Perkara Yang Dilakukan di Hari Pertama Kelahiran Bayi
Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu'thi
·
Mentahnik bayi
Tahnik
(تَØْÙ†ِÙŠْÙƒٌ), adalah
mengunyah sesuatu kemudian diletakkan pada bagian yang atas dari mulut bayi.
Mentahnik bayi adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama seperti disebutkan
oleh Imam an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim [14/ 99]
Diantara
landasannya adalah hadits Abu Musa al Asy ‘ari v ia berkata:
“Telah lahir anak laki-lakiku kemudian aku bawa ia kepada Nabi n maka beliau
memberinya nama Ibrahim, lalu beliau mentahniknya dengan kurma dan mendo’akan
baginya barokah. [Shahih al Bukhari : 5467 dan Muslim 2145]
Sunnahnya
mentahnik bayi tidak khusus bagi Nabi n, karena pada dasarnya apa yang Nabi n lakukan maka umatnya juga diperintahkan untuk
mengikutinya kecuali bila ada dalil yang
kuat yang menyatakan bahwa hal itu khusus untuk Nabi. Ibnul Qoyyim v
menyebutkan dalam kitabnya tuhfatul maudud (halaman 25) riwayat al Khallal:
bahwa budak perempuan imam Ahmad v tatkala
melahirkan anaknya, imam Ahmad memberinya kurma dengan mengatakan kepadanya :
“Kunyahlah kurma ini dan tahniklah dia”.
-
Adapun hikmah dari mentahnik bayi
maka sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa itu sebagai pengharapan bagi anak
supaya ia nantinya beriman karena kurma adalah suatu buah dari pohon yang
Rasulullah n
serupakan pohon tersebut dengan seorang mukmin. Demikian pula beliau
menyerupakan seorang mukmin dengan buah kurma dari segi manisnya.
Ilmu
kedokteran juga telah menetapkan faidah yang besar dari tahnik ini yaitu:
memindahkan sebagian mikroba dalam usus untuk membantu pencernaan makanan.
Namun, sama saja apakah yang disebutkan oleh ilmu kedokteran ini terbukti benar
atau tidak yang jelas bahwa tahnik adalah sunnah yang mustahabbah secara pasti
dari Rasulullah n. Inilah
pegangan kita bukan yang lainnya. Karena tidak ada nash (dalil) yang
menerangkan hikmahnya maka hanya Allah yang tahu hikmahnya.
[lihat Ahkamul
Maulud Fissunnah al Muthahahrah karya Salim Ali Asy Syibli dan Muhammad Khalifah
ar Rabah hal : 33-34]
-
Dan untuk mentahnik yang datang
dalam riwayat adalahdengan buah kurma.
·
Apakah dikumandangkan azan dan
iqamat pada telinga bayi ketika lahir?
Dalam
hal ini ada tiga riwayat:
Pertama : dari Abu Rafi’ maula Rasulullah n bahwa ia berkata : aku melihat
Rasulullah mengumandangkan azan shalat di telinga al Hasan bin Ali ketika
Fathimah x melahirkannya”.
[Hr. Abu Daud (5105) at Tirmidzi (514) dan Ahmad(6/9) semuanya dari jalur
periwayatan Sufyan ats Tsauri dari ‘Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin
abi Rafi’ dari bapaknya (Abu Rafi’)]
Berkata
Ibnu Hajar tentang ‘Ashim bin Ubaidillah :Dhaif (lemah)
Kedua : Dari hadits Ibnu ‘Abbas seperti dalam syu’abul iman karya al
Baihaqi bahwa Nabi n mengumandangkan
azan pada telinga al Hasan bin Ali ketika dilahirkannya. Beliau azan pada
telinga kanannya dan iqamat pada telinga kirinya”.
Dalam
hadits ini ada perawi bernama Hasan bin ‘amr: Berkata adz Dzahabi tentang dia
dalam kitab al Mizan : ia dinyatakan dusta oleh ibnul Madini. Al Bukhari
berkata : ia kazzab (pendusta). Ar Razi berkata : matruk
Kesimpulannya
hadits Ibnu ‘Abbas ini maudlu’ (palsu)
Ketiga : hadits al Husain bin Ali, ia berkata : Bersabda Rasulullah n (yang artinya): “Barangsiapa diberi anak lalu dia mengumandangkan
azan pada telinga kanannya dan iqomat pada telinga kirinya maka ia tidak akan
tertimpa oleh ummu shibyan (pengikut dari kalangan jin ). Hadits ini
diriwayatkan oleh al Baihaqi dalam Syu’abul iman dan Ibnu assunni. Akan tetapi
dalam sanadnya ada perawi bernama Yahya bin al ‘Ala dan Marwan bin Salim
keduanya memalsukan hadits.
-
Kesimpulannya bahwa hadits-hadits
tentang mengazankan bayi tidak kuat. Asy Syaikh al Albani di beberapa kitabnya
sempat menguatkan hadits Abu Rafi’ yang lemah tadi karena menganggap ada jalan
lain yang memperkuatnya yaitu hadits Ibnu ‘Abbas yang telah lalu. Namun setelah
beliau melakukan penelitian lagi (yaitu setelah kitab Syu’abul iman karya al
Baihaqi tercetak) ternyata hadits Ibnu ‘Abbas tidak bisa memperkuat hadits Abu
Rafi’ karena pada sanadnya ada rawi yang matruk. Sehingga akhir dari pembahasan
beliau bahwa hadits Abu Rafi’ tetap dlaif (lemah) seperti dalam as silsilah ad
dhaifah cetakan maktabatul ma’arif 1/494 no : 321] Disarikan dari kitab ahkamul
maulud fissunnah al muthahharah halaman 34-39]
-
Bila riwayatnya lemah maka tidak
bisa dijadikan landasan beramal.
Bersambung ...
1 komentar
Jazakumullahu khairan atas ilmu nya
ReplyBarakallahu fiikum