Bimbingan Islam untuk Mendapat Keturunan yang Shalih 7 (Akhir)

Ritual-ritual yang Mungkar Seputar Kehamilan dan Kelahiran
Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu'thi


Selamatnya kandungan dan sehatnya bayi yang dilahirkan merupakan dambaan setiap orang yang ingin memiliki anak keturunan. Dan untuk terwujudnya harapan tersebut umumnya manusia menempuh beragam cara dari upaya-upaya medis sampai bahkan mistis. Namun beda halnya dengan seorang muslim yang taat beragama, dia tidak mau asal-asalan dalam melakukan suatu upaya karena sikap, keyakinan dan perbuatannya akan selalu ia cocokkan dengan nilai-nilai agamanya yang luhur dan yang selaras dengan akal sehat.

·        Ritual yang mungkar seputar kehamilan
Sesuatu dikatakan mungkar apabila sesuatu itu dihukumi tidak baik, tidak boleh atau dinyatakan keharamannya oleh syariat, meskipun menurut pandangan sebagian orang itu baik dan sah-sah saja.
Di setiap daerah atau suku biasanya ada ritual-ritual khusus terkait kehamilan yang sulit bagi kita untuk membatasi jumlahnya dengan bilangan, karena saking banyaknya. Dan bagi sebagian orang ritual-ritual tersebut merupakan budaya leluhur yang harus dilestarikan sehingga orang yang tidak mau melakukannya akan dicibir di tengah-tengah keluarga dan masyarakatnya atau bahkan mungkin akan mendapatkan teror. Bagi mereka ritual-ritual yang merupakan warisan leluhur adalah menu wajib yang terkadang lebih wajib dari pada shalat berjama’ah bahkan shalat lima waktu.
Dan yang amat disayangkan bahwa masih ada sebagian masyarakat muslimin yang ikut-ikutan menghidupkan ritual-titual tersebut padahal tidak sedikit ritual-ritual itu hanyalah mitos yang tak ada bukti nyatanya dan sebagiannya diadopsi dari budaya non islam.
Diantara bentuk ritual tersebut adalah adat mitoni (adat Jawa), upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar emberio dalam kandungan dan ibu yang mengandungnya senantiasa memperoleh keselamatan. Upacara-upacara yang dilakuan dalam masa kehamilan yaitu siraman, memasukkan telor ayam kampung kedalam kain calon ibu oleh sang suami, ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, memutus lilitan benang/ janur, memecah priuk dan gayung dan seterusnya. Upacara ini juga tidak bisa dilangsungkan disembarang hari dan tempat. Diantara maksud ritual ini adalah agar sang ibu kelak ketika melahirkan diberi kemudahan. Ritual mitoni ini juga tidak hanya dilakukan oleh wanita yang mengandung untuk yang pertama. Demikian pula cara-caranya terkadang satu tempat berbeda dengan tempat yang lain. Bagi seorang muslim, ritual tersebut dan semisalnya sangat sulit diterima oleh akal yang sehat terlebih bila dilihat dari kacamata agama. Bila ada yang mengatakan bahwa ritual tersebut hanya sebuah ikhtiar/ usaha, maka jawabannya bahwa suatu usaha akan dibenarkan bila memang menjadi sebab untuk tercapainya tujuan disamping juga tidak bertentangan dengan agama. Sementara disini padanya ada bentuk mengaitkan sesuatu kepada perkara yang bukan menjadi sebab yang diharapkan terjadinya sesuatu dan padanya ada bentuk ketergantungan kepada selain Allah yang tentunya telah mencacati terhadap keyakinan seorang.
Bila ada yang mengatakan bahwa ini hanyalah sebuah tradisi leluhur yang menunjukkan kepada kita bahwa negeri ini kaya akan budaya dan peradaban. Maka dikatakan kepadanya bahwa memang hukum asalnya adat kebiasaan manusia yang biasa mereka jalankan di tengah masyarakat hukumnya boleh (mubah) asalkan tidak berseberangan dengan kaidah-kaidah agama. Sedangkan disini tidak demikian. Oleh karenanya, mengapa kita tidak merubah tradisi yang keliru yang padanya ada bentuk penyia-nyiaan terhadap waktu, harta, tenaga dan bahkan mencederai akidah dengan upaya-upaya yang sesuai dengan syariat semisal memohon kepada Allah kemudahan dan kebaikan serta upaya-upaya yang dibenarkan secara medis dan nalar yang sehat. Allah berfirman :
ﯰ  ﯱ  ﯲ  ﯳ  ﯴ ﭼ    البقرة: ١٨٦
"Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku". [QS al Baqarah : 186]
Ada pula tradisi neloni atau ngupati (ngapati) yaitu tradisi membuat makanan tertentu untuk disedekahkan kepada para tetangga ketika usia kandungan tiga bulan atau empat bulan dengan tujuan yang tidak jauh dari yang tersebut di atas
Amal sedekah memang salah satu amalan yang bisa menjaga seorang dari kejelekan dengan seijin Allah. Akan tetapi yang jadi masalah, mengapa jenis makanan yang disedekahkan harus ada ketentuannya semisal nasi ketan yang dibungkus, buah pekarangan, jenis umbi-umbian, labu/waluh dan semisal ?! lagi pula mengapa harus ditentukan dengan bulan tertentu dari kehamilan seorang perempuan ?!
Ada pula yang lagi hamil dia membaca suratan tertentu dari surat-surat Al Qur’an seperti surat Yusuf dan surat Maryam agar anaknya kelak ketika lahir shalih atau shalihah, ganteng atau cantik dan yang semisal. Sebatas yang kami ketahui hal ini tidak datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, sehingga termasuk dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam :
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat-buat perkara baru dalam agama kami yang tidak ada padanya maka ia tertolak”. [Hr.al Bukhari dan Muslim]
Seandainya orang yang hamil membaca Al Qur’an kemudian ia berdo’a semisal : “Wahai Allah, dengan bacaan al Qur’an ini, mudahkanlah aku dalam melahirkan, atau jadikanlah anakku menjadi anak yang shalih”, maka yang seperti ini merupakan tawassul yang dibolehkan.
Diantara perkara yang mungkar yang dilakukan / diyakini oleh sebagian orang bahwa orang yang hamil tidak boleh duduk ditengah pintu, tidak boleh makan dengan piring nasi di letakkan di atas tangan dan tidak boleh membunuh binatang. Demikian pula suaminya ada pantangan-pantangan tertentu yang bila dicermati itu hanyalah takhayul.
Dan yang sampai kepada kesyirikan adalah membuat rajah-rajah untuk mudah melahirkan. Karena rajah-rajah ini semacam jimat yang seorang menggantungkan nasibnya kepadanya. Pada rajah-rajah itu ada huruf/kalimat-kalimat serta angka-angka yang tidak dipahami. Demikian pula diantara yang termasuk kesyirikan seorang yang hamil mendatangi kuburan tertentu lalu meminta keselamatan dan kemudahan kepada penghuninya.

·        Kemungkaran di hari kelahiran
Diantara kemungkaran di hari melahirkan adalah menanganinya para lelaki dalam proses kelahiran padahal disana ada petugas atau bidan perempuan .
-          Demikian pula keyakinan sebagian orang bahwa bayi bila terlahir saat bulan purnama maka anak tersebut bila laki-laki kuncup kemaluannya akan melebar sehingga seperti sudah terkhitan. [Ahkamul Maulud fissunnah al muthahharah : 139]

·        Ritual setelah melahirkan anak
Seperti yang sudah disebutkan bahwa setiap daerah atau suku memiliki budaya dan ritual-ritual yang berbeda-beda. Dan tidak memungkinkan untuk ditampilkan sebagian besarnya disini.
Diantara tradisi yang mungkar adalah upacara mendem (mengubur) ari-ari atau plasenta. Dalam prakteknya upacara adat ini terkadang berbeda-beda caranya. Ada yang caranya dengan dicuci plasenta tersebut lalu dimasukkan kedalam periuk/ kendi yang terbuat dari tanah. Sebelum plasenta dimasukkan kedalam kendi ada beberapa barang yang ikut dimasukkan sebagai persyaratan semisal minyak wangi, jarum, beras merah, kunyit, garam, pensil, buku, bawang merah dan lain-lain. Setelah itu diletakkan di samping rumah dan diberi lampu. Dan bagi suku masyarakat tertentu caranya berbeda, ada yang caranya di labuh di sungai atau dilarung di laut. Mereka berharap supaya bayinya itu pintar, banyak rejeki, jalannya terang, bila bepergian tahan lama, suka merantau dan semisalnya. Sebagian mereka meyakini bahwa plasenta adalah saudara kembarnya bayi yang harus dirawat. Ritual yang seperti ini tentunya bukan dari islam, dan seandainya ari-ari harus di kubur lalu mengapa harus ada ritual-ritual seperti itu?! Meskipun misalnya diiringi dengan dzikir-dzikir dan lantunan ayat suci karena ini termasuk kebid’ahan.

·        Kaidah-kaidah untuk mengenal bahwa sesuatu itu dihukumi bid’ah
Sesunnguhnya kebid’ahan yang telah ditegaskan oleh syariat tentang kesesatannya adalah :
1.  Semua ucapan, perbuatan atau keyakinan yang menyelisihi sunnah walaupun sumbernya adalah ijtihad.
2.  Setiap perkara yang dijadikan bentuk pendekatan kepada Allah padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah melarangnya.
3.     Semua perkara yang tidak mungkin disyariatkan kecuali dengan adanya nash atau yang ada penjelasan dari syariat padahal tidak ada maka itu bid’ah, kecuali jika ada sumbernya dari Sahabat Nabi dan amalan itu dilakukan oleh Sahabat tersebut secara berulang-ulang tanpa ada pengingkaran.
4.      Apa-apa yang di masukkan kedalam ibadah dari adat istiadat orang kafir.
5.   Apa yang ditegaskan oleh sebagian ulama, terlebih ulama belakangan, tentang sunnahnya (sesuatu) padahal tidak ada dalilnya.
6.    Semua bentuk ibadah yang tidak datang tata caranya kecuali dalam hadits dlaif (lemah) atau maudlu’ (palsu).
7.      Bentuk berlebih-lebihan dalam ibadah.
8.  Semua ibadah yang tidak diberi batasan oleh peletak syariat lalu manusia memberikan batasan-batasan (persyaratan-persyaratan) seperti tempat, waktu, bentuk dan jumlah tertentu. [Ahkamul Janaiz 306]

·        Penutup
Sebagai penutup, kami akan menyebutkan hukum membatasi keturunan. Sesungguhnya yang ditunjukkan oleh nash-nash (dalil-dalil) syariat dari al Qur’an dan Sunnah, demikian pula ijma’ dan qiyas telah menetapkan bahwasanya tidak boleh secara mutlak membatasi keturunan dan tidak boleh mencegah kehamilan jika tujuannya adalah takut fakir. Karena Allah adalah Dzat pemberi rejeki lagi maha kuat. Membatasi kehamilan telah bertentangan dari tujuan syariat (yaitu perintah) untuk memperbanyak umat islam.
Adapun melakukan upaya pencegahan kehamilan yang bersifat sementara dalam kondisi personal karena adanya mudarat yang nyata seperti kondisi seorang wanita tidak bisa melahirkan secara normal dan memerlukan kepada operasi bedah untuk mengeluarkan janinnya atau karena wanita tesebut sering hamil sementara kehamilan menjadikannya sangat letih (repot) sehingga ia ingin mengatur kehamilannya, umpamanya setiap dua tahun dan semisal maka yang seperti ini dibolehkan dengan syarat mendapat ijin dari suami dan tidak ada madharat bagi wanita itu. Dalilnya, bahwa para Sahabat dahulu melakukan ‘azl (mengeluarkan seperma di luar vagina isterinya) di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar isteri-isteri mereka tidak hamil, dan mereka tidak dilarang dari yang demikian. Dan terkadang mencegah kehamilan adalah suatu yang harus dalam kondisi terbuktinya mudharat yang jelas (baginya). [al Fiqhu Waushulluhu lishshafi ats tsalits atstsanawi halaman 62. Dan dipersilakan melihat ketetapan Hai’ah Kibar ‘ulama no 42 pada tanggal 13/4/1396 H]



والله تعالى أعلم بالصواب والحمدلله رب العالمين, وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه

Related Posts