. Karena Allah telah menegaskan tentang ampunan-Nya yang sangat luas kepada hamba-hamba-Nya dan meliputi segala bentuk dosa. Bahkan dosa syirik sekalipun akan diampuni jika pelakunya benar-benar bertaubat. Adapun mencela Rasulullah ` hukumnya berbeda karena celaan terhadap beliau terkait dengan dua hal:
- Terkait dengan perkara syar’i karena kedudukan beliau sebagai seorang Nabi dan utusan Allah. Maka dari sisi tinjauan ini, seseorang akan diampuni jika benar-benar bertaubat kepada Allah ta’ala.
- Terkait dengan kepribadian beliau sebagai manusia utusan Allah. Maka dari sisi tinjauan ini, pelakunya wajib dibunuh karena terkait dengan hak pribadi beliau. Pelakunya tetap berhak mendapatkan hukuman di atas meskipun ia telah bertaubat. Namun jenazahnya diperlakukan sebagaimana jenazah seorang muslim. Setelah meninggal dimandikan, dikafani, dishalati dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Bahkan beliau memiliki karya tulis khusus tentang permasalahan ini yang berjudul ‘As-Shorimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul’ (Pedang terhunus bagi pencela Rasul).
http://tashfiyah.com