Bimbingan Islam untuk Mendapat Keturunan yang Shalih 3

Perkara Yang Dilakukan di Hari Pertama Kelahiran Bayi
Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu'thi

·       
Mentahnik bayi
Tahnik (تَØ­ْÙ†ِÙŠْÙƒٌ), adalah mengunyah sesuatu kemudian diletakkan pada bagian yang atas dari mulut bayi. Mentahnik bayi adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama seperti disebutkan oleh Imam an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim [14/ 99]
Diantara landasannya adalah hadits Abu Musa al Asy ‘ari v ia berkata: “Telah lahir anak laki-lakiku kemudian aku bawa ia kepada Nabi n maka beliau memberinya nama Ibrahim, lalu beliau mentahniknya dengan kurma dan mendo’akan baginya barokah. [Shahih al Bukhari : 5467 dan Muslim 2145]
Sunnahnya mentahnik bayi tidak khusus bagi Nabi n, karena pada dasarnya apa yang Nabi n lakukan maka umatnya juga diperintahkan untuk mengikutinya  kecuali bila ada dalil yang kuat yang menyatakan bahwa hal itu khusus untuk Nabi. Ibnul Qoyyim v menyebutkan dalam kitabnya tuhfatul maudud (halaman 25) riwayat al Khallal: bahwa budak perempuan imam Ahmad v tatkala melahirkan anaknya, imam Ahmad memberinya kurma dengan mengatakan kepadanya : “Kunyahlah kurma ini dan tahniklah dia”.
-          Adapun hikmah dari mentahnik bayi maka sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa itu sebagai pengharapan bagi anak supaya ia nantinya beriman karena kurma adalah suatu buah dari pohon yang Rasulullah n serupakan pohon tersebut dengan seorang mukmin. Demikian pula beliau menyerupakan seorang mukmin dengan buah kurma dari segi manisnya.
Ilmu kedokteran juga telah menetapkan faidah yang besar dari tahnik ini yaitu: memindahkan sebagian mikroba dalam usus untuk membantu pencernaan makanan. Namun, sama saja apakah yang disebutkan oleh ilmu kedokteran ini terbukti benar atau tidak yang jelas bahwa tahnik adalah sunnah yang mustahabbah secara pasti dari Rasulullah n. Inilah pegangan kita bukan yang lainnya. Karena tidak ada nash (dalil) yang menerangkan hikmahnya maka hanya Allah yang tahu hikmahnya.
[lihat Ahkamul Maulud Fissunnah al Muthahahrah karya Salim Ali Asy Syibli dan Muhammad Khalifah ar Rabah hal : 33-34]
-          Dan untuk mentahnik yang datang dalam riwayat adalahdengan buah kurma.
·        Apakah dikumandangkan azan dan iqamat pada telinga bayi ketika lahir?
Dalam hal ini ada tiga riwayat:
Pertama : dari Abu Rafi’ maula Rasulullah n bahwa ia berkata : aku melihat Rasulullah mengumandangkan azan shalat di telinga al Hasan bin Ali ketika Fathimah x melahirkannya”. [Hr. Abu Daud (5105) at Tirmidzi (514) dan Ahmad(6/9) semuanya dari jalur periwayatan Sufyan ats Tsauri dari ‘Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin abi Rafi’ dari bapaknya (Abu Rafi’)]
Berkata Ibnu Hajar tentang ‘Ashim bin Ubaidillah :Dhaif (lemah)
Kedua : Dari hadits Ibnu ‘Abbas seperti dalam syu’abul iman karya al Baihaqi bahwa Nabi n mengumandangkan azan pada telinga al Hasan bin Ali ketika dilahirkannya. Beliau azan pada telinga kanannya dan iqamat pada telinga kirinya”.
Dalam hadits ini ada perawi bernama Hasan bin ‘amr: Berkata adz Dzahabi tentang dia dalam kitab al Mizan : ia dinyatakan dusta oleh ibnul Madini. Al Bukhari berkata : ia kazzab (pendusta). Ar Razi berkata : matruk
Kesimpulannya hadits Ibnu ‘Abbas ini maudlu’ (palsu)
Ketiga : hadits al Husain bin Ali, ia berkata : Bersabda Rasulullah  n (yang artinya): “Barangsiapa diberi anak lalu dia mengumandangkan azan pada telinga kanannya dan iqomat pada telinga kirinya maka ia tidak akan tertimpa oleh ummu shibyan (pengikut dari kalangan jin ). Hadits ini diriwayatkan oleh al Baihaqi dalam Syu’abul iman dan Ibnu assunni. Akan tetapi dalam sanadnya ada perawi bernama Yahya bin al ‘Ala dan Marwan bin Salim keduanya memalsukan hadits.
-          Kesimpulannya bahwa hadits-hadits tentang mengazankan bayi tidak kuat. Asy Syaikh al Albani di beberapa kitabnya sempat menguatkan hadits Abu Rafi’ yang lemah tadi karena menganggap ada jalan lain yang memperkuatnya yaitu hadits Ibnu ‘Abbas yang telah lalu. Namun setelah beliau melakukan penelitian lagi (yaitu setelah kitab Syu’abul iman karya al Baihaqi tercetak) ternyata hadits Ibnu ‘Abbas tidak bisa memperkuat hadits Abu Rafi’ karena pada sanadnya ada rawi yang matruk. Sehingga akhir dari pembahasan beliau bahwa hadits Abu Rafi’ tetap dlaif (lemah) seperti dalam as silsilah ad dhaifah cetakan maktabatul ma’arif 1/494 no : 321] Disarikan dari kitab ahkamul maulud fissunnah al muthahharah halaman 34-39]

-          Bila riwayatnya lemah maka tidak bisa dijadikan landasan beramal.

Bersambung ...

Related Posts

1 komentar

15 Desember 2020 pukul 09.39

Jazakumullahu khairan atas ilmu nya
Barakallahu fiikum

Reply
avatar