Ritual-ritual
yang Mungkar Seputar Kehamilan dan Kelahiran
Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu'thi
Selamatnya kandungan dan sehatnya bayi yang
dilahirkan merupakan dambaan setiap orang yang ingin memiliki anak keturunan.
Dan untuk terwujudnya harapan tersebut umumnya manusia menempuh beragam cara
dari upaya-upaya medis sampai bahkan mistis. Namun beda halnya dengan seorang
muslim yang taat beragama, dia tidak mau asal-asalan dalam melakukan suatu
upaya karena sikap, keyakinan dan perbuatannya akan selalu ia cocokkan dengan
nilai-nilai agamanya yang luhur dan yang selaras dengan akal sehat.
Sesuatu dikatakan mungkar apabila sesuatu itu
dihukumi tidak baik, tidak boleh atau dinyatakan keharamannya oleh syariat,
meskipun menurut pandangan sebagian orang itu baik dan sah-sah saja.
Di setiap daerah atau suku biasanya ada
ritual-ritual khusus terkait kehamilan yang sulit bagi kita untuk membatasi
jumlahnya dengan bilangan, karena saking banyaknya. Dan bagi sebagian orang
ritual-ritual tersebut merupakan budaya leluhur yang harus dilestarikan
sehingga orang yang tidak mau melakukannya akan dicibir di tengah-tengah
keluarga dan masyarakatnya atau bahkan mungkin akan mendapatkan teror. Bagi
mereka ritual-ritual yang merupakan warisan leluhur adalah menu wajib yang
terkadang lebih wajib dari pada shalat berjama’ah bahkan shalat lima waktu.
Dan yang amat disayangkan bahwa masih ada sebagian masyarakat muslimin
yang ikut-ikutan menghidupkan ritual-titual tersebut padahal tidak sedikit
ritual-ritual itu hanyalah mitos yang tak ada bukti nyatanya dan sebagiannya
diadopsi dari budaya non islam.
Diantara bentuk ritual tersebut adalah adat
mitoni (adat Jawa), upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau
suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang
perempuan dengan tujuan agar emberio dalam kandungan dan ibu yang mengandungnya
senantiasa memperoleh keselamatan. Upacara-upacara yang dilakuan dalam masa
kehamilan yaitu siraman, memasukkan telor ayam kampung kedalam kain calon ibu oleh
sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lilitan
benang/ janur, memecah priuk dan gayung dan seterusnya. Upacara ini juga tidak
bisa dilangsungkan disembarang hari dan tempat. Diantara maksud ritual ini
adalah agar sang ibu kelak ketika melahirkan diberi kemudahan. Ritual mitoni
ini juga tidak hanya dilakukan oleh wanita yang mengandung untuk yang pertama.
Demikian pula cara-caranya terkadang satu tempat berbeda dengan tempat yang
lain. Bagi seorang muslim, ritual tersebut dan semisalnya sangat sulit diterima
oleh akal yang sehat terlebih bila dilihat dari kacamata agama. Bila ada yang
mengatakan bahwa ritual tersebut hanya sebuah ikhtiar/ usaha, maka jawabannya
bahwa suatu usaha akan dibenarkan bila memang menjadi sebab untuk tercapainya tujuan
disamping juga tidak bertentangan dengan agama. Sementara disini padanya ada bentuk
mengaitkan sesuatu kepada perkara yang bukan menjadi sebab yang diharapkan
terjadinya sesuatu dan padanya ada bentuk ketergantungan kepada selain Allah
yang tentunya telah mencacati terhadap keyakinan seorang.
Bila ada yang mengatakan bahwa ini hanyalah
sebuah tradisi leluhur yang menunjukkan kepada kita bahwa negeri ini kaya akan
budaya dan peradaban. Maka dikatakan kepadanya bahwa memang hukum asalnya adat
kebiasaan manusia yang biasa mereka jalankan di tengah masyarakat hukumnya
boleh (mubah) asalkan tidak berseberangan dengan kaidah-kaidah agama. Sedangkan
disini tidak demikian. Oleh karenanya, mengapa kita tidak merubah tradisi yang
keliru yang padanya ada bentuk penyia-nyiaan terhadap waktu, harta, tenaga dan
bahkan mencederai akidah dengan upaya-upaya yang sesuai dengan syariat semisal
memohon kepada Allah kemudahan dan kebaikan serta upaya-upaya yang dibenarkan
secara medis dan nalar yang sehat. Allah berfirman :
ﭽ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﭼ البقرة: ١٨٦
"Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku". [QS al
Baqarah : 186]
Ada pula tradisi neloni atau ngupati (ngapati)
yaitu tradisi membuat makanan tertentu untuk disedekahkan kepada para tetangga
ketika usia kandungan tiga bulan atau empat bulan dengan tujuan yang tidak jauh
dari yang tersebut di atas
Amal sedekah memang salah satu amalan yang
bisa menjaga seorang dari kejelekan dengan seijin Allah. Akan tetapi yang jadi
masalah, mengapa jenis makanan yang disedekahkan harus ada ketentuannya semisal
nasi ketan yang dibungkus, buah pekarangan, jenis umbi-umbian, labu/waluh dan
semisal ?! lagi pula mengapa harus ditentukan dengan bulan tertentu dari
kehamilan seorang perempuan ?!
Ada pula yang lagi hamil dia membaca suratan
tertentu dari surat-surat Al Qur’an seperti surat Yusuf dan surat Maryam agar
anaknya kelak ketika lahir shalih atau shalihah, ganteng atau cantik dan yang
semisal. Sebatas yang kami ketahui hal ini tidak datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para
Sahabatnya, sehingga termasuk dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam :
مَنْ أَحْدَثَ فِى
أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat-buat perkara baru dalam
agama kami yang tidak ada padanya maka ia tertolak”. [Hr.al Bukhari dan Muslim]
Seandainya orang yang hamil membaca Al Qur’an
kemudian ia berdo’a semisal : “Wahai Allah, dengan bacaan al Qur’an ini,
mudahkanlah aku dalam melahirkan, atau jadikanlah anakku menjadi anak yang
shalih”, maka yang seperti ini merupakan tawassul yang dibolehkan.
Diantara perkara yang mungkar yang dilakukan
/ diyakini oleh sebagian orang bahwa orang yang hamil tidak boleh duduk
ditengah pintu, tidak boleh makan dengan piring nasi di letakkan di atas tangan
dan tidak boleh membunuh binatang. Demikian pula suaminya ada
pantangan-pantangan tertentu yang bila dicermati itu hanyalah takhayul.
Dan yang sampai kepada kesyirikan adalah
membuat rajah-rajah untuk mudah melahirkan. Karena rajah-rajah ini semacam
jimat yang seorang menggantungkan nasibnya kepadanya. Pada rajah-rajah itu ada
huruf/kalimat-kalimat serta angka-angka yang tidak dipahami. Demikian pula
diantara yang termasuk kesyirikan seorang yang hamil mendatangi kuburan
tertentu lalu meminta keselamatan dan kemudahan kepada penghuninya.
·
Kemungkaran di hari kelahiran
Diantara
kemungkaran di hari melahirkan adalah menanganinya para lelaki dalam proses
kelahiran padahal disana ada petugas atau bidan perempuan .
-
Demikian pula keyakinan sebagian
orang bahwa bayi bila terlahir saat bulan purnama maka anak tersebut bila
laki-laki kuncup kemaluannya akan melebar sehingga seperti sudah terkhitan.
[Ahkamul Maulud fissunnah al muthahharah : 139]
·
Ritual setelah melahirkan anak
Seperti yang
sudah disebutkan bahwa setiap daerah atau suku memiliki budaya dan
ritual-ritual yang berbeda-beda. Dan tidak memungkinkan untuk ditampilkan
sebagian besarnya disini.
Diantara
tradisi yang mungkar adalah upacara mendem (mengubur) ari-ari atau plasenta.
Dalam prakteknya upacara adat ini terkadang berbeda-beda caranya. Ada yang
caranya dengan dicuci plasenta tersebut lalu dimasukkan kedalam periuk/ kendi
yang terbuat dari tanah. Sebelum plasenta dimasukkan kedalam kendi ada beberapa
barang yang ikut dimasukkan sebagai persyaratan semisal minyak wangi, jarum,
beras merah, kunyit, garam, pensil, buku, bawang merah dan lain-lain. Setelah
itu diletakkan di samping rumah dan diberi lampu. Dan bagi suku masyarakat
tertentu caranya berbeda, ada yang caranya di labuh di sungai atau dilarung di
laut. Mereka berharap supaya bayinya itu pintar, banyak rejeki, jalannya
terang, bila bepergian tahan lama, suka merantau dan semisalnya. Sebagian
mereka meyakini bahwa plasenta adalah saudara kembarnya bayi yang harus
dirawat. Ritual yang seperti ini tentunya bukan dari islam, dan seandainya
ari-ari harus di kubur lalu mengapa harus ada ritual-ritual seperti itu?!
Meskipun misalnya diiringi dengan dzikir-dzikir dan lantunan ayat suci karena
ini termasuk kebid’ahan.
·
Kaidah-kaidah untuk mengenal
bahwa sesuatu itu dihukumi bid’ah
Sesunnguhnya
kebid’ahan yang telah ditegaskan oleh syariat tentang kesesatannya adalah :
1. Semua
ucapan, perbuatan atau keyakinan yang menyelisihi sunnah walaupun sumbernya
adalah ijtihad.
2. Setiap
perkara yang dijadikan bentuk pendekatan kepada Allah padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah
melarangnya.
3. Semua
perkara yang tidak mungkin disyariatkan kecuali dengan adanya nash atau yang
ada penjelasan dari syariat padahal tidak ada maka itu bid’ah, kecuali jika ada
sumbernya dari Sahabat Nabi dan amalan itu dilakukan oleh Sahabat tersebut
secara berulang-ulang tanpa ada pengingkaran.
4. Apa-apa yang
di masukkan kedalam ibadah dari adat istiadat orang kafir.
5. Apa yang
ditegaskan oleh sebagian ulama, terlebih ulama belakangan, tentang sunnahnya
(sesuatu) padahal tidak ada dalilnya.
6. Semua bentuk
ibadah yang tidak datang tata caranya kecuali dalam hadits dlaif (lemah) atau
maudlu’ (palsu).
7. Bentuk
berlebih-lebihan dalam ibadah.
8. Semua ibadah
yang tidak diberi batasan oleh peletak syariat lalu manusia memberikan
batasan-batasan (persyaratan-persyaratan) seperti tempat, waktu, bentuk dan
jumlah tertentu. [Ahkamul Janaiz 306]
·
Penutup
Sebagai
penutup, kami akan menyebutkan hukum membatasi keturunan. Sesungguhnya yang
ditunjukkan oleh nash-nash (dalil-dalil) syariat dari al Qur’an dan Sunnah,
demikian pula ijma’ dan qiyas telah menetapkan bahwasanya tidak boleh secara
mutlak membatasi keturunan dan tidak boleh mencegah kehamilan jika tujuannya
adalah takut fakir. Karena Allah adalah Dzat pemberi rejeki lagi maha kuat.
Membatasi kehamilan telah bertentangan dari tujuan syariat (yaitu perintah) untuk
memperbanyak umat islam.
Adapun
melakukan upaya pencegahan kehamilan yang bersifat sementara dalam kondisi
personal karena adanya mudarat yang nyata seperti kondisi seorang wanita tidak
bisa melahirkan secara normal dan memerlukan kepada operasi bedah untuk
mengeluarkan janinnya atau karena wanita tesebut sering hamil sementara
kehamilan menjadikannya sangat letih (repot) sehingga ia ingin mengatur
kehamilannya, umpamanya setiap dua tahun dan semisal maka yang seperti ini
dibolehkan dengan syarat mendapat ijin dari suami dan tidak ada madharat bagi
wanita itu. Dalilnya, bahwa para Sahabat dahulu melakukan ‘azl (mengeluarkan
seperma di luar vagina isterinya) di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar
isteri-isteri mereka tidak hamil, dan mereka tidak dilarang dari yang demikian.
Dan terkadang mencegah kehamilan adalah suatu yang harus dalam kondisi
terbuktinya mudharat yang jelas (baginya). [al Fiqhu Waushulluhu lishshafi ats
tsalits atstsanawi halaman 62. Dan dipersilakan melihat ketetapan Hai’ah Kibar
‘ulama no 42 pada tanggal 13/4/1396 H]
والله تعالى أعلم بالصواب والحمدلله رب
العالمين, وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه